BICARA tentang The Beatles tampaknya bukan hanya bicara soal ikon fenomena musik pop modern, tetapi juga soal pesonanya yang tidak pernah habis dibicarakan sampai saat ini. Mark Lewisohn mencoba menuntaskan keajaiban pesona kuartet dari Liverpool ini. Ia melakukan riset selama 13 tahun menelusuri dokumentasi 1.400 pertunjukan (termasuk sobekan karcis), semua catatan dan rekaman lagu The Beatles yang pernah ada tahun 1957 sampai 1970. Hasilnya adalah sebuah buku, The Complete Beatles Chronicle. Inilah satu-satunya benda paling menarik dalam ''Pameran The Beatles'' yang diselenggarakan The British Council di Hotel Hilton Jakarta, 23-28 April ini pameran sejenis juga diselenggarakan serempak di seluruh dunia tempat lembaga The British Council ada. Buku setebal 367 halaman itu berisi catatan kehidupan John Lennon-Paul McCartney George Harrison-Ringo Starr, hampir dari hari ke hari. Mungkin karena berbentuk catatan harian, karya Lewisohn ini kurang lebih mirip dengan karya penulis The Beatles lainnya, seperti Ray Connolly (The Beatles Complete, 1992) dan Philip Norman (Shout, 1983). Masih belum tuntas juga. Misalnya, pertanyaan tentang latar belakang kondisi saat Love Me Do (1962) dan Please Please Me (1963) yang mencuatkan The Beatles dan memulai gelombang Beatlemania di kalangan remaja seluruh dunia. Semua itu tidak terjawab. Padahal, ''Tidak mudah untuk dapat mendengarkan lagu-lagu The Beatles pada masa itu,'' ujar Rosemary Shipsey, staf The British Council. Kaset masih langka, stasiun radio pun tidak ada yang menyiarkan. Bukan cuma radio BBC yang konservatif yang ogah memutar lagu-lagu The Beatles, radio komersial lainnya juga begitu. Shipsey, yang waktu itu berusia 15 tahun, seperti juga rekan-rekannya sebaya di kota kecil Kilmornock, harus rajin mencari-cari gelombang Radio Luxembourg yang progresif. Atau stasiun pemancar gelap yang biasanya berlokasi sekitar pantai Inggris, sehingga dikenal dengan sebutan radio pirates, radio bajak laut. Tanpa kemudahan video-clip dan piringan laser, bahkan di bawah sorot mata curiga para orang tua, lagu dan gaya hidup The Beatles merasuki kaum remaja 1960-an. Sepanjang dasawarsa itu, remaja terbetot-betot mengikuti gaya hidup empat anak muda ini. Mulai dari mode rambut poni dan sepatu lancip sampai trend orientalisme: meditasi, rambut gondrong, mengisap ganja, hidup bebas. Beatlemania menjadi tidak sekadar fenomena musik, tetapi juga wabah, seperti campak dan kolera. Bukan sekadar konser yang diwarnai bergelimpangannya gadis belia yang pingsan, seperti terlihat dalam konser di Shea Stadium, Inggris (1966), tetapi kesintingan masal. Tidak sampai enam tahun setelah Love Me Do diluncurkan, puluhan cewek AS dan Inggris bunuh diri karena merasa kehilangan kans ketika Paul MacCartney menikahi Linda Eastman. Ini juga aneh sebenarnya, karena Can't Buy Me Love, She Loves You, atau I Want to Hold Your Hand, yang beredar sebelum 1967, sebenarnya memiliki syair dan melodi yang biasa-biasa saja. Akor dan komposisinya sederhana, mirip lagu rakyat tradisional. Sehingga susah dipahami ketika The Beatles dilarang di Indonesia, Bung Karno memberi alasan: ''Itu musik imperialis ngak-ngik-ngok yang cengeng dan kontrarevolusioner.'' Namun, tentu saja bukan karena caci maki Bung Karno itu kemudian karakter musik The Beatles mulai berubah. Sejak album Sgt. Pepper's Lonely Heart Club Band (1967), bisa dibilang The Beatles keluar dari pakemnya sebagai grup musik pop. Sosok The Beatles sejak Sgt. Pepper's terasa lebih garang dan penuh semangat eksperimental. Apalagi sejak Paul-John-George- Ringo keranjingan mistik India. Sepulang dari India (1968) untuk belajar meditasi transendental ke Maharishi Mahesh Yogi, lagu-lagu The Beatles sarat dengan semangat bereksperimen dan nuansa universalisme, terutama lagu ciptaan George dan John. Mulai dari Across the Universe yang syahdu, Blue Jay Way yang berakor tunggal, sampai Within You without You yang menggunakan tabla dan siter. ''Semangat eksperimental ini tak lepas dari pengaruh pribadi John Lennon sebagai seorang seniman avantgarde,'' kata musikolog Franki Raden kepada Robby Darmawan Lubis dari TEMPO. Puncak dari eksperimentasi musik The Beatles terlihat pada The White Album (judul sebenarnya The Beatles, karena bungkus albumnya hanya warna putih, hingga disebut demikian) yang terbit tahun 1968. Selain Everybody's Got Something to Hide Except For Me and My Monkey yang berciri heavy metal ala zaman sekarang, salah satu lagunya, Revolution 9, bahkan sama sekali ''menyimpang''. Hanya montase bunyi kereta api, gelandangan marah-marah, bayi menangis, gesekan biola, dan celotehan John: ''Number nine, number nine ....'' Album ini tidak sempat menjadi citra The Beatles karena keburu tenggelam oleh kepopuleran album Let It Be (1970) yang legendaris. Album terakhir ini menarik The Beatles kembali ke khitahnya. Akor sederhana dalam Get Back mirip dengan lagu-lagu zaman Love Me Do. Padahal, The White Album bukan tak punya pengaruh, baik yang menggelorakan semangat perdamaian maupun kejahatan. Misalnya, konsisten dengan lagunya Give Peace a Chance, John mengembalikan gelar Merit of British Empire dari Ratu Elizabeth II sebagai protes atas dukungan Inggris terhadap AS dalam Perang Vietnam. Di lain pihak, dalam pemeriksaan polisi federal AS, Charles Manson dan anggota Hell's Angels mengaku mendapat perintah membunuh artis Sharon Tate dari syair lagu Helter Skelter dan Piggies. Dua lagu dalam album putih The Beatles ini memang menyiratkan kebencian pada kaum kapitalis dan borjuis. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini