PERTANYAAN Letjen Purnawirawan Dr. TB Simatupang dalam bukunya
Laporan Dari Banaran, sebenarnya bakal terungkap seorang
penduduk Banaran, bernama Prapto Soewondo di depan para anggota
DPR. Tapi, setibanya di Jakarta pertengahan Juni lalu, niat
Prapto ke DPR urung. Seorang temannya di Jakarta mengatakan
bahwa untuk itu ia harus membawa restu pejabat daerah. Prapto,
45 tahun, merasa tak memenuhi syarat itu.
Banaran berstatus semacam RW di Jakarta. Jelasnya sebuah Dukuh
di Kelurahan Sumokaton, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.
Simatupang menceritakan bahwa di masa bergerilya dulu di sana,
sikap penduduk "ramah tamah dan baik hati". Tapi Banaran
sekarang adalah desa yang rakyatnya gelisah. Sebab pemerintah
berhajat menjadikan desa itu sebagai kantong lahar Merapi.
Artinya harus dikosongkan.
Letak Banaran persis di tepi kali Krasak. Dan Krasak memang
berhulu ke satu di antara beberapa gunung berapi di Indonesia
yang sampai saat ini bergolak tadi. Sejak 1977, Camat Ngluwar
sudah memasang pengumuman di mulut jalan masuk desa itu.
Bunyinya: "Desa ini dinyatakan dikosongkan mengingat bahaya
gunung Merapi."
Camat dan Komandan Koramil sejak dua tahun lalu itu pula aktip
menganjurkan penduduk untuk transmigrasi ke luar Jawa. Beberapa
waktu setelah memancang pengumuman pengosongan desa itu, petugas
mengumpulkan tanda tangan atau cap jempol penduduk di malam hari
jam 11 sampai jam 1 malam. Maksudnya untuk bukti kesediaan
penduduk hijrah dari Banaran. Sebegitu jauh usaha itu tak
sepenuhnya berhasil. Menurut Kepala Dukuh, Suyat, penduduk
enggan meninggalkan Banaran karcna tempat itu subur. "Setahun
bisa panen 3 kali, padi atau tembakau," katanya.
Bupati Magelang Soepardi mengakui Banaran memang daerah
pertanian subur. Selain itu penduduk pun dikatakannya hafal
akan tingkah gunung Merapi. Karenanya mereka bisa saja
menyelamatkan diri manakala bahaya betul-betul mengancam nanti.
Tapi, seperti dikatakan Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam
kepada Syahril Chili dari TEMPO, sehabis Gubernur melantik
Walikotamadya Magelang Kolonel drs. RA Bagus Panuntun
pertengahan Juni, "yang menjadi masalah bukan soal larinya
penduduk Banaran, tapi bagaimana menyelamatkan 5000 kepala
keluarga yang ada di daerah itu semuanya, termasuk beberapa
dukuh di luar Banaran." Maka itulah sebabnya pemerintah rupanya
tak mempunyai pilihan lain selain dari mengosongkan Banaran.
Untuk dijadikan kantong lahar. Sebab dia itu kebetulan terletak
agak rendah di satu lekukan kali Krasak.
Demikianlah, satu tanggul baru ber ukuran panjang 2,75 Km dan
lebar 14 meter, sedang dirintis pembuatannya seja~k beberapa
bulan lalu. Menyusul tanggul lama yang sebelumnya siap akhir 1978
lalu, tanggul terakhir direncanakan memotong jantung desa Banaran
merambah sawah-sawah. Untuk itu pemerintah menyediakan ganti-rugi
bagi tanah penduduk Rp 750 per-MÿFD. Sementara itu penduduk, seperti
biasa, menganggap nilai ganti rugi itu terlalu rendah.
Prapto Soewondo mengatakan, pen~uduk mempunyai alasan lain mengapa
menolak ganti rugi yang disodorkan pemerintah. Menurut dia,
penduduk menganggap tanggul sebagai bangunan yang semustinya
menyusuri kali. Kalau itu pengertian pemerintah, Banaran tak perlu
dikosongkan. "Tanah yang terpakai tanggul pun tak akan kita mintai
ganti rugi," katanya.
Kenyataannya tanggul kali Krasak yang kini disiapkan pemerintah
merupakan saluran baru, hingga Banaran sepenuhnya bakal menjadi
kantong lahar. "Lha, kalau kantong, belilah tanah kami sesuai
dengan harga yang wajar," kata Prapto. Berapa? Menurut Prapto,
dalam surat yang dikirimkan penduduk kepada Bupati Magelang
Soepardi beberapa waktu lalu, ganti rugi itu dimintakan Rp 1.750
per-MÿFD. Sebegitu jauh dikatakannya bahwa permintaan itu tak mendapat
sambutan dari yang bersangkutan. Kepergian Prapto pertengahan Juni
ke Jakarta didorong rasa putus asa, menunggu sambutan yang ternyata
tak kunjung tiba itu.
"Lebih Hemat"
Sigit Winardi (33), penduduk Banaran yang lain, melihat rencana
pemerintah dalam urusan menjaga kemungkinan bahaya Merapi ini
dari segi lain. "Kalau tanggul yang ada diteruskan, kan lebih
hemat daripada membuat tanggul baru," katanya. Maksudnya,
tanggul yang kini disiapkan seyogyanya tidak memotong desa
Banaran. Melainkan merupakan kelanjutan sepanjang kali dari
tanggul yang sudah dibangun sebelumnya. Dengan begitu jaraknya
bisa lebih pendek atau setidaknya tidak banyak menggusur tanah
penduduk. Di samping aliran Krasak lancar sampai di muaranya di
Kali Opak. Untuk selanjutnya ke Samudera Indonesia.
Adakah saran Sigit ini pernah disampaikan kepada pemerintah?
Pertemuan antara para pejabat pemerintah dengan masyarakat
diadakan April tahun lalu. Seperti diungkapkan beberapa penduduk
kepada wartawan TEMPO Mohamad Cholid, rupanya tak banyak
kesempatan mereka untuk berdialog ketika itu. Beberapa orang
yang mencoba angkat suara beberapa waktu kemudian dipanggil
Bupati. "Ini bukan paksaan. Setuju atau tidak, saya tetap
menunggu Saudara-saudara untuk setuju," kata Bupati Soepardi
kepada penduduk yang dipanggilnya itu.
Boleh Terus Digarap
Selepas panggilan Bupati pada beberapa penduduk tadi, adalah
pertemuan lain pemerintah dengan rakyat akhir Mei lalu. Unsur
ABRI hadir. Sesudah itu adalah kegiatan pematokan tanah-tanah
penduduk pada hari-hari berikutnya. Bakri, seorang di antara
penduduk berucap: "Manawi tanggul nrabas taneman kados pundi
mangke tiyang mriki urip." (Kalau tanggul menerabas ladang,
bagaimana nanti orang sini hidup).
Petugas rupanya punya penafsiran tersendiri akan ucapan Bakri
ini. Dua malam Bakri menginap di kantor polisi Magelang. Di sana
ia diharuskan antara lain loncat-loncat, yang kata penduduk
membuat tulang kesakitan.
Dalam pada itu, ketika Bakri masih belum muncul di tengah
keluarganya, 3 orang penduduk sempat dipanggil pula oleh
Komandan Koramil gara-gara menanyakan nasib Bakri. Puluhan
penduduk kemudian menyusul. "Karena ini menyangkut kepentingan
banyak orang, kalau mau menangkap, tangkap semua saja," kata
mereka. Hal lain yang lebih buruk untung bisa dicegah ketika
kemudian muncul Bupati Soepardi di tengah-tengah mereka. "Tanah
ini masih boleh terus digarap satu dua tahun lagi, kata Bupati.
"Bupati Magelang berjanji akhir Juni urusannya selesai," kata
Kepala Proyek Merapi, ir Darmadi. Menurut Darmadi lagi, jika
urusan itu selesai sesuai dengan janji Bupati, pembangunan
tanggul akan dimulai pertengahan Juli. Dengan masa kerja 120
hari, musim hujan Nopember mendatang rampung. "Dalam musim hujan
yang akan datang itulah bahaya diperkirakan mengancam," kepala
proyek Merapi itu menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini