DALAM sebuah surat nikah, Satori bin Ahsan (34 tahun), penduduk
Desa Keputran di Kotamadya Pekalongan, kawin dengan Mis Unami
binti Duladi. Satori tercatat sebagai seorang duda. Padahal ia
sebenarnya punya isteri dengan tiga anak. Maka oleh pengaduan si
isteri, Kantor P & K Pekalongan tempat Satori berdinas - segera
mengusut segala sesuatunya. Dari situ diketahui lebih jauh:
ketidakberesan surat nikah itu tak hanya menyebut Satori sebagai
duda. Malah surat nikah, stempel maupun tanggal yang tercantum
di situ, semuanya palsu.
"Saya didesak untuk mengawinkan, agar mereka tidak berzina,"
kata Dasuki Abubakar, penghulu (pegawai KUA) yang
bertanggungjawab . dalam pernikahan yang tak beres itu. Soalnya,
Undang-Undang Perkawinan mengharuskan mereka yang akan
berpoligami minta surat persetujuan dari isteri pertama, dan itu
tentunya tak mudah. Sedang surat nikah palsu itu didapatnya
dengan membeli--seharga Rp 5000 dari Fauzi Suradi, Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Karanganyar. Aneh?
Tapi ketidakberesan surat nikah itu sekarang memang lagi
memusingkan Kantor Departemen Agama Kabupaten Pekalongan.
Menurut Kepala Pengadilan Agama di Pekalongan, drs. Syihab
uddin, itu terjadi di hampir seluruh KUA Kecamatam jumlahnya
belum dihitung. Tapi "di Karanganyar saja kasusnya sudah
ratusan," kata Syihabuddin.
Caranya tak berliku-liku: cukup dengan tak usah memasukkan
pasangan pengantin baru dalam daftar yang tersedia. Dengan
begitu segala biaya yang dibayarkan oleh pengantin berada di
luar kontrol - dan langsung masuk kantong orang-orang KUA.
Pengantin kadang-kadang tak pernah memperoleh surat nikahnya.
Kalaupun dapat juga, yang diberikan oleh penjabat pencatat nikah
tak lain dari surat nikah palsu.
Akibat pemalsuan di bidang ini, karena menyangkut lembaga
perkawinan, tak hanya menjadi persoalan kriminil. Rumahtangga
dan berbagai kepentingan sekitarnya bisa jadi runyam. Keluarga
Satori tadi misalnya, jadi berantakan. Satori sendiri tiba-tiba
hijrah ke Jeddah - sendirian. Ia bermaksud tinggal dan bekerja
di negeri Arab itu saja, daripada menanggung malu di kampung.
Mertuanya, Duladi, meninggal dunia, mungkin juga makan hati
menyaksikan nasib puterinya. Sepeninggal suaminya, Mis Unami,
seorang guru, oleh Kantor P & K segera ditarik dari
pekerjaannya. Dan nasib isteri Satori berikut tiga anaknya entah
bagaimana.
Padahal Sudah Nanggap Gambus
Nasib lain menimpa Wahtuni (20 tahun), penduduk Desa Sidodadi di
Kecamatan Karanganyar, ia merasa tak jodoh lagi dengan suaminya,
Sadono. Wahtuni bilang: lebih baik cerai daripada selalu disiksa
dan diancam hendak dibunuh, katanya. Jadi alasan bercerai sangat
kuat. Tapi Pengadilan Agama tak mengabulkannya. Bukan apa-apa.
usut punya usut perkawinan pasangan Wahtuni dengan Sadono tempo
hari ternyata tak masuk dalam buku pendaftaran di KUA.
Wahtuni, berikutnya, diantar orangtuanya menghadap Pengadilan
Agama. Kali ini ia minta agar perkawinannya dengan Sadono
disatukan saja dulu. Sebab pernikahannya dulu sudah memenuhi
berbagai syarat: cukup wali, saksi, mas kawin, ijab, bayar
penghulu Rp 11.000, malah walimah sampai nanggap orkes gambus
segala. Baru setelan itu nanti ia akan mengajukan gugatan cerai.
Pengadilan Agama tentu saja mengerti bahwa pernikahan semacam
itu sudah sah menurut agama Islam. Hanya saja, begitu menurut
Syihabuddin yang memimpin sidang pengadilan 7 Pebruari lalu,
"biar selesai dulu urusan pidananya." Yaitu di mana letak
ketidakberesan yang dulu dan siapa yang terlibat. Maka urusan
Wahtuni jadi tertunda.
Begitu juga yang menimpa Duhri. Ia, 33 tahun, guru dan penduduk
Desa Pododadi di Kuinganyar. Ketika menikah dengan Hudiah, ia
ada menyerahkan kepada Kepala KVA Karanganyar, Fauzi Suradi,
biaya nikah Rp 6000. Tapi, hingga lebih dari setahun surat nikah
tak kunjung terbit. Padahal surat nikah begitu sangat penting
artinya bagi pak guru ini - untuk memperoleh berbagai tunjangan
pemerintah, bukan?
Nah. Setelah Fauzi Suradi tak menjabat di Karanganyar, baru
belangnya kekuatan: perkawinan guru Duhri dengan Hudiah tak
pernah didaftarkan di buku induk. Jadi bagaimana Duhri dapat
memperoleh surat nikahnya sekarang? Ia harus menikah kembali
dengan isterinya sendiri. Dan apa boleh buat, jika
dalam-perkawinan kali ini sepasang suami isteri itu disaksikan
oleh anak mereka.
Menadopsi Anak Sendiri
Masih ada kesulitan. Berhubung tanggal dan tahun kelahiran
anaknya jauh lebih dulu dari akte perkawinan, tentu saja,
menurut administrasi negara, si anak menjadi 'anak di luar
nikah'. Itu berarti tak mungkin masuk dalam daftar gaji dan
tunjangan. Bagairnana akal? "Saya akan mengadopsi anak saya
sendiri dan minta pensahan dari pengadilan," kata Duhri.
Lalu apa kata Fauzi Suradi sendiri? Dia cuma ankat bahu. "Itu
'kerjaan bawahan saya,' katanya mengelak. Bawahannya lebih
keras mengelak: "Mana saya berani, kalau tidak disuruh
atasan?".
Yang jadi repot Pengadilan Agama. Pengadilan dapat saja
mensahkan semua pasangan yang bersurat nikah palsu atau yang
tak bersurat sama sekali. Sebab menurut hukum agama, di samping
itu semua bukan kesalahan yang bersangkutan, perkawinan sudah
dilangsungkan menurut tatacara yang sah. "Tapi kalau semua
permintaan dipenuhi begitu saja, Undang-Undang Perkawinan jadi
tak berwibawa lagi." kata Syihabuddin.
Maka, agar sebuah perkawinan menjadi sah di mata negara yang
berundang-undang, untuk sementara pengadilan agama-nya
Syihabuddin menunda dulu semua pensahan perkawinan dan
perceraian pasangan korban penipuan dan pemalsuan oknum KUA.
"Sampai perkara penyelewengannya beres dulu."
Jadi penyelesaian bakal tak cepat ini. Beratus-ratus
'pengantin' gelisah menunggu surat nikall mereka. Dan beriburibu
suami-isteri gelisah: janganjangan surat nikahnya palsu?
Sayangnya Bupati Pekalongan, Karsono, tak memiliki kesempatan
mengurus soal yang penting itu. "Nanb saja diurus, setelah
sidang DPR," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini