Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ranjang Pengantin Lama, Surat ...

Kepala pengadilan agama di pekalongan dipusingkan oleh banyaknya surat nikah palsu yang dikeluarkan kepala kua kec. karanganyar, fauzi suradi. terungkap ketika pengadilan menanggani kasus perceraian.(krim)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sebuah surat nikah, Satori bin Ahsan (34 tahun), penduduk Desa Keputran di Kotamadya Pekalongan, kawin dengan Mis Unami binti Duladi. Satori tercatat sebagai seorang duda. Padahal ia sebenarnya punya isteri dengan tiga anak. Maka oleh pengaduan si isteri, Kantor P & K Pekalongan tempat Satori berdinas - segera mengusut segala sesuatunya. Dari situ diketahui lebih jauh: ketidakberesan surat nikah itu tak hanya menyebut Satori sebagai duda. Malah surat nikah, stempel maupun tanggal yang tercantum di situ, semuanya palsu. "Saya didesak untuk mengawinkan, agar mereka tidak berzina," kata Dasuki Abubakar, penghulu (pegawai KUA) yang bertanggungjawab . dalam pernikahan yang tak beres itu. Soalnya, Undang-Undang Perkawinan mengharuskan mereka yang akan berpoligami minta surat persetujuan dari isteri pertama, dan itu tentunya tak mudah. Sedang surat nikah palsu itu didapatnya dengan membeli--seharga Rp 5000 dari Fauzi Suradi, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Karanganyar. Aneh? Tapi ketidakberesan surat nikah itu sekarang memang lagi memusingkan Kantor Departemen Agama Kabupaten Pekalongan. Menurut Kepala Pengadilan Agama di Pekalongan, drs. Syihab uddin, itu terjadi di hampir seluruh KUA Kecamatam jumlahnya belum dihitung. Tapi "di Karanganyar saja kasusnya sudah ratusan," kata Syihabuddin. Caranya tak berliku-liku: cukup dengan tak usah memasukkan pasangan pengantin baru dalam daftar yang tersedia. Dengan begitu segala biaya yang dibayarkan oleh pengantin berada di luar kontrol - dan langsung masuk kantong orang-orang KUA. Pengantin kadang-kadang tak pernah memperoleh surat nikahnya. Kalaupun dapat juga, yang diberikan oleh penjabat pencatat nikah tak lain dari surat nikah palsu. Akibat pemalsuan di bidang ini, karena menyangkut lembaga perkawinan, tak hanya menjadi persoalan kriminil. Rumahtangga dan berbagai kepentingan sekitarnya bisa jadi runyam. Keluarga Satori tadi misalnya, jadi berantakan. Satori sendiri tiba-tiba hijrah ke Jeddah - sendirian. Ia bermaksud tinggal dan bekerja di negeri Arab itu saja, daripada menanggung malu di kampung. Mertuanya, Duladi, meninggal dunia, mungkin juga makan hati menyaksikan nasib puterinya. Sepeninggal suaminya, Mis Unami, seorang guru, oleh Kantor P & K segera ditarik dari pekerjaannya. Dan nasib isteri Satori berikut tiga anaknya entah bagaimana. Padahal Sudah Nanggap Gambus Nasib lain menimpa Wahtuni (20 tahun), penduduk Desa Sidodadi di Kecamatan Karanganyar, ia merasa tak jodoh lagi dengan suaminya, Sadono. Wahtuni bilang: lebih baik cerai daripada selalu disiksa dan diancam hendak dibunuh, katanya. Jadi alasan bercerai sangat kuat. Tapi Pengadilan Agama tak mengabulkannya. Bukan apa-apa. usut punya usut perkawinan pasangan Wahtuni dengan Sadono tempo hari ternyata tak masuk dalam buku pendaftaran di KUA. Wahtuni, berikutnya, diantar orangtuanya menghadap Pengadilan Agama. Kali ini ia minta agar perkawinannya dengan Sadono disatukan saja dulu. Sebab pernikahannya dulu sudah memenuhi berbagai syarat: cukup wali, saksi, mas kawin, ijab, bayar penghulu Rp 11.000, malah walimah sampai nanggap orkes gambus segala. Baru setelan itu nanti ia akan mengajukan gugatan cerai. Pengadilan Agama tentu saja mengerti bahwa pernikahan semacam itu sudah sah menurut agama Islam. Hanya saja, begitu menurut Syihabuddin yang memimpin sidang pengadilan 7 Pebruari lalu, "biar selesai dulu urusan pidananya." Yaitu di mana letak ketidakberesan yang dulu dan siapa yang terlibat. Maka urusan Wahtuni jadi tertunda. Begitu juga yang menimpa Duhri. Ia, 33 tahun, guru dan penduduk Desa Pododadi di Kuinganyar. Ketika menikah dengan Hudiah, ia ada menyerahkan kepada Kepala KVA Karanganyar, Fauzi Suradi, biaya nikah Rp 6000. Tapi, hingga lebih dari setahun surat nikah tak kunjung terbit. Padahal surat nikah begitu sangat penting artinya bagi pak guru ini - untuk memperoleh berbagai tunjangan pemerintah, bukan? Nah. Setelah Fauzi Suradi tak menjabat di Karanganyar, baru belangnya kekuatan: perkawinan guru Duhri dengan Hudiah tak pernah didaftarkan di buku induk. Jadi bagaimana Duhri dapat memperoleh surat nikahnya sekarang? Ia harus menikah kembali dengan isterinya sendiri. Dan apa boleh buat, jika dalam-perkawinan kali ini sepasang suami isteri itu disaksikan oleh anak mereka. Menadopsi Anak Sendiri Masih ada kesulitan. Berhubung tanggal dan tahun kelahiran anaknya jauh lebih dulu dari akte perkawinan, tentu saja, menurut administrasi negara, si anak menjadi 'anak di luar nikah'. Itu berarti tak mungkin masuk dalam daftar gaji dan tunjangan. Bagairnana akal? "Saya akan mengadopsi anak saya sendiri dan minta pensahan dari pengadilan," kata Duhri. Lalu apa kata Fauzi Suradi sendiri? Dia cuma ankat bahu. "Itu 'kerjaan bawahan saya,' katanya mengelak. Bawahannya lebih keras mengelak: "Mana saya berani, kalau tidak disuruh atasan?". Yang jadi repot Pengadilan Agama. Pengadilan dapat saja mensahkan semua pasangan yang bersurat nikah palsu atau yang tak bersurat sama sekali. Sebab menurut hukum agama, di samping itu semua bukan kesalahan yang bersangkutan, perkawinan sudah dilangsungkan menurut tatacara yang sah. "Tapi kalau semua permintaan dipenuhi begitu saja, Undang-Undang Perkawinan jadi tak berwibawa lagi." kata Syihabuddin. Maka, agar sebuah perkawinan menjadi sah di mata negara yang berundang-undang, untuk sementara pengadilan agama-nya Syihabuddin menunda dulu semua pensahan perkawinan dan perceraian pasangan korban penipuan dan pemalsuan oknum KUA. "Sampai perkara penyelewengannya beres dulu." Jadi penyelesaian bakal tak cepat ini. Beratus-ratus 'pengantin' gelisah menunggu surat nikall mereka. Dan beriburibu suami-isteri gelisah: janganjangan surat nikahnya palsu? Sayangnya Bupati Pekalongan, Karsono, tak memiliki kesempatan mengurus soal yang penting itu. "Nanb saja diurus, setelah sidang DPR," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus