Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua lukisan itu terletak agak di belakang ruang Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Kedua karya itu sederhana, tapi cukup menarik. Lukisan dengan latar yang didominasi warna cokelat tanah itu memperlihatkan obyek beberapa ekor angsa. Warna angsa terlihat tak terlalu ditonjolkan, cokelat dan keabu-abuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang pelukis, salah satu maestro seni rupa Indonesia, S. Sudjojono, memberi judul lukisan itu Angsa. Di sebelahnya terdapat lukisan dengan obyek anjing. Dalam lukisan berjudul Dunia Anjing itu, Agus Djaja melukis gerombolan anjing merah, hitam, dan putih yang tengah bertengkar. Kedua lukisan ini merupakan bagian dari puluhan karya yang dipamerkan dalam pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2 bertajuk "Lini Transisi" di Galeri Nasional pada 1-31 Agustus 2019. Pameran ini dikurasi oleh Suwarno Wisetrotomo, Rizki A. Zaelani, Teguh Margono, dan Bayu Genia Krishbie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua karya tersebut menggunakan simbol yang sama, yakni binatang. Kedua seniman boleh jadi mengambil sikap atau menerjemahkan sebuah situasi yang mungkin sama. Agus Djaja melukis Dunia Anjing pada 1965, sementara Sudjojono melukis Angsa pada 1967. Tak berselisih jauh, lukisan dibuat ketika Indonesia berada dalam situasi turbulensi politik yang tinggi. "Bisa ditafsirkan lukisan Agus Djaja berkaitan dengan situasi 1965 dengan gambaran anjing berwarna merah, putih, dan hitam. Terdapat berbagai kelompok ideologi saat itu," ujar Rizki dalam penjelasan kurasi saat melakukan tur untuk media, Kamis lalu.
Demikian pula dengan karya Sudjojono. Menurut Rizki, sepertinya judul lukisan itu menyamarkan maksud sebenarnya. Karya ini bisa ditafsirkan menyangkut soal mentalitas yang berkaitan dengan situasi sosial-politik, yang mungkin berefek pada kebudayaan dan kesenian. "Sudjojono menilai orang-orang seperti membebek, pada tahun-tahun awal Orde Baru memegang kendali politik."
Melihat kedua lukisan koleksi Galeri Nasional itu, kata Rizki, kondisinya bisa saja sesuai dengan saat ini. Memahami kedua karya tersebut seperti menemukan unsur daya meramalkan kejadian mendatang, dimensi profetik dari ekspresi seni. Kedua lukisan ini mungkin bisa mengingatkan pada situasi baru-baru ini ketika masyarakat menjadi terpolarisasi, berbeda kelompok, dan saling menyerang. Mereka juga membebek saja dengan kelompok dan beragam informasi yang belum diketahui kebenarannya.
Dunia Anjing karya Agus Djaya. Foto: TEMPO/Nurdiansah/20190802.
Karya lain Sudjojono cukup banyak dipamerkan dalam pameran kali ini. Ada karya dengan ukuran besar berjudul Aku Cinta Padamu Tanah Airku (1966), juga repro cetak lukisan Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia, Ada Orkes, dan Setangkai Bunga Kamboja. Karya ini merupakan koleksi Kementerian Luar Negeri, Museum Sejarah Jakarta, serta Museum Seni Rupa dan Keramik.
Karya lain yang cukup menarik adalah lukisan Soedibio berjudul Dewi Sri. Ia menggambarkan sosok berkemban dan berkain batik. Salah satu tangannya memegang aneka palawija dan bulir padi. Latar lukisan itu adalah pemandangan suburnya sawah dengan padi menguning dan gunung yang berhiaskan awan. Lukisan lain, berjudul Berbaring, punya corak hampir sama, dengan siluet-siluet.
Lukisan mitologi Soedibio itu bersanding dengan karya Affandi, yang dilukis khas dengan cat pelototan. Lukisan berjudul Togog Penghalau Burung itu menggambarkan dua punakawan, Togog dan Bilung. Karya maestro lainnya, Hendra Gunawan, juga terpampang di sebidang dinding.
Pameran ini memperlihatkan transisi gaya para pelukis Tanah Air pada era 1950-1980-an, seperti karya Sudarso, Gambiranom Suhardi, Koeboe Sarawan, Amri Yahya, Bagong Kussudiardjo, Fadjar Sidik, Nashar, Oesman Effendi, Harijadi Sumadijaja, Srihadi Soedarsono, Sunarto P.R., Soetopo, Zaini, juga patung karya Wiyoso Yudoseputro.
Ada corak lukisan realis, gaya surealis, abstrak, dan lukisan portrait. Pengunjung juga bisa melihat goresan seni rupa yang menjadi latar mata uang kertas. Koleksi lawas mata uang kertas RI itu dipamerkan secara digital.
Karya yang dipamerkan ini merupakan koleksi Galeri Nasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Sejarah, serta Museum Bank Indonesia. Kisah "perburuan" karya oleh para kurator tak kalah menarik. Mereka, misalnya, mendapatkan lebih dari 1.000 karya di Kementerian Luar Negeri, yang harus dipilih beberapa saja untuk dipamerkan. Kementerian itu, menurut Rizki, mempunyai koleksi cukup bagus dan bersemangat dalam merawat karya dengan baik. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo