Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Biasa dan bagus

Hiroshi seto, 36, seniman keramik dari jepang mengadakan demonstrasi cara pembuatan keramik tradisionil jepang di museum keramik. juga diperagakan cha no yu, upacara minum teh cara jepang. (sr)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMBUTNYA yang tidak teratur sudah beruban. Disaksikan banyak orang, dengan tenang jarijarinya merubah adonan tanah liat menjadi bentuk yang ia inginkan. Nantinya, setelah dibakar dengan temperatur 1280 derajat celcius, tanah itu berubah menjadi barang mahal yang anda sebut keramik. Apalagi Hiroshi Seto, seniman keramik tamatan Kyoto City College Of Fine Art yang berusia 36 tahun, memilih gaya tradisionil Jepang. Tak kurang dari 100 penggemar keramik--termasuk Hidemichi Kira, Dubes Jepang, mengintip demonstrasi tersebut. Seto memperagakan berbagai cara pembuatan keramik di Musim Keramik Jalan Fatahilah Jakarta 12 Pebruari yang lalu. Kedatangannya sehubungan dengan di selenggarakannya pameran keramik, atas kerjasama Himpunan Keramik Indonesia dengan The Japan Foundation, Jakarta. Seto cukup memiliki pamor. Colorado State University menyebutnya sebagai "artis yang penuh sukses." Dengan bantuan seorang asisten, Seto memotong-motong tanah liat yang berbentuk segi-empat dengan mempergunakan benang yang direntangkan antaradua batang kayu berbuku. Hanya pakai singlet, lantaran terlalu gerah, Seto menyebut cara itu ditakuti. Cara yang sangat digemari para pembuat keramik amatir. Kemudian lempengan tipis tanah digulungkan pada botol yang sebelum nya sudah dilapisi kertas koran. Ini membentuk sebuah gelas. Setelah diberi motif dan warna, baru dimasukkan ke tunggu. Cara yang lebih profesionil memerlukan keahlian. Gumpalan tanah liat yang telah dikasih air, ditaruh di mangkuk. Di bawah mangkuk ada sumbu yang menghubungkannya dengan roda gendang alias potfer's wheel. Roda berputar karena hentakan kaki. Tinggal keahlian si tukang tembikar untuk meratakan, memotong, melicinkan. Seto tampak asyik dan menyatu dengan dunianya. Tak heran kalau dia pernah dipercayai untuk memberi pelajaran keramik tradisionil Jepang di Indiana University, AS. Ia banyak belajar dari Shoji Hamada dan Tatu zo Shimaoka - dua dedengkot keramik Jepang. Cha No Yu Tak kurang dari 20 buah karya mengisi ruang pameran. Mulai dari bentuk tradisionil yang disebut mangkuk raku, yang dipakai dalam upacara minum teh, sampai karya mutakhir. Pada kesempatan itu juga diperagakan cha no yu--itu upacara minum teh yang luar biasa seriusnya mereka hadapi. Dalam upacara seperti itu segalanya sudah terpola, semuanya harus dilakukan dengan tepat. Di sana ada pelajaran tentang moral dan disiplin. Jelas betapa erat hubungan pembuatan keramik dengan upacara minum teh. Ia telah dikenal sejak Zaman Muromachi pada abad ke-14. Mulanya memang hanya dilakukan pria golongan bangsawan, namun sekarang umum dan wanita sudah ikut campur. Seorang dari jurusan keramik ITB, yang nonton demonstrasi itu, kasih komentar: "Biasa saja. Seniman kita dari Plered juga tekniknya sama dengan Seto-san. Hanya saja Seto, dengan teknik semacam itu dapat menghasilkan karya bermotif tradisionil Jepang." Dan bagus, tentu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus