PEJABAT daerah Kota Kecamatan Cepu di Kabupaten Blora
'terpaksa' sibuk: membenahi sampah, menambal lubang di jalanan
sampai menutup acara penarikan lotere yang biasa bising setiap
malam. Pokoknya rapi.
Itu berkat kehadiran lebih 20 orang anggota tim Opstib Pusat di
sana sejak pertengahan Juni lalu. Tentu saja bukan dalam rangka
mengopstib kejorokan kota. Tapi, mudah diduga, tim tengah
mengusut sengketa tanah antara penduduk dengan pemerintah -- di
luar yang sudah diurus pengadilan. Dasarnya, pengaduan penduduk,
antara lain dari yang bernama Aris.
Gemerlapan
Kegiatan tim Opstib Pusat dipusatkan di Kantor Perwakilan
Detasemen Polisi Militer, sebuah gedung tua di Jalan Diponegoro.
Kendaraan dan mesin tik dibawa langsung dari Jakarta. Fasilitas
yang disiapkan pemerintah daerah tidak dipakai. Termasuk
penginapan -- walaupun Pemda telah menyediakan mess milik
sendiri dan milik Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas). Tamu memilih
menginap di mess Perhutani yang sederhana.
Cara kerja tim yang rapi, seperti hendak memberi teladan. Perani
dan unsur-unsur pejabat tak sembarangan dicomot. Pcmanggilan
dilakukan dengan surat panggilan yang ditandatangani Wakil
Koordinator Pemeriksa Pusat, Brigjen Soekotjo. Pemeriksaan
dilakukan pagi dan sore hari. Pagi dimulai jam 8 sampai jam 13.
Sore mulai jam 16 sampai jam 21. Orang yang tidak berkepentingan
jangan harap bisa mendekat ke gedung tempat pemeriksaan. Tak
kecuali wartawan, yang memotret dari jalan saja dicegah petugas.
Bahkan pejabat daerah yang tak dipanggil juga dilarang mendekat.
Jalannya pemeriksaan, seperti dilukiskan petani, sangat santai.
"Petugas berpakaian preman dan ramah sekali," kata beberapa
orang di antara mereka. "Sama sekali saya tidak takut memberi
keterangan," lanjut mereka.
Tahun 1974 di Cepu direncanakan berdirinya kampus Akademi Minyak
dan Gas (Akamigas) dan Pusat Pendidikan dan Latihan Lemigas yang
modern. Pokoknya Pertamina ketika itu berambisi menjadikan Cepu
sebagai kota kecil yang gemerlapan. Sampai-sampai satu stasiun
pemancar te-ve direncanakan dibangun pula. Maksudnya agar setiap
kali ada kegiatan Pertamina, para pemirsa TV di seantero
Indonesia bisa dengan segera menyaksikannya.
Proyek terkenal kemudian dengan sebutan Proyek Mentul. Tapi
kegiatan terhenti sejak 1976 ketika krisis Pertamina memuncak.
Akibatnya bangunan yang setengah jadi kini menjadi sarang ular.
Proyek meliputi areal 25,5 hektar di Dukuh Mentul. Petani diberi
ganti rugi oleh panitia pembebasan tanah yang terdiri dari para
pejabat setempat, antara Rp 80 sampai Rp 90 per-MÿFD. Persoalan
muncul, lebih-lebih setelah di antara penduduk ada yang mengetahui
bahwa ganti rugi yang disediakan Pertamina untuk setiap meter tanah
sebenarnya Rp 3.000.
Sepanjang cerita penduduk berbagai pihak, bisa pejabat daerah,
bisa pemborong, bisa juga orang-orang Pertamina terlibat
ketidak-beresan itu. Dalam hal ganti rugi bangunan misalnya.
Penduduk mendengar Pertamina menyediakan dana sampai lebih dari
Rp 940 juta. "Tapi yang dibayarkan PT Permita Sari Jaya, sebagai
pemborong Proyek Mentul itu lewat panitia, hanya Rp
223.664.531," kata B. Aris yang melapor kepada Opstib.
Persoalan diharapkan jernih di tangan tim Opstib. Dalam minggu
pertama tim bekerja, sejumlah pejabat daerah suah dipanggil.
Antaranya Camat Cepu Suparto, Kepala Sub Direktorat Agraria
Kabupaten Blora Hadi Sutjipto dan Ketua Pelaksana Pembelian
Tanah Yan Pieter. "Minta perhatian rekan-rekan wartawan, jangan
menyiarkan hasil pemeriksaan, misalnya dengan mewawancarai
petani yang selesai diperiksa," kata seorang petugas berpangkat
Kolonel dan sehari-hari berpakaian preman. "Seperti kasus
Angsana, hasil pemeriksaan ini akan disiarkan pada waktunya
nanti di Jakarta." Tunggu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini