RAMBUTNYA yang tidak teratur sudah beruban. Disaksikan banyak
orang, dengan tenang jarijarinya merubah adonan tanah liat
menjadi bentuk yang ia inginkan. Nantinya, setelah dibakar
dengan temperatur 1280 derajat celcius, tanah itu berubah
menjadi barang mahal yang anda sebut keramik. Apalagi Hiroshi
Seto, seniman keramik tamatan Kyoto City College Of Fine Art
yang berusia 36 tahun, memilih gaya tradisionil Jepang.
Tak kurang dari 100 penggemar keramik--termasuk Hidemichi Kira,
Dubes Jepang, mengintip demonstrasi tersebut. Seto memperagakan
berbagai cara pembuatan keramik di Musim Keramik Jalan Fatahilah
Jakarta 12 Pebruari yang lalu. Kedatangannya sehubungan dengan
di selenggarakannya pameran keramik, atas kerjasama Himpunan
Keramik Indonesia dengan The Japan Foundation, Jakarta. Seto
cukup memiliki pamor. Colorado State University menyebutnya
sebagai "artis yang penuh sukses."
Dengan bantuan seorang asisten, Seto memotong-motong tanah liat
yang berbentuk segi-empat dengan mempergunakan benang yang
direntangkan antaradua batang kayu berbuku. Hanya pakai singlet,
lantaran terlalu gerah, Seto menyebut cara itu ditakuti. Cara
yang sangat digemari para pembuat keramik amatir. Kemudian
lempengan tipis tanah digulungkan pada botol yang sebelum nya
sudah dilapisi kertas koran. Ini membentuk sebuah gelas. Setelah
diberi motif dan warna, baru dimasukkan ke tunggu.
Cara yang lebih profesionil memerlukan keahlian. Gumpalan tanah
liat yang telah dikasih air, ditaruh di mangkuk. Di bawah
mangkuk ada sumbu yang menghubungkannya dengan roda gendang
alias potfer's wheel. Roda berputar karena hentakan kaki.
Tinggal keahlian si tukang tembikar untuk meratakan, memotong,
melicinkan. Seto tampak asyik dan menyatu dengan dunianya. Tak
heran kalau dia pernah dipercayai untuk memberi pelajaran
keramik tradisionil Jepang di Indiana University, AS. Ia banyak
belajar dari Shoji Hamada dan Tatu zo Shimaoka - dua dedengkot
keramik Jepang.
Cha No Yu
Tak kurang dari 20 buah karya mengisi ruang pameran. Mulai dari
bentuk tradisionil yang disebut mangkuk raku, yang dipakai dalam
upacara minum teh, sampai karya mutakhir. Pada kesempatan itu
juga diperagakan cha no yu--itu upacara minum teh yang luar
biasa seriusnya mereka hadapi. Dalam upacara seperti itu
segalanya sudah terpola, semuanya harus dilakukan dengan tepat.
Di sana ada pelajaran tentang moral dan disiplin. Jelas betapa
erat hubungan pembuatan keramik dengan upacara minum teh. Ia
telah dikenal sejak Zaman Muromachi pada abad ke-14. Mulanya
memang hanya dilakukan pria golongan bangsawan, namun sekarang
umum dan wanita sudah ikut campur.
Seorang dari jurusan keramik ITB, yang nonton demonstrasi itu,
kasih komentar: "Biasa saja. Seniman kita dari Plered juga
tekniknya sama dengan Seto-san. Hanya saja Seto, dengan teknik
semacam itu dapat menghasilkan karya bermotif tradisionil
Jepang." Dan bagus, tentu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini