Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Percakapan Terang dan Gelap

Gerad Mosterd, koreografer berayah Belanda dan beribu Indonesia, berkeliling Jawa-Bali mementaskan Luminescent Twilight. Pertunjukan yang diinspirasi oleh senja.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua lingkaran cahaya itu jatuh ke lantai bagaikan pilar kukuh. Selebihnya ruangan pekat. Musik menggumamkan bunyi seperti detak-detak jam. Bahkan seandainya tanpa penari pun, gelap dan terang di panggung seolah sudah menghadirkan percakapan Banyak perupa dan koreografer asing yang datang ke Indonesia tertarik pada keseimbangan waktu kita. Di sini berbeda dengan di Eropa, malam dan siang terbagi sama persis. Walter Spies menemukan bayang-bayang di Bali sebagai ungkapan mistis. Maka, sawah, sapi, petani, rumpun bambu yang ada di kanvasnya selalu dilukis seakan-akan ditimpa oleh suatu back drop cahaya—hingga menimbulkan bayang-bayang gelap yang bersifat imaji. Mella Jarsma, ketika pertama kali datang ke Yogya, senantiasa berburu bayang-bayang. Beberapa waktu lalu Suprapto Suryodarmo dari Padepokan Lemah Putih, Surakarta—sebuah tempat latihan "meditasi gerak" bagi banyak bule—mengadakan acara Berbagi Bayang-Bayang. Prapto pun dikenal sering membawa cantrik-cantrik bulenya ke Pantai Parangtritis, mengolah gerak berdasar bayang-bayang yang tersapu oleh ombak. Juga pernah tahun lalu, di Institut Kesenian Jakarta, kelompok penari Double 6 pimpinan Erick Wurtz asal Prancis menampilkan eksplorasi visual yang bertumpu pada layar dan bayang-bayang. Tiga penari perempuan bergerak, dan siluet mereka seperti berada dalam ruangan virtual bertegangan tinggi. Berdasarkan eksplorasi wayang kulit, mereka membuat kejutan-kejutan optik. Mosterd adalah koreografer "asing" yang menambah deretan mereka yang terpesona oleh senja itu. Berayah Belanda dan beribu Indonesia, lahir dan besar di Amersfoot, ia seolah mencari yang paling arkais dari "masa lalunya". Dari awal sampai akhir, atmosfer panggung membuktikan kepekaannya akan kontras gelap dan terang. Transisi cahaya yang tajam yang menandai perpindahan adegan pertunjukan sama sekali tidak kendur. Mulanya gesekan rebab. Lalu Teck Von Ng, penari asal Vietnam yang bertelanjang dada, bercelana panjang hitam, bergerak. Posisi berdirinya membuat bagian bahunya saja yang terbilas terang. Tiba-tiba melintas cepat dari belakangnya Ester Natzijl. Sebuah pembukaan yang cukup mengesankan. Bunyi olahan gender, bonang, dan gambang yang dipukul Niels Walsen dilanskapi oleh musik elektronik Paul Goodman, berperan sebagai aksentuasi suasana. Memang, panggung mampu menyergapkan kita pada suasana misteri. Seolah-olah betul yang pernah dikatakan oleh Rudjito, penata artistik kita, bahwa dalam ruang timur, ruang gelap selalu merupakan ruang untuk para cenayang. Lebih-lebih perhitungan bayang-bayang yang dilakukan Mosterd ke tubuh penari sungguh cermat. Gerakan-gerakan Teck Von Ng, meski tak banyak yang bisa kita ingat, lembut. Berlawanan dengan Ester Natzijl, yang cepat. Bergantian. Bila yang satunya aktif, yang lain diam. Frekuensi gerak menjadi kontras keduanya. Yang mungkin kurang adalah gelap-terang hanyalah menjadi sebuah set untuk bloking kedua penarinya. Gelap-terang hanyalah sebuah ruang statis bagi tubuh penari. Mosterd tidak liar menjadikan cahaya sebagai aktor. Ia tidak menciptakan cahaya sebagai sesuatu yang berdialektika dengan penari. Ia juga tak banyak mengeksplorasi efek pembesaran bayang-bayang pada lantai atau dinding, atau menciptakan ruang dalam ruang dengan cahaya. Di akhir pertunjukan, sebuah tabir kertas Jepang yang ada di panggung digeser kian kemari. Kedua penari dari dua sisi saling berhadapan bak cermin. Dan kemudian Teck Von Ng merobek kertas, membentuk seperti pintu. Dari arah belakang, sorot cahaya ditembakkan melalui "pintu" hingga membuat jalan setapak berupa leret cahaya di lantai. Dan kejutan terjadi. Tiba-tiba alunan musik keroncong moresko mengalun ke panggung. Keluar dari pintu itu, setelah sekian lama bergerak sendiri-sendiri, kedua penari melakukan gerakan merayap, bergulung-gulung, "berdansa" bersama. Suasana yang pekat jadi lumer. Tiba-tiba terasa menyambung bahwa metafora gelap, terang, bayang-bayang, senja ada dalam logika batin kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional di Jawa. Jarang koreografer dan penata lampu kita secara sungguh-sungguh melakukan eksplorasi atas kontras gelap dan terang. Apakah ini karena kita terlalu tidak berjarak dengan hal-hal yang sehari-hari kita lihat, sehingga kita alpa kemungkinan artistiknya? Pertunjukan bersahaja Mosterd di Gedung Kesenian Jakarta pekan lalu itu mengingatkan pada problem tersebut. Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus