Sebuah gong raksasa berdiameter 1,5 meter tampak tergeletak di tengah panggung. Dan kita langsung bisa menduga koreografi bakal terfokus pada permainan komposisi seputar gong tersebut. Mula-mula panggung dibasuh oleh suara menderu dari tiupan digeridu, instrumen bambu Aborigin. Enam orang penari laki-laki telanjang dada, dengan rambut terurai, masing-masing membawa sepasang simbal, bergerak perlahan. Sesekali mereka menangkupkan logam itu. Dari belakang, seorang penari menuju gong lalu naik ke atasnya. Entakan kakinya menimbulkan bunyi.
Seberapa kreatifkah Fajar Satriadi, yang sering menjadi penari utama Sardono W. Kusumo dan Jane Chen, keramikus yang juga penari itu, mengolah kemungkinan-kemungkinan panggung, gelap-terang cahaya, tubuh, dan gong?
Pertunjukan ini menafsirkan secara bebas kisah kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular di abad ke-14. Syahdan, Sutasoma mencapai bodhisatwa melalui penyucian diri. Proses tarak Sutasoma dan godaannya itu menjadi imajinasi garapan. Enam belas penari, rata-rata dari STSI Solo—kecuali Jane Chen dan I Ktut Rina dari Bali—melakukan persiapan dari sekitar Juli tahun lalu. Musik ditangani oleh Sono Seni Ensemble pimpinan I Wayan Sadra, dan Biksu Sri Pannavaro Mahathera dari pertapaan Mendut diminta sebagai penasihat.
Separuh pertunjukan berkisar permainan bloking dengan pusat penari Nuryanto, dosen STSI, di atas gong. Empat penari wanita melingkari gong, lalu berjalan mengelilingi, mengambil posisi simpangan. Mereka bersitegang, mendekat atau meninggalkan sang Sutasoma sendiri di atas gong. Tampak gong betul-betul prop yang dipretensikan untuk sebuah visualisasi cantik.
Adegan percintaan berdua di atas gong mendapat porsi besar. Penari Nungki Nurcahyani dan Nuryanto saling berhadapan erotis. Tanpa pergumulan, tanpa pergesekan kulit bertemu kulit, tubuh Sutasoma bergetar. Saat Sutasoma meningalkan gong, sang wanita menggapai selendangnya yang terjuntai, seolah meratapi kepergiannya. Perempuan itu rebah sendiri di gong, mengeluarkan erangan. Tata lampu yang tadinya konstan terang mendadak bergerak ke remang-remang biru.
Selanjutnya, lantai dipenuhi para penari laki-laki yang berputar-putar, bergelimpangan seputar gong. Ktut Rina dengan gaya tari kecak Balinya melintas. Alur menanjak ketika seorang penari berdiri di atas gong, diangkat beramai-ramai, diteruskan dengan sebuah adegan perang: para penari bersama-sama bergerak ala tari rakyat Kubro Siswo, Magelang. Ada perang tongkat antara Fajar Satriadi dan penari Eko Supendi, panggung terasa dinamis. Tampak di situ Jane Chen, yang 12 tahun menggeluti silat Bangau Putih, menyisipkan sedikit-sedikit idiom silatnya.
Pada menit-menit akhir, berbagai macam ukuran gong digelindingkan, dipukul, diusap-usap rongganya. Kejutan panggung yang ingin disajikan adalah ketika para penari berdiri di atas empat buah gong dengan formasi bujur sangkar. Tiba-tiba dari atas jatuh curahan beras tak henti-hentinya menimpa tubuh penari dan gong, adegan yang secara visual memanjakan mata. Tapi yang mungkin harus diperhitungkan adalah, selama beberapa tahun terakhir, banyak garapan dengan pendekatan artistik semacam ini. Tercatat mulai Sankai Juku, Sulistiyo Tirto Kusumo, Boi G. Sakti, hingga Elly Luthan. Soalnya adalah bagaimana kelompok tari yang ingin menggunakan "trik" itu tidak mengulang idiom atau tidak sekadar menghadirkannya sebagai pemanis, tapi memang suatu kebutuhan yang menjadi bagian dari logika batin garapan.
Bila pertunjukan lebih dari satu jam ini terasa tidak menjemukan, itu juga karena musik yang diaransir ala pop-mantra. Alat-alat musik Tibet seperti genta kecil, singing bowl, mangkuk logam, dan perkusi lain—meski Wayan Sadra sendiri tidak ikut hadir malam itu di Graha Bakti Budaya—bisa diolah tim Sono Seni secara rancak dan segar. Variasi motif susul-menyusul seolah tak ada jeda. Pada beberapa bagian, terasa musik adalah sebuah komposisi tersendiri yang lebih kuat dari tarinya. Membawa sekaligus pertunjukan ini menjadi sebuah pertunjukan musikal atas Sutasoma.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini