Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASA kesal itu belum hilang benar dari benak Wahyu Hidayat. Setiap kali ditanya tentang perkara bisnis penerbangan haji, ia langsung teringat pengalamannya ketika memimpin PT Merpati Nusantara Airlines. Selama hampir tiga tahun sejak 1999, ia bolak-balik Jakarta-Jeddah hanya dengan satu tujuan: mendapatkan izin mendarat pesawat Merpati di Bandara King Abdul Aziz dari otoritas Arab Saudi. Dengan izin itulah ia berharap armadanya bisa ikut menggarap proyek pengangkutan jemaah haji.
Nyatanya ia gagal. Proyek yang pasarnya mencapai rata-rata 200 ribu penumpang setiap musim itu tetap menjadi jatah PT Garuda Indonesia bersama Saudi Airlines, yang sejak 1999 berbagi rata. Wahyu yakin, kebuntuan yang sama akan ditemui maskapai mana pun di Tanah Air yang coba-coba nimbrung dalam bisnis ini. Kecuali Garuda, tentu, maskapai pembawa bendera negara, yang sudah menerbangkan haji sejak 1955.
Jadi, kalau sekarang tiba-tiba pemerintah, melalui Departemen Agama, mengatakan akan membuka tender bagi penerbangan haji, Wahyu sulit percaya. Janji tender itu dinilainya tak akan efektif dan lebih merupakan omong kosong belaka. "Sampai kapan pun tak akan bisa kalau syarat yang diminta adalah landing permit," kata Wahyu, yang kini mengurus Pelita Air.
Seperti dikemukakan Direktur Jenderal Bimbingan Islam dan Penyelenggaraan Haji, Taufik Kamil, syarat itu tak bisa ditawar. Taufik merujuk kasus Indonesian Airlines, yang tiga tahun lalu gagal mengangkut 2.168 calon haji nonreguler karena terganjal masalah ini. "Pemerintah tak mau berspekulasi dalam soal ini," katanya kepada TEMPO, yang menemuinya di kantor pusat Garuda, Kamis pekan lalu.
Tak tegas menyatakan kemungkinan tender sudah tertutup, Taufik sepertinya tak memberikan peluang bagi pemain baru ikut masuk gelanggang. Meskipun sebenarnya waktu untuk membuat keputusan tender atau tidak masih ada sampai 27 Mei, bagi para operator penerbangan kesempatan itu benar-benar sudah habis. Paling tidak untuk musim haji tahun depan
Dalam perhitungan Direktur Utama Lion Air, Rusdi Kirana, kalau memang pemerintah serius akan membuka tender penerbangan haji, mestinya harus sudah dilakukan sebelum akhir bulan lalu. Sebab, maskapai pemenang tender juga membutuhkan persiapan sebelum musim haji tiba, Desember nanti. "Kurang dari itu tak masuk akal," katanya. Itu pun minus pengurusan izin mendarat, yang menurut dia merupakan urusan pemerintah. "Sebab, perjanjian penerbangan itu antara kedua negara, bukan perusahaan penerbangan."
Sesuai dengan prinsip itu, menurut Wahyu, mestinya izin mendarat merupakan hak negara. Dengan demikian, negara pulalah yang punya kewenangan membagi dan melimpahkannya ke perusahaan mana pun yang dianggap paling layak dan menawarkan harga paling murah. "Siapa pun yang menang tender harus mendapat hak mendarat itu," katanya. "Jangan dibalik."
Mendaratkan pesawat pada musim haji di Jeddah memang bukan urusan main-main. Lebih dari dua juta jemaah mendarat di satu bandara hanya dalam sebulan, agar dapat mengejar waktu yang tepat untuk memulai ritual rukun Islam kelima itu. Keadaan akan lebih rumit pada fase pemulangan, khususnya dalam sepuluh hari pertama. Lalu lintas di Bandara King Abdul Aziz, yang hanya memiliki fasilitas 12 gerbang, pada saat itu bisa mencapai 260 penerbangan per hari.
Harap diingat, rata-rata waktu ideal yang dibutuhkan bagi proses pendaftaran penumpang, pengurusan bagasi, hingga pesawat lepas landas, bisa mencapai tiga jam. Artinya, bandar udara itu sebenarnya hanya mampu menampung 96 penerbangan per hari. "Dengan kepadatan seperti itu, hampir tak ada toleransi bagi kesalahan pengurusan yang bisa menyebabkan delay," kata Wakil Direktur Urusan Haji Garuda, Tito Warsito. Karena itu, untuk musim haji mendatang, Garuda sudah bersiap sejak kini.
Alokasi waktu terbanyak digunakan untuk perekrutan hingga pelatihan sekitar 730 awak kabin musiman. Untuk mengatasi kendala komunikasi dengan para jemaah yang hanya mampu berbahasa daerah, Garuda selalu melibatkan personel yang berasal dari ketujuh embarkasi yang dilayani. Baru setelah itu membuka penawaran penyewaan pesawat berbadan lebar, sesuai dengan spesifikasi yang diminta Departemen Agama. Musim haji tahun ini mereka menggunakan 17 pesawat: empat Boeing 747, sembilan Boeing 767, dan empat Airbus 330.
Tito mengatakan, Garuda sama sekali tak keberatan jika pemerintah ingin membuka tender. Bahkan dengan tarif per jemaah US$ 1.148-US$ 1.348, yang dianggap banyak pihak terlalu mahal itu, Tito masih yakin Garuda tetap akan menang. "Jangan bandingkan dengan penerbangan reguler, karena ini carter," katanya. Sesuai dengan aturan penerbangan internasional, pesawat carter hanya boleh sekali mengangkut penumpang setiap trip. Pada fase pemberangkatan, pesawat akan pulang kosong, begitu pula sebaliknya.
Kalau intinya pada kompetisi, mengapa pintu tender tak dibuka saja? Garuda mestinya tak perlu cemas jika yakin pada efisiensinya. Kompetisi bahkan bisa membuat pemerintah bebas memilih penerbangan yang paling baik pelayanannya, sekaligus murah. Sebaliknya, maskapai lain yang sekarang mengatakan harga Garuda terlalu mahal diberi kesempatan membuktikan tarif yang mereka tawarkan, berikut kualitasnya. "Hanya itu cara mengujinya," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Angkutan Udara Indonesia, Tengku Burhanuddin.
Y. Tomi Aryanto
Tetangga yang Berjaya
DALAM mengurus perjalanan haji, ada baiknya berguru pada Malaysia. Dengan lembaga Tabung Haji, setiap tahun 50-an ribu warga negeri jiran itu berjaya menunaikan ibadah ini. Ongkosnya dikumpulkan sedikit demi sedikit, melalui pertubuhan yang berdiri sejak 30 September 1963 itu, dan dirancang sesuai dengan syariat. Dalam soal pengangkutan jemaah pun, sepertinya mereka lebih seronok. Dan yang pasti, tarifnya lebih murah dari yang harus dibayarkan para calon haji di Tanah Air.
Tarif untuk calon haji dewasa di sana dipatok 9.445-9.575 ringgit, atau Rp 22,6 juta-22,9 jutadengan kurs Rp 3.400 per ringgit. Adapun di Indonesia, awal pekan lalu di Gedung DPR, Menteri Agama Said Agil Husein al-Munawar mengusulkan biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun depan US$ 2.575-2.775. Biaya yang setara dengan Rp 23,17-24,97 juta, dengan asumsi kurs Rp 9.000 per dolar, itu masih harus ditambah biaya administrasi Rp 967 ribu.
Separuh dari tarif itu, atau US$ 1.150-1.350, merupakan ongkos angkutan yang akan diterima Garuda Indonesia dan Saudi Airlines. Sedangkan di Malaysia, biaya pesawat yang dilayani bergantian oleh Malaysia Airlines dan Air Asia itu cuma US$ 700-900, tergantung apakah embarkasinya melalui bandara di Semenanjung seperti Kuala Lumpur, Penang, dan Johor, atau Kota Kinabalu di Negara Bagian Sabah dan Kuching di Sarawak.
Posisi embarkasi sebenarnya tak terlalu berbeda dengan yang dilakukan Garuda, yakni di tujuh embarkasi mulai dari Aceh, Medan, Jakarta, Solo, Makassar, Balikpapan, hingga Banjarmasin. Jika dihitung dari jam terbang yang dibutuhkan menuju dan dari Jeddah saja, mestinya ongkos yang terpaut tak terlalu banyak. Apalagi dengan embarkasi yang dilayani Saudi Airlines, yang hanya di Batam, Surabaya, dan Jakarta.
Tapi, menurut Wakil Direktur Urusan Haji PT Garuda Indonesia, Tito Warsito, perbandingan dengan Malaysia tidak sepadan. "Tidak apple to apple," katanya. Demikian pula yang dikatakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Taufik Kamil. "Ada lebih banyak komponen biaya yang harus ditanggung penyelenggara di Indonesia," kata Taufik.
Justru praktek pengangkutan yang dilayani dua maskapai itulah yang menjadi dasar pertanyaan Direktur Utama Pelita Air, Wahyu Hidayat, dan Direktur Utama Lion Air, Rusdi Kirana. "Kenapa Malaysia bisa, sementara pemerintah kita terlihat begitu lemah menghadapi otoritas penerbangan Saudi?" Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, dengan rata-rata 200 ribu jemaah haji per tahun, mestinya punya posisi tawar lebih baik.
Seorang pejabat di Direktorat Perhubungan Udara mengakui, sejak 1999 pihaknya sudah berupaya melobi pihak Saudi agar memberikan kelonggaran dalam hal izin mendarat di Bandar Udara King Abdul Aziz. "Sampai sekarang tak ada tanggapan," katanya.
TA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo