MEMANG jarang, pelukis cilik yang menjadi dewasa dan tetap
memilih profesi pelukis. Dalam riwayat hidup para pelukis
ternama, jarang sekali kanak-kanak yang dianggap pandai melukis
lantas jadi pelukis besar. Para pemenang lomba melukis
kanak-kanak pun, setelah usia 15 tahun biasanya meninggalkan
kegiatan melukisnya. Mungkin karena di luar kelaziman itulah
maka Nataliniwidhiasi (15 tahun, sehari-harinya dipanggil
Lini?) menarik perhatian kalangan senirupa kita.
Lini, yang 28 Juni sampai 5 Juli ini memamerkan sejumlah karya
di Galeri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, tidak saja
melukis sejak usia 4 tahun, tapi juga sering berpameran tunggal
-- satu hal yang memang jarang dilakukan pelukis cilik. Bahkan
di awal 70-an sebuah kumpulan reproduksi karyanya diterbitkan
ayahnya sendiri. Buku itu juga dilengkapi berbagai komentar
tentang Lini yang antara lain datang dari pelukis Affandi dan
budayawan Sudjoko.
Fadjar Sidik, pelukis dan dosen Sekolah Tinggi Seni Rupa
Indonesia Asri Yogya tetap mengagumi karya Lini pada usia di
bawah 10 tahun. "Ada bentuknya dan lucu-lucu," katanya.
Sementara karya-karyanya sesudah usia itu, disebutnya sebagai
tak berbentuk dan kacau. Begitu juga G. Sidharta, pematung
Bandung itu.
Tapi jangan kuatir: Sudjoko tetap mengagumi. "Lihat," katanya.
"Dia begitu berani menggunakan warna hitam." Lukisan yang
ditunjuk Sudjoko memang sebagian besar terbentuk dari hitam --
melukiskan satu pemandangan di Bali. Dan orang biasanya memang
mengagumi kebebasan dan keberanian Lini dalam memilih warna dan
mencoretkan atau menyapukan garis dan bidang.
Sesungguhnya itu semua wajar. Semua kanak-kanak mempunyai
kebebasan ekspresi tanpa pretensi. Kelebihan Lini, kalau boleh
disebut begitu, adalah karena ayahnya -- yang memang pelukis --
memberi fasilitas dan amat memperhatikannya.
Tapi pertanyaan yang justru sangat penting tak pernah
dilontarkan apakah Lini memang hendak menjadi pelukis,
selama-lamanya, atau hanya akan meneguhkan otonomi dunia
senilukis anak-anak. Berbagai sanggar lukis kanak-kanak,
sekarang ini, tentulah tak bermaksud mempersiapkan anggotanya
menjadi seniman benar. Kesenian, seperti juga olah raga,
hanyalah sebagian dari kegiatan dunia kanak-kanak. Bahkan yang
terpenting bukanlah hasil langsungnya, melainkan nilai
rekreatifnya.
Ciri Khas
Yang kemudian bisa merugikan ialah harapan kita agar Lini tetap
berkarya sesegar karya-karya usia 6-10 tahunnya. Padahal wajar
saja kalau karya-karya awal kanak-kanaknya demikian. Dan
keistimewaan itu memang sulit diulang atau dipertahankan, sebab
memang demikianlah dunia kanak-kanak yang ajaib berjalan. Juga
tergolong kurang wajar untuk mengharap karya Lini sudah memiliki
satu ciri khas, sehingga menilai karya-karyanya yang sekarang
"seperti datang dari tangan yang berbeda," seperti dikatakan
Wagiono, dosen Akademi Seni Rupa LPKJ.
Tapi mungkin ini semua adalah risiko seorang kanak-kanak yang
banyak memenangkan lomba melukis kanak-kanak internasional dan
sering berpameran, sementara orang melihat karyanya sebagai
karya seorang dewasa.
Mungkin saja Lini nanti bisa menjadi seorang pelukis besar. Tapi
justru akan menyulitkannya jika harapan itu terlalu dikemukakan
kini, misalnya lewat kritik-kritik terhadap karyanya. Biarlah
dia tetap memiliki kegembiraannya, tumbuh sewajarnya saja.
Biarlah nanti kita boleh beruntung, atau tak usah ada yang
kecewa -- terutama Lini sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini