TOPENG, terus berubah fungsi. Dulu, di zaman prasejarah,
topeng merupakan bagian upacara adat atau keagamaan. Juga
merupakan simbol penolak bala. Ketika upacara berubah dan
bergeser fungsinya yang kemudian melahirkan seni pertunjukan,
topeng pun tak lagi mewakili wajah nenek moyang dalam upacara
adat. Melainkan topeng menjadi terbatas sebagai gambaran watak
tokoh dalam seni pertunjukan.
Dan kini, ketika kelompok seni pertunjukan tradisional yang
menggunakan topeng semakin berkurang, topeng memperoleh fungsi
baru sebagai hiasan dinding. Tentu bukan sekedar hiasan dinding
guna memperindah pemandangan. Tapi, seperti halnya keris, topeng
bisa juga sekaligus sebagai hiasan dan sebagai benda bertuah.
Misalnya saja seorang kolektor yang hanya senang memasang topeng
tokoh tertentu. Ia mengharap watak tokoh yang dicerminkan topeng
itu bisa mempengaruhi seisi rumah -- atau paling tidak dirinya
sendiri.
Toh, bagaimanapun, kini terasa seni topeng semakin tak populer.
Peminat -- baik yang menggunakan topeng sebagai perlengkapan
pertunjukan, maupun yang memperlakukannya sebagai benda hiasan
-- semakin sedikit. Itu sebabnya Proyek Pengembangan Kesenian
dan Kanwil Departemen P&K Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja
sama dengan Taman Budaya kota tersebut, membuka satu pameran
topeng, 2-11 Maret yang lalu. Tak hanya pameran, juga
diselenggarakan ceramah dan demonstrasi pembuatan topeng.
Sekitar 200 topeng milik para kolektor di Yogyakarta dan juga
milik lembaga kesenian berhasil dikumpulkan. Di gedung Purna
Budaya bisa dilihat berbagai topeng dari berbagai masa. Yang
menarik misalnya, sebuah topeng bernama Kiai Sambang Putih
(raksasa putih, raksasa berhati baik, maksudnya) milik kolektor
topeng Ki Cermokarsono, seorang dalang Keraton Yogya yang kini
telah berusia 80 tahun. Topeng itu sendiri, yang meski disebut
'putih' namun kenyataannya telah kusam, dimakan usia. Konon,
benda itu telah berumur 200 tahun, buah tangan seorang empu
topeng dari Solo bernama Kiai Muti.
"Topeng ini bisa menyembuhkan orang gila dan sakit pencernaan,"
kata anak Ki Cermokarsono. Jangan kaget. Menurut Warno Waskito,
88 tahun, satu dari segelintir empu topeng yang masih hidup,
"kekuatan yang ada pada topeng kuno merupakan sugesti, tak boleh
dicela, juga jangan dipercaya begitu saja."
Sarung Pelekat
Empu topeng itu sendiri kini tinggal di Bantul. Dulu orang tua
ini seorang penari topeng yang cukup dikenal. "Saya senang
sekali pada topeng yang indah. Maka saya belajar membuat topeng
dengan mencontoh topeng terbaik waktu itu," tuturnya. "Saya
mulai membuat topeng kira-kira tahun 20-an." Dan lanjutnya
sambil tertawa, "Tapi saya membuat topeng waktu itu bukan untuk
penopang perut."
Bagi Pak Warno, yang sehari-harinya hanya mengenakan sarung
pelekat itu, kesetiaan lama memang masih melekat erat. Ia tak
rela melepas topeng yang kurang sempurna kepada pembelinya.
Maka, baru pada tahun 1968 -- sesudah lebih dari 40 tahun ia
belajar membuat topeng -- ia berani hidup melulu hanya dari
topeng.
"Untuk setiap topeng diperlukan jiwa," tuturnya. Maka, meski Pak
Warno hidup dari topeng, ia mengaku tak setiap saat bisa membuat
topeng. "Harus betul-betul ada niat yang kuat, agar pekerjaan
berjalan lancar dan berhasil baik."
Memang. Hal itu bisa dibuktikan dengan membandingkan topeng
buatan Pak Warno dengan buatan anak cucunya. Nyata benar bedanya
topeng orang tua itu mencerminkan watak yang kuat, mempunyai
daya cengkam yang susah dilupakan. "Topeng anak cucu saya hanya
hasil dari ketrampilan saja" katanya pula. Tapi ia pun melihat
bakatnya menurun kepada dua cucunya yang kini masih sekolah di
Sekolah Menengah Ilmu Kerajinan, Yogyakarta.
Topeng Panji Asmara Bangun (nama tokoh dalam cerita Panji) karya
Warno Waskito, misalnya, memang pantas dipuji. Pola topeng dari
dulu hingga kini praktis tak mempunyai perbedaan, tapi dalam
soal watak yang dicerminkan topeng itu, topeng yang satu dengan
yang lain bisa berbeda kekuatannya -- tergantung keahlian
pembuatnya. Kalau diperhatikan benar, topeng yang baik terutama
pada mata dan bibirnya mengandung sesuatu yang misterius. Dan
itu bisa dirasakan pada karya topeng Warno Waskito.
Sebenarnya saja seni topeng bisa menjadi cabang seni rupa yang
menarik. Sudah dibuktikan seni ini mampu menampilkan watak yang
dipahatkan padanya: Apalagi topeng mengambil bagian tubuh yang
merupakan bagian utama untuk mengenal identitas manusia: wajah.
Sayang, dari 200-an topeng yang dipamerkan ini hanya ada dua
karya topeng modern yang benar-benar dibuat sebagai hanya karya
senirupa. Dua-duanya buatan Sanggarbambu, berbentuk kepala
kerbau dan kepala kijang.
Tapi seni topeng modern memang belum berkembang. Setidaknya,
dalam dunia seni rupa modern Indonesia boleh dikata ia tak
dikenal. Gerakan Senirupa Baru yang telah bubar itu pun, agaknya
luput memanfaatkan seni topeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini