Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bajak laut menghantui setiap kapal niaga yang melintasi Laut Tengah dan Atlantik pada abad ke-18. Berpusat di negeri-negeri di sepanjang Pantai Berber, para perompak lanun itu akan menyerbu bahtera, merampas barangnya, dan menangkap orang-orang Eropa yang ada di dalamnya dan menjadikan mereka budak belian.
Sejak menjelang akhir abad itu, Amerika Serikat kian ikut cemas dengan ancaman itu. Maka pada tahun 1797 sebuah perjanjian ditandatangani dengan Maroko, Aljir, Tripoli, dan Tunis.
Dalam traktat itu tercantum kalimat yang aneh. Di sana disebut perkara "Islam" dan "Kristen", seakan-akan soal bajak laut dan uang tebusan itu soal permusuhan agama: "Pemerintah Amerika Serikat tak dalam arti apa pun didasarkan kepada agama Kristen," demikian salah satu kalimat dalam perjanjian itu, dan "ia tak dengan sendirinya mempunyai watak permusuhan terhadap hukum, agama, dan ketenangan kaum muslimin." Negara-negara bagian Amerika, demikian tercantum dalam naskah, "tak pernah memasuki perang atau laku tak bersahabat dengan bangsa Islam ['Mehomitan'] mana pun."
Kita lihat: ada paradoks dalam alinea itu. Di sana agama disebut-sebut tapi juga disangkal. Kita tahu sebabnya: waktu itu, seperti hari ini, zaman belum terlepas dari masa "pasca-Andalusia". Inilah masa yang disebut oleh Anouar Majid, guru besar jurusan sastra Inggris di The University of New England, dalam bukunya yang baru, Freedom and Orthodoxy, sebagai masa ketika "Barat" memisahkan diri dari kebersamaan umat manusiadan mulai menaklukkan yang bukan dirinya.
Yang hendak ditunjukkan Majid adalah peta bumi setelah Islam, yang berpusat di Andalusia, terusir, dan Spanyol jadi Katolik. Dalam proses perubahan itu, di Madrid dilembagakanlah kekerasan terhadap sosok "Yang Lain" yang ingin ditampik. Orang "Moor" (Arab, muslim) dan orang "Yahudi" harus disingkirkan. Di bawah tilikan Gereja Spanyol yang bertangan besi, orang pun diusut terus-menerus benarkah ia seorang Katolik tulen. Berangsur-angsur, proses ini menyidik juga benarkah seseorang "bersih lingkungan". Agar iman benar-benar murni, asal-usul harus dijaga. Maka harus ada limpieza de sangre, kemurnian darah.
Dan sejak itu, orang Spanyolyang mengirimkan armada menyeberangi Atlantik untuk menaklukkan "orang Moor lain" entah di manamembentuk sebuah dunia yang terbagi dua: di satu sisi, mereka yang sudah Kristen; di sisi lain, yang belum; di satu sisi, "Barat", dan di sisi lain, "Timur". Tak diakui lagi bahwa pada masa Andalusia, Islam, sebagaimana Kristen, adalah "Barat". Sejak itu, dikotomi itu menyebar ke mana-mana. Maka tak mengherankan bila perjanjian antara Amerika Serikat dan negeri-negeri Berber itu masih mencerminkannya.
Tapi Amerika bukan Spanyol. Ada yang penting dalam traktat itu: agama, meskipun diakui adanya, tak dianggap sebagai penentu: "Pemerintah Amerika Serikat tak dalam arti apa pun didasarkan kepada agama Kristen."
Memang ini pemerintah yang membuat perjanjian hanya dengan maksud praktis. Sudah beberapa kali kapal AS diserbu bajak laut. Bahkan sudah beberapa kali orang Amerika dibajak dan dijual sebagai budak, jika dilihat jumlah kisah tentang nasib seperti itu yang pernah terbit di Amerika. Pada tahun 1797: The Algerine Captive oleh Royall Tyler. Pada tahun yang sama, sebuah majalah di Boston, Columbian Orator, memuat sandiwara dua babak dengan judul Slaves in Barbary, tentang Amandar, orang Venezia, yang diperbudak oleh orang Arab.
Di sana "Islam" dan "Kristen" juga berulang kali dipakai sebagai kategori tunggal dalam pelbagai cerita tentang nasib manusia di bawah perbudakan Berber. Tapi Anouar Majid menuliskan kesimpulannya: tujuan buku-buku itu bukanlah untuk "mempersetankan (demonization) orang muslim dan Islam, melainkan konsolidasi nasionalisme Amerika dan pembelaan asas-asas republiken."
The Algerine Captive, misalnya. Novel ini terbit hanya setahun sebelum AS mengirim armada untuk menyerang Tripoli, untuk menghentikan keharusan membayar uang pisungsung ("tributary") kepada para penguasa di sana yang terus-menerus mengganggu bahtera dagang Amerika. Dalam novel ini, Updike Underhill, seorang dokter yang tertangkap dan diperbudak di Aljir, merenung tentang orang-orang muslim: "Pada keseluruhannya, tak tampak dalam ajaran agama mereka yang merangsang mereka ke laku imoral, atau menyetujui kekejaman yang mereka lakukan. Baik Al-Quran maupun para ulama mereka tak menghasut mereka untuk merampok, memperbudak, menyiksa. Dalam kitab suci mereka secara jelas dianjurkan orang berbuat amal, berlaku adil, dan belas kepada sesama."
Maka Underhill tak habis mengerti kenapa muslim dan orang Kristen bermusuhan. "Jika perintah kitab suci masing-masing diikuti, kedua belah pihak akan berhenti membenci, mengutuk, dan menghancurkan yang lain."
Tapi novel ini juga sebuah catatan bahwa apa pun yang diajarkan agama, pada akhirnya ada hal lain yang membentuk perilaku manusia. Ketika Underhill, yang mengembara berlayar sampai Kongo, menjadi dokter perdagangan budak, ia dengan benci memandang dirinya sendiri sebagai bagian dari hal yang keji itu. Pada suatu saat, dianjurkannya beberapa orang budak melarikan diri. Ketika ketahuan, sang dokter pun ditangkap. Ia ikut jadi budak.
Tapi ia tahu: sebagaimana di Aljir yang muslim ada manusia yang dirantai dan diperlakukan sebagai hewan, begitu pula di Amerika yang nasrani. Dalam hal ini, Algerine Captivesebagaimana agaknya dimaksudkan oleh Anouar Majidbisa punya gema pada tahun 2004, setelah 11 September 2001. Hari ini pun, di Amerika dan di sekitar Pantai Berber, "Barat" dan "Islam", bersama Tuhan dan Tentara, dibawa-bawa untuk menyelesaikan persoalan manusia. Tapi seperti disaksikan Underhill, banyak jawaban jadi tunggal dan mutlak, ketika banyak pertanyaan tak bisa diam, dan kekejaman terus terjadi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo