Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan lagi wajah nenek moyang

Proyek pengembangan kesenian dan kanwil dep p & k daerah istimewa yogyakarta bekerja sama dengan taman budaya mengadakan pameran topeng dari berbagai zaman, ada sebuah topeng berusia 200-an tahun. (sr)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOPENG, terus berubah fungsi. Dulu, di zaman prasejarah, topeng merupakan bagian upacara adat atau keagamaan. Juga merupakan simbol penolak bala. Ketika upacara berubah dan bergeser fungsinya yang kemudian melahirkan seni pertunjukan, topeng pun tak lagi mewakili wajah nenek moyang dalam upacara adat. Melainkan topeng menjadi terbatas sebagai gambaran watak tokoh dalam seni pertunjukan. Dan kini, ketika kelompok seni pertunjukan tradisional yang menggunakan topeng semakin berkurang, topeng memperoleh fungsi baru sebagai hiasan dinding. Tentu bukan sekedar hiasan dinding guna memperindah pemandangan. Tapi, seperti halnya keris, topeng bisa juga sekaligus sebagai hiasan dan sebagai benda bertuah. Misalnya saja seorang kolektor yang hanya senang memasang topeng tokoh tertentu. Ia mengharap watak tokoh yang dicerminkan topeng itu bisa mempengaruhi seisi rumah -- atau paling tidak dirinya sendiri. Toh, bagaimanapun, kini terasa seni topeng semakin tak populer. Peminat -- baik yang menggunakan topeng sebagai perlengkapan pertunjukan, maupun yang memperlakukannya sebagai benda hiasan -- semakin sedikit. Itu sebabnya Proyek Pengembangan Kesenian dan Kanwil Departemen P&K Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Taman Budaya kota tersebut, membuka satu pameran topeng, 2-11 Maret yang lalu. Tak hanya pameran, juga diselenggarakan ceramah dan demonstrasi pembuatan topeng. Sekitar 200 topeng milik para kolektor di Yogyakarta dan juga milik lembaga kesenian berhasil dikumpulkan. Di gedung Purna Budaya bisa dilihat berbagai topeng dari berbagai masa. Yang menarik misalnya, sebuah topeng bernama Kiai Sambang Putih (raksasa putih, raksasa berhati baik, maksudnya) milik kolektor topeng Ki Cermokarsono, seorang dalang Keraton Yogya yang kini telah berusia 80 tahun. Topeng itu sendiri, yang meski disebut 'putih' namun kenyataannya telah kusam, dimakan usia. Konon, benda itu telah berumur 200 tahun, buah tangan seorang empu topeng dari Solo bernama Kiai Muti. "Topeng ini bisa menyembuhkan orang gila dan sakit pencernaan," kata anak Ki Cermokarsono. Jangan kaget. Menurut Warno Waskito, 88 tahun, satu dari segelintir empu topeng yang masih hidup, "kekuatan yang ada pada topeng kuno merupakan sugesti, tak boleh dicela, juga jangan dipercaya begitu saja." Sarung Pelekat Empu topeng itu sendiri kini tinggal di Bantul. Dulu orang tua ini seorang penari topeng yang cukup dikenal. "Saya senang sekali pada topeng yang indah. Maka saya belajar membuat topeng dengan mencontoh topeng terbaik waktu itu," tuturnya. "Saya mulai membuat topeng kira-kira tahun 20-an." Dan lanjutnya sambil tertawa, "Tapi saya membuat topeng waktu itu bukan untuk penopang perut." Bagi Pak Warno, yang sehari-harinya hanya mengenakan sarung pelekat itu, kesetiaan lama memang masih melekat erat. Ia tak rela melepas topeng yang kurang sempurna kepada pembelinya. Maka, baru pada tahun 1968 -- sesudah lebih dari 40 tahun ia belajar membuat topeng -- ia berani hidup melulu hanya dari topeng. "Untuk setiap topeng diperlukan jiwa," tuturnya. Maka, meski Pak Warno hidup dari topeng, ia mengaku tak setiap saat bisa membuat topeng. "Harus betul-betul ada niat yang kuat, agar pekerjaan berjalan lancar dan berhasil baik." Memang. Hal itu bisa dibuktikan dengan membandingkan topeng buatan Pak Warno dengan buatan anak cucunya. Nyata benar bedanya topeng orang tua itu mencerminkan watak yang kuat, mempunyai daya cengkam yang susah dilupakan. "Topeng anak cucu saya hanya hasil dari ketrampilan saja" katanya pula. Tapi ia pun melihat bakatnya menurun kepada dua cucunya yang kini masih sekolah di Sekolah Menengah Ilmu Kerajinan, Yogyakarta. Topeng Panji Asmara Bangun (nama tokoh dalam cerita Panji) karya Warno Waskito, misalnya, memang pantas dipuji. Pola topeng dari dulu hingga kini praktis tak mempunyai perbedaan, tapi dalam soal watak yang dicerminkan topeng itu, topeng yang satu dengan yang lain bisa berbeda kekuatannya -- tergantung keahlian pembuatnya. Kalau diperhatikan benar, topeng yang baik terutama pada mata dan bibirnya mengandung sesuatu yang misterius. Dan itu bisa dirasakan pada karya topeng Warno Waskito. Sebenarnya saja seni topeng bisa menjadi cabang seni rupa yang menarik. Sudah dibuktikan seni ini mampu menampilkan watak yang dipahatkan padanya: Apalagi topeng mengambil bagian tubuh yang merupakan bagian utama untuk mengenal identitas manusia: wajah. Sayang, dari 200-an topeng yang dipamerkan ini hanya ada dua karya topeng modern yang benar-benar dibuat sebagai hanya karya senirupa. Dua-duanya buatan Sanggarbambu, berbentuk kepala kerbau dan kepala kijang. Tapi seni topeng modern memang belum berkembang. Setidaknya, dalam dunia seni rupa modern Indonesia boleh dikata ia tak dikenal. Gerakan Senirupa Baru yang telah bubar itu pun, agaknya luput memanfaatkan seni topeng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus