RUANG Pameran TIM, 22 sampai dengan 27 Agustus 1978 dipenuhi
lukisan pelajar SLA se-Indonesia, dalam rangka Sayembara Dewan
Kesenian Jakarta. Mereka yang ikut berjumlah 160 pelajar,
masing-masing diwakili satu lukisan.
Memang sulit menentukan karya seratus enampuluh pelukis yang
masing-masing hanya diwakili oleh satu lukisan: pelukis mana
yang terbaik. Tetapi dasar juri lagi untung. Sebagian besar
lukisan tersebut ternyata tak memenuhi syarat yang digariskan
DKJ, yakni tema "kehidupan di rumahku". Berarti obyeknya kalau
tidak salah harus berada dalam rumah.
Entah karena kurang teliti membaca pengumuman, rata-rata pelajar
SLA kita membikin lukisan justru di luar rumah. Yang dari Ngawi,
Trenggalek, lebih senang melukis sawah dan penjual tempayan.
Yang dari Jakarta lebih gemar melukis situasi di kota. Dan
anehnya karyakarya di luar rumah lebih spontan dan unik
ketimbang yang di rumah. Mungkin karena semangat untuk lebih
bebas.
Juri sayembara pilihan Dewan Kesenian ini adalah pelukis-pelukis
Baharudin MS, Suparto, dan yang termuda Danarto. Hasil juriannya
jatuh pada Suwarsono, SPGN Pati (hadiah I), Sudarmono, SMAN II
Yogyakarta (II) dan yang ketiga pelajar SMAN Tegal yang bernama
Fajar Wahyudi. Ditambah hadiah hiburan: Dini Harijani (SKKA
Madiun), Todo Panggabean (SMAN Tegal), Sujoko Widiandoko (SMAN
Pekalongan) dan terakhir pelajar SPGN Klaten bernama FX Suparto.
Asto Bantas, seorang peserta, dengan karya berwarna coklat kusam
dengan bufet raksasa dalam kamar, menerangkan bahwa di SMAN
Tangerang jurusan SoS tidak ada pelajaran menggambar bebas. Hal
itu juga dialami seorang pelajar STM Jakarta. Tetapi mereka
cukup tahu karya pelukis Affandi.
Lalu dengan dorongan apa mereka berani ikut sayembara?
Kebanyakan menyatakan hanya sekedar menyalurkan dan mentes hobi.
Memang menilik gelagatnya, pelajar-pelajar SLA kita ini kurang
bahan mentah seni rupa. Apresiasi yang diberikan pendidiknya
saya kira sangat tidak memadai. Ini tampak dalam soal penguasaan
material, yaitu cat air.
Karya yang berlokasi di luar rumah (yang tak memenuhi syaratdi
antaranya cukup mengejutkan. Ide-idenya segar dan spontan
menangkap obyek yang dikenali dan digauli setiap harinya. Misal
karya Rosmala Berlin, pelajar SMAN IV Jakarta. Lumayan dalam
teknik, proporsl pun terJaga, penguasaan material dengan teknik
plakat cukup bersih. Sempat menangkap suasana halaman sekolah.
Ada penjual bakso, pedagang rokok kaki lima, mobil merah dan
murid-murid yang asyik berkerumun.
Karya yang senafas dan berimbang lagi milik Amin Mukmiri dari
SMAN Boyolali. Dalam satu bidang digambarkan sekaligus berbagai
peristiwa. Seperti ayah sedang baca koran, ibu memasak di dapur
dan pemuda ngebut. Ini menarik komposisinya susun timbun, bak
lukisan Mesir purba. Karya "di dalam rumah" ada juga yang baik
dan imajinatif. Misalnya karya Megawati dari SMA RICCI Jakarta.
Ia melukis sebuah piring yang dicuci pada kran berwarna merah
yang meliuk bagai ular. Komposisi dan warna cukup harmonis,
menumbuhkan kesan surealistis.
Menurun
Tetapi untuk menetapkan karya yang mendapat hadiah pertama, saya
kira ada perhitungan tersendiri dari para juri. Karya pemenang I
ini sangat kaku dalam bentuk, dan warnanya kusam pula. Ini
menunjukkan pelukisnya kurang latihan dalam penguasaan bentuk.
Tetapi mungkin karena lukisan ini menggambarkan anak yang
sedang melukis ditunggui ibu dan adiknya, serta hadir pula meja
yang mau ambruk, maka juri memenangkan ....
Karya hadiah kedua kelihatan lebih baik dalam teknik daripada
yang pertama. Warna-warna temaram dengan tekanan garis yang
ritmis, ditopang bentuk yang kuat, hingga menjadi puitis. Sedang
pemenang ketiga unik. Goresan kwasnya yang vertikal ritmis,
membangun bentuk seorang tua yang sedang menunggu dalam warna
yang temaram. Dini Hari Iani, kelihatan cukup memiliki referensi
senilukis modern. Ia sudah kenal deformasi bentuk, dan kontras
pengaturan warna terjaga.
Syahdan jumlah peserta tahun ini menurun dibanding tahun lalu.
Mungkin karena waktu yang tersedia lebih pendek. Lagipula yang
terbanyak dari Jakarta -- kemudian Jawa Tengah dan Yogya. Sedang
dari luar Jawa sangat sedikit. Apakah kegairahan melukis memang
tidak ada? Selama ini pameran lukisan sebagian besar memang
diselenggarakan di Jakarta dan Yogya, saja. Menurut Ajip Rosidi
(DKJ), yang penting adalah dorongan dan bantuan para guru serta
orangtua untuk menggalakkan minat, hingga sayembara ini akan
menjadi tradisi tahunan.
Melihat pengalaman kali ini, hemat saya sebaiknya pemilihan tema
diperjelas dan diperbebas. Kesempitan tema yang diajukan -- bagi
yang masih mencari-cari apa itu seni lukis -- akan sangat sukar.
Ini bisa dimaklumi, karena apresiasi senilukis di daerah praktis
macet. Sedang yang membikin aturan tinggal di akarta. Bagi
mereka sendiri sih, tema yang sempit itu sudah dirasa besar.
Hardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini