Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Laporan Dari Banaran

Pemerintah bermaksud mengosongkan desa Banaran, dulu pangkalan perang rakyat semesta, untuk dijadikan kantong lahar gunung merapi. Ganti rugi tanah tidak memadai. Disarankan ikut transmigrasi. (ds)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANYAAN Letjen Purnawirawan Dr. TB Simatupang dalam bukunya Laporan Dari Banaran, sebenarnya bakal terungkap seorang penduduk Banaran, bernama Prapto Soewondo di depan para anggota DPR. Tapi, setibanya di Jakarta pertengahan Juni lalu, niat Prapto ke DPR urung. Seorang temannya di Jakarta mengatakan bahwa untuk itu ia harus membawa restu pejabat daerah. Prapto, 45 tahun, merasa tak memenuhi syarat itu. Banaran berstatus semacam RW di Jakarta. Jelasnya sebuah Dukuh di Kelurahan Sumokaton, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang. Simatupang menceritakan bahwa di masa bergerilya dulu di sana, sikap penduduk "ramah tamah dan baik hati". Tapi Banaran sekarang adalah desa yang rakyatnya gelisah. Sebab pemerintah berhajat menjadikan desa itu sebagai kantong lahar Merapi. Artinya harus dikosongkan. Letak Banaran persis di tepi kali Krasak. Dan Krasak memang berhulu ke satu di antara beberapa gunung berapi di Indonesia yang sampai saat ini bergolak tadi. Sejak 1977, Camat Ngluwar sudah memasang pengumuman di mulut jalan masuk desa itu. Bunyinya: "Desa ini dinyatakan dikosongkan mengingat bahaya gunung Merapi." Camat dan Komandan Koramil sejak dua tahun lalu itu pula aktip menganjurkan penduduk untuk transmigrasi ke luar Jawa. Beberapa waktu setelah memancang pengumuman pengosongan desa itu, petugas mengumpulkan tanda tangan atau cap jempol penduduk di malam hari jam 11 sampai jam 1 malam. Maksudnya untuk bukti kesediaan penduduk hijrah dari Banaran. Sebegitu jauh usaha itu tak sepenuhnya berhasil. Menurut Kepala Dukuh, Suyat, penduduk enggan meninggalkan Banaran karcna tempat itu subur. "Setahun bisa panen 3 kali, padi atau tembakau," katanya. Bupati Magelang Soepardi mengakui Banaran memang daerah pertanian subur. Selain itu penduduk pun dikatakannya hafal akan tingkah gunung Merapi. Karenanya mereka bisa saja menyelamatkan diri manakala bahaya betul-betul mengancam nanti. Tapi, seperti dikatakan Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam kepada Syahril Chili dari TEMPO, sehabis Gubernur melantik Walikotamadya Magelang Kolonel drs. RA Bagus Panuntun pertengahan Juni, "yang menjadi masalah bukan soal larinya penduduk Banaran, tapi bagaimana menyelamatkan 5000 kepala keluarga yang ada di daerah itu semuanya, termasuk beberapa dukuh di luar Banaran." Maka itulah sebabnya pemerintah rupanya tak mempunyai pilihan lain selain dari mengosongkan Banaran. Untuk dijadikan kantong lahar. Sebab dia itu kebetulan terletak agak rendah di satu lekukan kali Krasak. Demikianlah, satu tanggul baru ber ukuran panjang 2,75 Km dan lebar 14 meter, sedang dirintis pembuatannya seja~k beberapa bulan lalu. Menyusul tanggul lama yang sebelumnya siap akhir 1978 lalu, tanggul terakhir direncanakan memotong jantung desa Banaran merambah sawah-sawah. Untuk itu pemerintah menyediakan ganti-rugi bagi tanah penduduk Rp 750 per-MÿFD. Sementara itu penduduk, seperti biasa, menganggap nilai ganti rugi itu terlalu rendah. Prapto Soewondo mengatakan, pen~uduk mempunyai alasan lain mengapa menolak ganti rugi yang disodorkan pemerintah. Menurut dia, penduduk menganggap tanggul sebagai bangunan yang semustinya menyusuri kali. Kalau itu pengertian pemerintah, Banaran tak perlu dikosongkan. "Tanah yang terpakai tanggul pun tak akan kita mintai ganti rugi," katanya. Kenyataannya tanggul kali Krasak yang kini disiapkan pemerintah merupakan saluran baru, hingga Banaran sepenuhnya bakal menjadi kantong lahar. "Lha, kalau kantong, belilah tanah kami sesuai dengan harga yang wajar," kata Prapto. Berapa? Menurut Prapto, dalam surat yang dikirimkan penduduk kepada Bupati Magelang Soepardi beberapa waktu lalu, ganti rugi itu dimintakan Rp 1.750 per-MÿFD. Sebegitu jauh dikatakannya bahwa permintaan itu tak mendapat sambutan dari yang bersangkutan. Kepergian Prapto pertengahan Juni ke Jakarta didorong rasa putus asa, menunggu sambutan yang ternyata tak kunjung tiba itu. "Lebih Hemat" Sigit Winardi (33), penduduk Banaran yang lain, melihat rencana pemerintah dalam urusan menjaga kemungkinan bahaya Merapi ini dari segi lain. "Kalau tanggul yang ada diteruskan, kan lebih hemat daripada membuat tanggul baru," katanya. Maksudnya, tanggul yang kini disiapkan seyogyanya tidak memotong desa Banaran. Melainkan merupakan kelanjutan sepanjang kali dari tanggul yang sudah dibangun sebelumnya. Dengan begitu jaraknya bisa lebih pendek atau setidaknya tidak banyak menggusur tanah penduduk. Di samping aliran Krasak lancar sampai di muaranya di Kali Opak. Untuk selanjutnya ke Samudera Indonesia. Adakah saran Sigit ini pernah disampaikan kepada pemerintah? Pertemuan antara para pejabat pemerintah dengan masyarakat diadakan April tahun lalu. Seperti diungkapkan beberapa penduduk kepada wartawan TEMPO Mohamad Cholid, rupanya tak banyak kesempatan mereka untuk berdialog ketika itu. Beberapa orang yang mencoba angkat suara beberapa waktu kemudian dipanggil Bupati. "Ini bukan paksaan. Setuju atau tidak, saya tetap menunggu Saudara-saudara untuk setuju," kata Bupati Soepardi kepada penduduk yang dipanggilnya itu. Boleh Terus Digarap Selepas panggilan Bupati pada beberapa penduduk tadi, adalah pertemuan lain pemerintah dengan rakyat akhir Mei lalu. Unsur ABRI hadir. Sesudah itu adalah kegiatan pematokan tanah-tanah penduduk pada hari-hari berikutnya. Bakri, seorang di antara penduduk berucap: "Manawi tanggul nrabas taneman kados pundi mangke tiyang mriki urip." (Kalau tanggul menerabas ladang, bagaimana nanti orang sini hidup). Petugas rupanya punya penafsiran tersendiri akan ucapan Bakri ini. Dua malam Bakri menginap di kantor polisi Magelang. Di sana ia diharuskan antara lain loncat-loncat, yang kata penduduk membuat tulang kesakitan. Dalam pada itu, ketika Bakri masih belum muncul di tengah keluarganya, 3 orang penduduk sempat dipanggil pula oleh Komandan Koramil gara-gara menanyakan nasib Bakri. Puluhan penduduk kemudian menyusul. "Karena ini menyangkut kepentingan banyak orang, kalau mau menangkap, tangkap semua saja," kata mereka. Hal lain yang lebih buruk untung bisa dicegah ketika kemudian muncul Bupati Soepardi di tengah-tengah mereka. "Tanah ini masih boleh terus digarap satu dua tahun lagi, kata Bupati. "Bupati Magelang berjanji akhir Juni urusannya selesai," kata Kepala Proyek Merapi, ir Darmadi. Menurut Darmadi lagi, jika urusan itu selesai sesuai dengan janji Bupati, pembangunan tanggul akan dimulai pertengahan Juli. Dengan masa kerja 120 hari, musim hujan Nopember mendatang rampung. "Dalam musim hujan yang akan datang itulah bahaya diperkirakan mengancam," kepala proyek Merapi itu menambahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus