PEPATAH ''belajarlah sejak masih dalam buaian hingga menuju liang lahad'' agaknya sekarang sudah tidak pas lagi. Sebab, sejak dalam rahim ibunya, janin kini sudah dapat diberi rangsangan untuk diajar. Dan hasilnya, perkembangan otak janin yang mendapat rangsangan secara teratur itu akan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diberi rangsangan. Demikian kesimpulan Dokter H.R. Hariadi, 57 tahun, yang disampaikan pada saat pidato pengukuhannya sebagai guru besar dalam Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu dua pekan lalu. ''Alangkah baiknya kalau pendidikan itu dimulai sejak dalam kandungan ibu,'' katanya kepada Edy Hafidl dari TEMPO. Pertumbuhan saraf bayi yang dalam kandungan ibunya itu, menurut Hariadi, dimulai sejak berumur 16 minggu. Diawali dengan pertumbuhan sel saraf. Sel saraf ini tidak bisa berdiri sendiri. Karena itu, tumbuh cabang-cabang sel saraf, yang dapat menghubungkan sel saraf satu dengan sel saraf lainnya. Baru kemudian tumbuh cabang saraf utama. Makin banyak sel saraf yang ada pada janin, makin cepat pula pesan yang disalurkan lewat saraf utama. Selain itu, hubungan satu sel dengan sel lainnya akan menjadi semakin baik. ''Dengan demikian, hubungan kerja sama antara daya pikir, daya ingat, dan daya menyimpulkan sesuatu akan lebih baik kalau pertumbuhan sel saraf janin lebih banyak,'' kata Hariadi. Selama ini ada dua sumber rangsangan yang bisa diberikan kepada janin, yaitu rangsangan berupa suara dan cahaya. Rangsangan suara, misalnya, baru bisa diberikan ketika janin berusia 26 minggu karena pada usia itu pendengaran janin mulai sempurna. Indra mata baru bisa menerima cahaya pada saat janin tersebut berusia 28 minggu. Karena itu, proses rangsangan pada janin baru bisa dilakukan saat janin berumur 30 minggu. Hariadi mengaku belum pernah melakukan penelitian, tapi dasar pemikirannya itu bukannya tanpa alasan. Dia merujuk hasil penelitian teman sejawatnya di Jepang, Dokter Suzuki, yang telah melakukan penelitian dua tahun (19911992). Menurut Haridi, Suzuki melakukan penelitian dengan cara menempelkan speaker musik klasik ke perut ibu yang sedang hamil. Sementara itu, untuk sampel lainnya, dia memberikan rangsangan dengan menempelkan flash light. Cara itu dilakukan secara berulang pada janin berusia 30 minggu sampai lahir. Hasilnya, menurut Hariadi, ketika bayi-bayi itu lahir, matanya sudah dapat mengikuti gerakan tangan. Dan mereka telah mampu mendengarkan bunyi-bunyian. Dari hasil penelitian itu, kemudian muncul teori bahwa dengan memberi rangsangan pada janin, pertumbuhan sel saraf dan cabang-cabangnya pada saraf pusat akan lebih cepat terjadi. Dengan demikian, asosiasi antara sel saraf menjadi lebih luas dan rangsangannya berjalan lebih cepat. Penelitian pengaruh rangsangan suara sebenarnya juga pernah dilakukan oleh Dokter Brent Logan di Amerika Serikat. Ahli psikologi perkembangan ini pernah memberikan rangsangan suara pada 50 bayi yang masih dalam kandungan. Setelah lahir, menurut Logan, mereka 25 persen lebih maju dibandingkan dengan rata- rata anak seusianya (TEMPO, 19 Oktober 1991). Namun, rangsangan ini, menurut Hariadi, tidak mampu digunakan untuk mempercepat pertumbuhan organ seperti jantung atau paru- paru. Sebab, perkembangan saraf lebih dinamis pada janin usia 16 minggu hingga 32 minggu. Organ lain tidak mengalami perkembangan secara kualitatif. Dokter Hanny Sumampouw sependapat dengan Hariadi. Kepala Unit Perinatologi Klinik Rumah Sakit Dokter Soetomo, Surabaya, itu secara teoretis mengatakan bahwa untuk memperbaiki kondisi janin, mereka bisa diberi rangsangan dari luar. Selama ini, menurut Hanny, tidak ada pemberian rangsangan yang salah. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini