Pertarungan kekuasaan tidaklah identik dengan pertarungan untuk mempengaruhi arah pengembangan politik suatu negara. Buku berjudul Politik Huru-Hara Mei 1998 yang ditulis oleh Fadli Zon menggambarkan pertikaian kekuasaan tanpa pertarungan politik negara yang jelas tujuan-tujuannya. Pasti kita akan dibuat terperangah oleh cerita tentang pertarungan istana, khususnya di antara para jenderal penopang kekuasaan Soeharto menjelang tumbang. Buku ini dibuat dengan keinginan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di balik skandal berdarah pada bulan terakhir kekuasaan Soeharto, Mei 1998 silam.
Fadli Zon mengajukan pembelaan terhadap Prabowo secara lugas, dari tuduhan penculikan aktivis, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, sampai kerusuhan yang melanda beberapa kota pada pertengahan Mei 1998. Pembelaan yang lahir dari kerisauan bahwa Prabowo telah dikorbankan oleh Wiranto untuk tujuan-tujuan politik. Tapi, untuk tujuan politik seperti apa? Buku ini sama sekali gagal menjawabnya. Gambaran yang diperoleh justru perebutan akses politik pada keluarga Soeharto, dan upaya yang saling melempar tanggung jawab.
Memang terdapat keanehan apabila Fadli Zon menggambarkan dirinya sebagai orang sipil, sahabat Prabowo, bisa berkomunikasi dengan leluasa di kalangan militer, bahkan turut dalam patroli Ibu Kota di atas panser TNI-AD. Tapi, sebagai orang sipil ”berpanser”, tentu dengan mudah ia bisa melihat realitas bahwa para petinggi militer ini telah terkotak-kotak dalam interes politik. Jalur komando adalah semata relasi formal, tapi respons tiap-tiap pejabat militer tergantung pada kantong-kantong relasi politiknya. Bahkan kemudian, pemberian identitas Prabowo sebagai tentara hijau amat kuat mempertunjukkan adanya upaya menyeret kekuatan politik dalam masyarakat untuk turut bertarung di dalamnya.
Sebaliknya, Wiranto dalam bukunya, Bersaksi di Tengah Badai, yang diterbitkan oleh Ide Indonesia, mengajukan pembelaan dengan menyajikan versi lain dari peristiwa-peristiwa yang sama. Alhasil, semua gambaran di balik kasus-kasus itu menjadi dua fakta, dua cerita, serta dua makna yang berbeda. Bagi Wiranto, Prabowo adalah anak nakal dan banyak melakukan langkah-langkah yang tidak tepat sebagai prajurit militer. Kerisauan utama Wiranto: akses langsung Prabowo kepada Soeharto, yang berpengaruh terhadap struktur personalia organisasi TNI. Sekali lagi, pusaran kekuasaan Soeharto begitu penting bagi mereka berdua untuk berebut kontrol atas TNI.
Wiranto susah-payah menjelaskan bahwa kerusuhan pada 13 dan 14 Mei bukanlah kesalahan dia. Prabowo menolak tuduhan bahwa itu permainannya. Perdebatan tentang keberangkatan para jenderal ke Malang pada pagi hari 14 Mei 1998 begitu penting bagi Wiranto maupun Prabowo untuk menyatakan mereka dapat mencurigai masing-masing bermain di balik kerusuhan dan jatuhnya korban.
Menariknya, di balik semua perbedaan versi, terdapat persamaan yang tampaknya dijaga. Kasus penculikan para aktivis, misalnya, keduanya menyepakati korban penculikan sembilan orang aktivis yang kemudian dibebaskan. Padahal diketahui, di luar itu paling tidak terdapat beberapa nama lain yang sampai sekarang belum jelas rimbanya. Mereka jelas menjadi korban operasi penculikan pada masa itu. Memandang kerusuhan Mei, keduanya mengambil posisi bahwa kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota lainnya adalah reaksi dari gerakan mahasiswa yang tidak terkendali pasca-penembakan mahasiswa di Trisakti. Meski secara implisit ingin digambarkan juga bahwa kerusuhan itu merupakan mainan politik.
Dari semua yang diuraikan kedua buku itu, kita akan menemukan satu gambaran: baik Prabowo maupun Wiranto telah mempersonifikasi semua pertarungan politik nasional di sekitar jatuhnya Soeharto sebagai persoalan pertarungan mereka. Sebuah pergolakan istana yang penuh keraguan, trik licik, dan nafsu kekuasaan. Tapi, apa makna itu semua bagi rakyat banyak, bagi demokrasi, bagi yang sedang menunggu kapan kebenaran di balik kerusuhan Mei itu terungkap, yang menunggu keadilan atas anak-anak mereka yang masih hilang? Tentu tidak ada. Sebab, yang muncul adalah upaya agar kita memilih di antara mereka berdua: siapa yang jahat dan siapa yang bersih, tanpa sedikit pun menunjukkan keberanian untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Akhirnya, bisa saja dipahami: kedua buku itu hanyalah pertarungan membangun citra diri sebagai langkah mencari karpet merah menuju kekuasaan baru dalam Pemilu 2004, dan membiarkan kebenaran dan publik semakin terperosok ke dalam ketidakjelasan.
Munir, Direktur Eksekutif Imparsial
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini