Wong akuning
balik loro
ketemu ing palayaran….
ALUNAN rebab mengiringi sembilan penari, gadis muda berhiaskan kain dodot ala pengantin Jawa, lengkap dengan paesan di wajah dan cunduk mentul di rambutnya. Diantar empat abdi dalem, langkah demi langkah mereka menuju tengah bangsal Kencono, persis di depan singgasana Sultan bersama permaisuri.
Di saat ratusan pasang mata tamu undangan terpaku melihat gemulainya laku para penari, tiba-tiba semilir angin lembut menyapu para hadirin. Dan hawa magis pun terasa mendirikan bulu kuduk. "Biasanya Kanjeng Ratu Kidul memang hadir saat gending Semang ditabuh," demikian kata B.R.Ay. Yudonegoro, 71 tahun, empu tari dari Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Kita boleh percaya atau tidak. Bedhoyo Semang memang sebuah tarian sakral yang dianggap istimewa karena merupakan induk atau babon dari semua bedaya di Keraton Yogya. Koreografi itu ciptaan Sultan Hamengku Buwono I atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Terakhir dipentaskan saat Keraton Yogyakarta dipimpin Sultan Hamengku Buwono (HB) VII, yang wafat pada 1921. Pada zaman HB VIII dan HB IX, tarian ini pernah akan dipentaskan. "Tapi saat mau latihan itu gagal terus. Ada-ada saja yang terjadi, listrik mati, hujan deras, atau ada halangan lain. Akhirnya pada waktu itu gagal dipentaskan," tutur B.R.Ay. Yudonegoro.
Semang, yang berarti samar-samar, menurut Yudonegoro, berbeda dengan tari bedaya lain. Ceritanya tidak jelas tergambar karena makna tarian itu penuh dengan simbol. "Jadi, kita disuruh menebak sendiri arti cerita yang terkandung dalam bedaya itu," ujar penari keraton yang juga cicit Sultan Hamengku Buwono VI ini. Menurut dia, seperti lirik tembang di atas, bedaya ini diilhami pertemuan Sultan Agung dengan Kanjeng Ratu Kidul. Saat itu Sultan Agung, yang sedang bingung menghadapi berbagai persoalan, datang ke Pantai Selatan dan menemui Kanjeng Ratu Kidul, didampingi para empu gending Keraton Mataram, yaitu Panembahan Purbaya, Tumenggung Alapalap, Kiai Panjang Mas, dan Pangeran Karanggayam.
Bedhoyo Semang yang dipentaskan pekan lalu itu mengalami penyusutan durasi, dari empat jam dipangkas tinggal dua jam. Koreografi ini terdiri atas tiga babak: Pisowanan, Suwuk, dan Lagon Lasem. Gending-gending yang digunakan adalah Gendhing Ageng Semang, yang diawali dengan iringan gesekan rebab itu, Gendhing Ladrang, dan Gendhing Ketawang. Di tengah pergantian Gendhing Ladrang ke Gendhing Ketawang, para tamu dikejutkan dengan bunyi tembakan yang berasal dari para penari. "Saya sendiri tidak tahu apa makna dari pistol itu, karena sejak Sultan ke-7 memang orang sudah memakai pistol," ujar Yudonegoro.
Di tengah suara gerongan (kor pria) pada Gendhing Ketawang digambarkan seorang penari yang memerankan laki-laki menunjukkan sikap bingung. Tubuhnya bergerak memutar, menuju ke berbagai arah. Di saat yang sama, seorang penari lain yang berperan sebagai perempuan kemudian mengitari penari itu sehingga dapat menenangkannya. Berdasarkan pengalaman Yudonegoro, biasanya Kanjeng Ratu Kidul masuk ke tubuh penari yang berperan sebagai perempuan. "Biasanya ia yang paling sering dirasuki," ujarnya.
Mengapa dalam memperingati jumenengan (ulang tahun) naik takhta ke-14 ini Sultan Hamengku Buwono X memilih mementaskan Bedhoyo Semang? G.B.H. Yudaningrat, Ketua Kebudayaan Keraton Yogyakarta, mengakui bahwa pihak keraton kini merasa sangat prihatin dengan segala situasi sulit di Indonesia. "Kita kembalikan semua itu kepada Tuhan. Ya, ini merupakan bentuk kepasrahan," ujarnya. Sementara itu, I Made Badem, ahli tari dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, melihat makna pementasan ini tidak hilang walau dipadatkan alurnya. Ia melihat, Sultan ingin mementaskan sebuah pertunjukan yang simbolis. "Kita ini kan sedang krisis kebudayaan, krisis kepemimpinan, bingung siapa yang patut diteladankan," ujarnya.
L.N. Idayanie (Yogyakarta), Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini