Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mogok di Tengah Jalan

Enam tahun sejak kerusuhan yang mengerikan itu terjadi, masih belum terungkap siapa dalang di belakangnya. KPP Mei 1998 semakin tak bergigi.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT pertandingan catur, ending game yang dimainkan Sholahuddin Wahid sungguh sebuah langkah dramatis. Ia menerima tawaran remis Jenderal Purnawirawan Wiranto, seterunya dalam "partai klasik" yang masih berselimut misteri sampai sekarang, kerusuhan Mei 1998. Selasa pekan lalu, Gus Sholah—begitu adik Abdurrahman Wahid ini biasa disapa—resmi digandeng pemenang konvensi Partai Golkar itu sebagai wakilnya untuk melenggang ke pemilihan presiden, 5 Juli mendatang.

Gus Sholah bukan orang biasa. Sebelum menjadi calon wakil presiden, ia sudah lebih dulu jadi Wakil Ketua Komnas HAM. Dan lebih penting lagi, Gus Sholah adalah Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (KPP Mei 1998), yang dibentuk 6 Maret 2003 untuk menyelesaikan kasus hukum dan menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara, badan, serta kelompok lain dalam pelanggaran itu.

Itu semua berarti banyak. Hasil laporan KPP Mei 1998 setebal lebih dari 1.000 halaman itu pun sudah diserahkan Gus Sholah kepada Kejaksaan Agung, September 2003. "Ada indikasi kuat kerusuhan dilakukan terencana, terorganisasi, dan adanya pembiaran (omission) oleh aparat keamanan," ujarnya.

Faktor pembiaran itulah yang mengandung pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. "Karena itu, yang harus bertanggung jawab adalah Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin dan Kapolda Hamami Nata (almarhum), kemudian atasan mereka, Wiranto, sebagai Panglima ABRI," ujarnya kepada Fadli Zon, Februari 2004, sebelum dituangkan Fadli ke dalam bukunya, Politik Huru-Hara Mei 1998.

Masalahnya, sejak diterima kejaksaan, segepok dokumen itu seperti mandek di tengah jalan. Maklum, ini bukan perkara biasa sehingga dibutuhkan keputusan parlemen dan pemerintah untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc—seperti untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur. Tak mengherankan, di pekan pertama saja, ketika 20 orang perwira dan Panglima TNI dipanggil untuk menghadap Komnas HAM, tak satu pun yang muncul. Nada keras yang dilontarkan Gus Sholah dengan menyebut timnya sebagai pro-justicia—"kalau tak memenuhi panggilan kami, sama saja dengan melakukan perlawanan hukum"—seperti auman macan sirkus yang tak membuat gentar.

Wiranto sendiri mafhum bahwa sebutan "pembiaran" (by omission) ini bisa menjadi stigma abadi yang bakal melekat di sepanjang sisa hidupnya. Karena itu, di dalam bukunya yang terbit tahun lalu, Bersaksi di Tengah Badai, mantan ajudan Presiden Soeharto (1989-1993) ini menganggap para penentangnya sangat tidak logis bila mengharapkan dia bertindak keras dengan menembaki para pendemo dan penjarah.

Kalau itu yang terjadi, menurut Wiranto, pastilah aparat keamanan lagi yang tetap dituduh melanggar hak asasi manusia yang lebih berat lagi (by commission), dan disamakan dengan tragedi Tanjung Priok, misalnya. "Ini benar-benar konyol!" ujarnya keras dalam tulisannya.

Sesungguhnya, KPP Mei ini adalah perpanjangan hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman dan dibentuk tak lama setelah kerusuhan meletus. Nah, temuan TGPF yang kemudian dikaji oleh Komnas HAM itu menunjukkan adanya indikasi pelanggaran berat hak asasi manusia, sehingga untuk menelusurinya lebih lanjut dibuatlah KPP Mei 1998 itu.

Lucunya, kendati TGPF-KPP ini sejatinya "satu badan dengan dua nama", hasil rekomendasi mereka terlihat berbeda. Sementara KPP Mei 1998 berusaha menarik garis tanggung jawab hingga ke Wiranto, rekomendasi sembilan pasal TGPF lebih terkesan menggempur mantan Pangkostrad Prabowo Subianto. Misalnya tudingan pertemuan di Makostrad tanggal 14 Mei sore.

Persamaannya, barangkali, temuan KPP Mei 1998, yang sudah makin rinci dibanding pendahulunya, TGPF, itu akan bermuara pada hasil yang sama: tak mengail apa-apa. Apalagi setelah Gus Sholah, sang Ketua, melepaskan jabatan itu untuk memuluskan kursinya sebagai wakil presiden dan kini bermain dengan bidak yang sama dengan Wiranto.

Akmal Nasery Basral


Wiranto di Sana, Prabowo di Sini

Kabut misteri masih membekap Tragedi Mei 1998. Hingga kini, tragedi yang menurut Tim Gabungan Pencari Fakta telah menewaskan 1.217 orang itu tak jelas juntrungannya. Pelbagai versi cerita masih menjadi silang pendapat. Jenderal (Purn.) Wiranto dan Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, dua tokoh utama drama berdarah itu, saling melempar opini publik. Keduanya telah merilis "buku putih" dengan versi yang berbeda.

Dalam buku Bersaksi di Tengah Badai, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto bertutur soal sepotong perjalanan hidupnya. Buku yang diterbitkan pada April 2003 lalu itu dibuat sebagai "klarifikasi" atas berbagai tudingan miring kepadanya. Soal Tragedi Mei 1998, misalnya, Wiranto menghabiskan 11 bab khusus. Wiranto, yang kini menjadi calon presiden dari Partai Golkar, menguraikan latar belakang dan inside story huru-hara yang berbuntut tumbangnya rezim Soeharto itu.

Tak mau kalah, pada April 2004 lalu kubu Prabowo juga merilis buku soal Tragedi Mei 1998. Fadli Zon, yang dikenal sebagai "juru bicara" Prabowo, meluncurkan buku Politik Huru-Hara Mei 1998. Dalam buku setebal 172 halaman tersebut, Fadli Zon mengurai dan menjawab pelbagai tudingan terhadap Prabowo.

Berikut ringkasan kedua buku tersebut.

Kubu Prabowo menganggap keputusan Wiranto pergi ke Malang pada 14 Mei 1998 sebagai langkah aneh. Untuk mencegahnya, Prabowo mengaku telah delapan kali menghubungi Wiranto melalui telepon. Prabowo mengaku telah mengusulkan pembatalan acara di Malang. Dalam buku Politik Huru-Hara Mei 1998, Fadli Zon menyarankan kasus kepergian para jenderal ke Malang diselidiki lebih jauh. "Itu dapat mengungkap siapa dalang dan kambing hitam kerusuhan Mei 1998," ucap Fadli Zon.

Jenderal (Purn.) Wiranto
(Bekas Menhankam/Pangab) Letjen (Purn.)

Soal Penculikan Aktivis
Wiranto menganggap aksi penculikan sembilan aktivis—antara lain Pius Lustrilanang, Andi Arief, dan Nezar Patria—sebagai langkah pribadi Prabowo. Mayjen Prabowo Subianto, yang ketika itu menjabat Danjen Kopassus, pada Februari hingga Maret 1998 menangkapi para aktivis secara sewenang-wenang. "Penculikan itu bertentangan dengan konsep kompromis-dialogis yang saya kembangkan," ujar Wiranto.

Soal Penembakan Mahasiswa Universitas Trisakti
Penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 terjadi akibat suasana kacau saat demonstrasi. Sekitar pukul 16.45, tanpa komando Kapolres Jakarta Barat, pasukan Brimob menembaki mahasiswa yang berunjuk rasa. Dari atas jalan layang, pasukan Gegana juga ikut menembaki mahasiswa. "Empat mahasiswa meninggal dunia," kata Wiranto, "Dan beberapa luka-luka."

Soal Kerusuhan Mei 1998
Setelah penembakan mahasiswa Trisakti, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya dilanda kerusuhan hebat. Akibatnya, 1.190 orang mati terpanggang kobaran api. Ribuan mobil dan ratusan toko hangus dibakar. Wiranto menyatakan peristiwa kelam itu sebagai "kehendak sejarah". Dalam bukunya, Wiranto memastikan pelaku kerusuhan itu bukan dari ABRI. "Mereka penjarah, perampok, dan penodong," kata Wiranto.

Soal Kepergian Para Jenderal ke Malang
Pada 14 Mei 1998, saat Ibu Kota sedang dilanda kerusuhan hebat, Wiranto pergi ke Malang, Jawa Timur. Agenda Wiranto di Malang untuk melakukan serah-terima pimpinan Pasukan Pengendali Reaksi Cepat. Tapi Wiranto mengaku tak bermaksud membiarkan Ibu Kota yang kisruh menjadi tak terkendali. "Saat itu bukan zaman Romawi atau Majapahit," kata Wiranto, "Panglima bisa mengendalikan komando dari mana saja."

Prabowo Subianto
(Bekas Danjen Kopassus dan Pangkostrad)

Soal Penculikan Aktivis
Buku Politik Huru-Hara Mei 1998 sama sekali tak memuat soal penculikan sembilan aktivis. Tapi, kepada Majalah TEMPO, Prabowo menyatakan penculikan tersebut sebagai operasi intelijen. "Saya melaksanakan tugas demi kehormatan Republik," ujar Prabowo.

Tapi Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang dibentuk Wiranto, akhirnya merekomendasikan pemecatan Prabowo dari militer aktif. Agustus 1998, dengan menggunakan satu tangan, Menhankam/Pangab Wiranto mencopot tanda pangkat Prabowo.

Soal Penembakan Mahasiswa Universitas Trisakti
Fadli Zon mempertanyakan sikap Wiranto yang tak mengusut penembakan dengan cepat dan tegas. Buktinya, baru tanggal 29 Mei 1998 Wiranto memerintahkan Kapolri Jenderal (Pol.) Dibyo Widodo supaya menyerahkan anggota Polri yang terlibat. Tapi, 11 Juni 1998 senjata kesatuan Brimob dan Gegana diserahkan ke Puslabfor Polri. "Banyak keganjilan dalam pengusutan kasus Trisakti," ujar Fadli Zon

Soal Kerusuhan Mei 1998
Penembakan mahasiswa Universitas Trisakti menjadi pemicu meledaknya kerusuhan massa. Artinya, pengusutan kasus penembakan menjadi salah satu kunci mengungkap dalang Tragedi Mei 1998. Fadli Zon juga secara implisit menyebut ada "pembiaran" terhadap terjadinya kerusuhan massa.

Soal isu pemerkosaan massal, Fadli Zon menyatakan hal itu terlalu dibesar-besarkan. "Secara psikologis, hal itu tidak mungkin," ujar Fadli Zon.

Soal Kepergian Para Jenderal ke Malang
Kubu Prabowo menganggap keputusan Wiranto pergi ke Malang pada 14 Mei 1998 sebagai langkah aneh. Untuk mencegahnya, Prabowo mengaku telah delapan kali menghubungi Wiranto melalui telepon. Prabowo mengaku telah mengusulkan pembatalan acara di Malang. Dalam buku Politik Huru-Hara Mei 1998, Fadli Zon menyarankan kasus kepergian para jenderal ke Malang diselidiki lebih jauh. ”Itu dapat mengungkap siapa dalang dan kambing hitam kerusuhan Mei 1998,” ucap Fadli Zon.

Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus