Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berburu Kijang

Di sudut rawa-rawa gelap berlumpur tempat buaya bersembunyi dan setiap waktu dapat menyerang mangsanya, mereka terpojok: Siman, ayahnya, dan dua pemuda dusun.

30 Juni 2018 | 00.00 WIB

berburu kijang
Perbesar
berburu kijang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Abdul Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di sudut rawa-rawa gelap berlumpur tempat buaya bersembunyi dan setiap waktu dapat menyerang mangsanya, mereka terpojok: Siman, ayahnya, dan dua pemuda dusun. Mereka saling berdempet membentengi diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dada Siman berdentam seumpama kendang yang dipukul-pukul kala pentas adat. Berjingkat-jingkat menghalau duri, kedua belah kakinya gemetar, doyong tak terperi. Tampias hujan memercik kesana kemari memecahkan fokusnya. Bau daun busuk bercampur kotoran hewan liar menyeruak dilontarkan angin. Sosok buas bertanduk abu-abu kusam di hadapan mereka meraung. Kakinya memekar, siap menerjang. Di belakangnya, anak-anak kijang muda dengan tanduk yang masih lunak menguik. Induknya marah, habitatnya terganggu. Ia merasa bahwa rombongan Siman telah mengancam nyawa anak-anaknya.

Ayah Siman yang paling senior di rombongan tersebut tampak terengah-engah. Wajahnya pias. Tangannya yang liat semakin erat mencengkram tombak. Senapan yang tersampir di bahunya sudah tak lagi berguna. Dua peluru terakhirnya telah lepas menghantam angin akibat gesitnya kijang menghindarkan diri. Sisa mesiu yang ia bawa telah basah karena hujan sehingga tak dapat lagi digunakan. Bajunya yang sobek tersangkut gugusan pohon menampakkan bahunya yang berkilat-kilat disaput keri-ngat. Dalam situasi ini, ia tampak terpuruk dan menyedihkan. Dua pemuda dusun yang turut berburu juga menyedihkan, salah satunya sudah meringis ingin mena-ngis, berkali-kali menyebut nama leluhurnya karena ketakutan. Pemuda satunya lagi mengusap dahinya yang basah oleh peluh, ujung celananya panas karena air kencing.

Samar-samar, geraman kijang itu semakin tajam. Kakinya yang kukuh, mantap menghunjam tanah gambus yang becek karena tetes hujan.

Binatang ini benar-benar marah.

Sepuluh menit lalu, mereka berjumlah lima orang. Pemuda paling berani di kelompok tersebut dengan gesit mengalihkan perhatian kijang beranak yang mereka jumpai. Ia benar-benar tiada menduga bahwa seekor kijang akan seganas ini. Rencananya, ayah Siman akan memuntahkan dua peluru dari sudut yang berbeda, sementara pemuda pemberani memasang diri sebagai umpan di sudut yang lain.

Awalnya, rencana mereka berjalan dengan mulus, sampai kijang laknat menjadi muntab, lazimnya binatang betina, ia menjadi berkali lipat lebih ganas untuk melindungi nasib anak-anaknya. Tak terelakkan, ia lincah berbalik, biasanya seekor kijang liar akan berlari semburat karena diburu, pontang-panting kabur dari serangan senapan, tapi kali ini ia berbalik marah, dua tembakan peluru yang tidak terduga lolos menghantam angin, binatang ini memutar tubuh, mengacungkan tanduknya yang tajam ke arah si pemuda pemberani.

Dengan dua serudukan, teriakan si pemuda sudah habis. Entah ujung tajam tanduk mengenai sisi tubuhnya yang mana, tapi sudah cukup membungkam mulut Siman dan ayahnya. Kijang itu terus mendorong korbannya ke semak-semak, menyisakan jejak darah di tanah yang dilalui jejak kaki binatang yang mengamuk dibuali amarah.

Setelah puas menghantam lawan, binatang ini menggeleparkan kepalanya, membuang sobekan baju pemuda tadi yang tersangkut di sela-sela tanduknya. Merah bekas lelehan darah. Ia kini menatap empat orang sisa lawannya. Siman tergugu. Baru kali ini ia ikut berburu, langsung dihadapkan dengan tragedi yang tak ia inginkan.

Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan malu, Siman ikut terperosok dalam dunia perburuan yang ia benci. Jangankan menombak kelinci hutan atau membidik burung dengan senapan angin, menyembelih ayam saja Siman tidak tega. Entah kenapa, ia selalu merasa bahwa hewan-hewan itu patut untuk dikasih-sayangi. Tak sampai hati ia menyakiti binatang.

"Bocah bencong," Marto, abang Siman, kerap mengolok-oloknya. Cemooh itu Siman dengar ketika ia tidak tega menyembelih seekor ayam yang disuruh emak untuk lauk makan malam.

Saudara-saudara Siman kerap mengolok-oloknya dengan sebutan bencong karena ia terlampau sering kasihan. Tubuhnya juga kecil dan lemah mirip anak perempuan. Wajar kalau Siman tak kuat memikul karung padi, meskipun karung terkecil sekalipun. Ia merasa sering tak berdaya di antara saudara-saudaranya yang lain. Karena tidak tahan dengan olok-olokan itu, akhirnya Siman memutuskan ikut ayahnya berburu. Sedikitnya membuktikan kalau ia juga jantan dan tak selemah seperti yang diejek saudara atau teman-temannya.

Di suku Kutai Dalam, sebelum Islam datang dibawa pedagang-pedagang dari Jawa dan India, ritual transisi remaja laki-laki untuk kemudian beralih menjadi dewasa adalah dengan berburu. Para bocah laki-laki yang dianggap sudah tumbuh besar dilepaskan di hutan untuk menangkap sendiri hewan buruan mereka. Ini dilambangkan sebagai simbol kemandirian. Apabila ia mampu bertahan di dalam ganasnya hutan, apalagi pulang dengan membawa hewan buruan untuk keluarganya, anak laki-laki tersebut dianggap sudah dewasa dan siap untuk dikawinkan.

Budaya pendewasaan berdasarkan kepercayaan adat tersebut berakhir sampai akhirnya Islam datang. Betapa mudah menjadi laki-laki. Atas ajaran dari punggawa masjid, masa transisi dari remaja untuk dianggap dewasa hanyalah dengan mimpi basah. Akil balig. Apabila anak-anak sudah disunat, ia sudah dianggap remaja. Tak ada lagi budaya buru-berburu. Ibu-ibu dusun bersyukur sejadi-jadinya oleh kemudahan ini. Mereka tak perlu lagi khawatir memikirkan nasib anak-anak mereka yang dilepas di hutan tanpa tahu bagaimana kelanjutan nasibnya. Memang, terkadang ada anak laki-laki lemah yang hingga berhari-hari tak kunjung pulang. Seminggu dua minggu, hingga sebulan. Betapa cemas keluarga yang ditinggalkan. Apabila sekian lama tidak juga kembali, biasanya para pencari rotan menemukan tubuh anak sial bin celaka tersebut dari bau mayat yang sudah membusuk.

Akan tetapi kini, berburu bukan lagi keharusan. Seperti anak-anak Nias tidak lagi harus ikut tradisi lompat batu untuk dianggap dewasa. Waktu telah bergulir, zaman telah mengalir. Meskipun demikian, berburu bagi orang-orang Kutai Dalam masih merupakan pekerjaan bergengsi. Berburu adalah lambang keberanian.

Namun, semuanya berbeda gara-gara olokan bedebah ini, pikir Siman. Kenapa kejantanan anak laki-laki harus dikaitkan dengan darah dan kekuatan? Siman mereka-reka sumpah serapah paling kasar di mulutnya. Bisa jadi, detik-detik berikutnya adalah akhir dari hidup seorang bocah dusun di hadapan seekor kijang marah yang gagal mereka buru.

Permukiman orang-orang Kutai Dalam terletak di dataran rendah di Kalimantan, sebuah daratan yang unik karena setiap tahun akan terjadi banjir besar yang menenggelamkan ratusan desa di dekat muara. Dengan suka cita, banjir akan disambut oleh warga sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun juga, karena bertempat di dataran rendah, meluapnya sungai Mahakam dipandang sebagai berkah alam. Lebih aneh lagi apabila banjir tidak datang. Bahkan jika terlambat sedikit saja, orang-orang Dayak Lama akan melarung sajen sebagai sembah-tawar kemurkaan Dewa-Dewi mereka.

Oleh sebab itu, apabila kau bertandang ke pedalaman Kalimantan, lalu lintas utama akan kaujumpai menggunakan kapal dan perahu sepanjang lajur sungai. Di bibir-bibir aliran, berderet-deret pemukiman penduduk menghadap ke aliran air. Air sungai Mahakam inilah yang setiap tahunnya akan meluap merendam rumah-rumah penduduk. Sebagai jalan keluar, orang-orang dusun akan membangun rumah-rumah panggung sebagai tempat tinggal. Pasak-pasak tinggi menyangga lantai hingga rumah tampak tinggi. Gunanya, bila banjir melanda, air tidak akan menyentuh permukaan rumah, terbebas dari binatang-binatang liar: ular berbisa, ikan toman gergaji, hingga buaya-buaya badas.

Itulah, awal musim hujan, saat banjir belum jauh meninggi, masa-masa perburuan menjadi pencaharian utama penduduk. Nelayan-nelayan akan memasang jaring, pemburu burung memasang jerat di wilayah rawa-rawa dan dahan pohon, pencari kulit ular bergeriliya memasang perangkap, hingga penombak ikan mulai menyiapkan perkakas untuk memburu ikan di malam hari. Tidak ketinggalan; orang-orang Dayak Benuaq, Iban, hingga Kenyah akan menyisir pemukiman demi berburu babi.

Di sanalah, di salah satu wilayah berhutan, Siman terjebak dalam perburuan celaka tersebut. Sebagai anak bungsu ingusan, ia belum diperbolehkan menenteng senapan rakitan. Bekalnya hanya sebilah tombak kecil dan mandau tumpul yang belum sempat diasah karena bangun kesiangan. Kini, di hadapannya kijang beranak dengan mata semerah saga mendengus menatap mereka.

Siman menahan nafas. Mandaunya tidak berguna lagi, pun tombaknya juga. Bukan karena jarak terlampau dekat atau terlalu jauh. Tulang-tulang Siman serasa dilolosi satu persatu dari tubuhnya. Tenaganya terasa lepas, rapuh, dan tidak berdaya.

Salah satu alasan musim perburuan dilakukan di kala banjir masih muda karena saat-saat itulah waktu binatang-binatang hutan keluar dari persembunyian mereka. Mereka akan keluar demi mencari tempat yang lebih tinggi: babi-babi menggelosor dan keluar dari palung mencari tempat tinggal baru, demikian juga kijang, ayam hutan, kerbau, pelanduk, dan kelinci. Bukan hanya binatang-binatang buruan saja, binatang liar pun terusik: ular piton, sanca, kobra, beruang madu, dan macan dahan mencari habibat yang cocok demi menyelamatkan diri dari air dan berebut tempat nyaman dengan hewan-hewan lain.

Dan perkiraan mereka salah, ayah Siman dan tiga pemuda dusun yang lebih berpengalaman berburu telah menyiapkan diri menghadapi binatang buas liar: beruang madu atau terkaman macan dahan, belitan ular, hingga ramuan penawar racun jika salah-salah terpatok ular berbisa. Namun semuanya sia-sia karena mereka malah dihantam oleh buruan mereka sendiri. Siman bertanya-tanya, merekakah pemburu atau merekalah yang diburu? Semuanya serba terbalik dan di luar nalarnya lagi.

Kini, kijang itu masih berada di hadapan mereka. Siman menoleh cepat ke samping, ke arah jajaran pohon-pohon dan semak-perdu yang setinggi dadanya. Ia memperkirakan laju kecepatan lari dan menyelamatkan diri dari terkaman kijang kurang ajar itu. Dapatkah ia kabur dari situasi mencekik ini? Siman benar-benar tidak dapat menahan diri. Sementara ayah dan dua pemuda itu masih terkencing-kencing ketakutan, Siman melesat bagai peluru ke arah berlawanan. Ia tentu tidak mengira, tidak lagi sempat berpikir tentang kijang marah yang mereka buru; tidak sempat berpikir bagaimana jika kijang itu mengejarnya. Ia hanya tahu satu-satunya cara purba untuk selamat: kabur dan lari sekencang-kencangnya.

Siman tentu tidak menyangka bahwa hewan liar akan demikian peka terhadap gerik kejut dan tiba-tiba. Bisa jadi hal ini luput dari perhatiannya sehingga tepat ketika ia melesatkan kakinya, melompati semak dan jajaran perdu, kijang gila tersebut menolehkan kepalanya ke arah Siman. Tidak lama, dengan dengus dan lenguh keras, ia melompat dan menerjang ke arah bocah celaka tersebut. Sekejap saja, dengan mudah binatang marah tersebut menyusul laju lari Siman. Celakanya lagi, karena tunggur kayu di depannya, baju Siman tersangkut, hingga ia pun menggelepar terjatuh. Tanpa butuh waktu lama, kijang tersebut menerjang dan menghantam tubuh Siman. Sekali sentak, ia menghunjamkan tanduknya yang tajam dan bercabang ke arah punggung bocah tersebut.

Siman terkapar dan menggelepar, menggapai-gapaikan tangannya, berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Tubuhnya berguncang-guncang dilukai tanduk tajam hewan penuh amarah tersebut. Bajunya memerah oleh darah. Ia demikian gaduh hingga menyadari bahwa ia tidak sedang berada di hutan, tidak sedang berburu, tidak juga memegang tombak, tidak sedang bersama ayah dan dua pemuda dusun.

Dengan dengus yang masih memburu, ia mendusin di tengah malam. Baru kali itu ia begitu dibuali rasa takut yang amat dalam, nafasnya tersengal bagai disumpal oleh gelap malam yang sangat kelam. Sambil terengah-engah Siman merasa bahwa ia telah terbangun dari tidur yang amat panjang, sangat panjang, tak berujung, tak berkesudahan....

Yogyakarta, Juni 2018


Abdul Hadi, menulis cerpen dan esai, dimuat di beberapa surat kabar. Cerpennya yang berjudul Perempuan dan Anjing terpilih menjadi cerpen terbaik Asia Tenggara di Pekan Bahasa 2017 oleh Universitas Negeri Sebelas Maret dan Balai Bahasa Jawa Tengah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus