Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bingkisan dari selatan

Pameran lukisan australia di purna budaya, yogyakarta diikuti 42 pelukis australia, diantaranya adalah 2 dari suku aborigin.(sr)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PURNA Budaya, Yogya, 18 hingga 23 Agustus jadi ajang 42 pelukis Australia. Di antara mereka terselip misalnya seorang dari Suku Djinang yang tinggal di daerah Milingimbi, suatu perkampungan aborigin di Australia Utara, bernama David Djuta. Seorang lagi bernama Dilly Stockman, ketua suku aborigin Anmatjera di Australia Tengah. Selain Max Watters, Albert Tucker, Dee Jones, Elwyn Lynn dan kedua orang aborigin tersebut, semua pernah mengalami pendidikan formil kesenian. Sedang lainnya bukan pelukis sekolahan. Sejarah seni lukis Australia memang tidak segegap-gempita Amerika atau Eropa, di mana lahir berbagai sikap dan kecenderungan. Bisalah dibilang bahwa dalam arus sejarah senirupa Barat, orang-orang Australia tertinggal. Dan situasi inilah yang terwakili dalam pameran ini. Berdasar Mitos Sebagian besar karya yang tampil masing-masing punya karakter. Di antaranya Peker1a Tambang dari Sidney Nolan. Warna dan goresannya menjangkau apa yang termaksud di dalamnya. Karya ini buatan 1972, dari cat minyak atas harbor. Kemudian karya Bryan Westwood yang berjudul Taman Centennial (1972, cat minyak atas harbor), menawarkan daya pukau yang kuat. Di situ tergambar secara realistis seorang yang tidur telanjang di taman yang lengang. Helen Ogilvie, dengan warna yang sederhana tapi kuat pada Gedung kayu retak (1974, cat minyak atas dasar gesso pada harbor) menimbulkan sugesti sebuah daerah dusun di padang daratan negerinya. Lalu Jeff Rigby dengan teknik realis, menunjukkan ketelatenannya pada detail. Ia menggambarkan Lembah Kanguru, Barrengarry (1976, akrilik atas kanvas pada board). Fred Williams, pada Jeram Sungai (1977, cat minyak atas kanvas) menampakkan kekukuhan karakter. Sedang dari dua orang aborigin, yang menarik adalah karya David Djuta dengan tema dan ujud yang khas sukunya -- yaitu Sumur Keramat (1976, cat oker atas kulit kayu). Ia bercerita tentang dua perempuan aborigin, Wagilag bersaudara. Cerita ini adalah mitos yang dihubungkan dengan konsep kesuburan. Karya-karya yang berdasar mitos aborigin pada beberapa tahun lalu adalah hasil suku-suku yang mempunyai isolasi ketat. Akankah keketatan itu tetap terpelihara, tidak begitu jelas. Karya-karya baik lainnya, dari yang kulit putih, adalah Kayu Tallow dari Lawrence Daws (1977, akrilik atas harbor) dan Karang Angela dari Guy GreySmith (1976, cat minyak atas harbor). Selebihnya biasa-biasa saja -- kehebatannya belum muncul. Malah ada yang jatuh pada situasi kering tanpa jiwa, misalnya pada The Coorong (1972, akrilik atas kanvas) Celia Giles, juga karya John Olsen, Hidup Ditarik Ke Arah Kekosongan (1976, akrilik atas kanvas). Dari semua yang dipamerkan segera timbul kesan, bahwa problim seni lukis Australia tahun tujuh-puluhan belum mendahului seni lukis Indonesia. Tapi ini tidak resmi mewakili apa yang seluruhnya kini ada di Australia. Sebab berita bahwa Australia dalam seni rupa sebenarnya lebih dari ini. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus