Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bisnis dan politik pengusaha klien

Buku bisnis dan politik secara rinci dan kritis memaparkan kebijaksanaan pembangunan. diskriminasi tak cocok untuk negara yg perlu investasi. pribumi hanya menjadi pengusaha klien.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku Bisnis dan Politik secara rinci dan kritis memaparkan kebijaksanaan pembangunan. Diskriminasi tak cocok untuk negara yang perlu investasi. Pribumi cuma menjadi pengusaha klien. TRADISI penulisan sejarah politik Indonesia telah dimulai dari Cornell, oleh George McTurnan Kahin, dalam bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952). Buku ini cukup rinci dalam merangkaikan berbagai peristiwa politik, perang, dan diplomasi dalam suatu proses sejarah yang komprehensif, antara tahun 1945 dan 1949. Salah seorang murid Kahin, Herbert Feith, orang Australia, boleh dikata melanjutkan usaha gurunya itu, ketika ia menulis disertasinya, yang kemudian terbit dengan judul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), yang mencakup periode 1949-1959. Berbeda dengan karya gurunya yang bersifat historis-naratif itu, penelitian Feith telah memakai hipotesa yang diambil dari teori ilmu-ilmu sosial, khususnya teori elite, dalam menganalisa peristiwa sejarah. Feith telah menampilkan teori elitenya: solidarity maker dan administrator. Kita tinggal menunggu satu lagi, yakni penelitian mendalam tentang peranan pengusaha, sebagai salah satu dari tiga kelompok elite yang paling berperan dalam perubahan sosial. Buku Yahya A. Muhaimin, judul asli dari disertasinya Indonesia Economic Policy, 1950-1980: the Politics of Client Businessmen, (1982), memang membahas perihal pengusaha, khususnya yang disebut "pengusaha klien". Perhatiannya lebih tertuju pada kebijaksanaan politik dan ekonomi untuk membina pengusaha pribumi yang berkembang dan berubah dalam tiga periode. Demokrasi Parlementer (1950-1957), Demokrasi Terpimpin (1958-1965), dan Orde Baru (1967-1980). Walau ketiga periode itu melahirkan kebijaksanaan yang berbeda, katanya, kesemuanya menghasilkan gejala yang sama, yaitu tumbuhnya kelompok pengusaha klien, individu, atau pengusaha yang bergantung pada pengusaha lain untuk kegiatan bisnisnya. Metode yang dipakai, sebagai suatu disertasi, memang agak unik. Ia tidak bersifat deskriptif naratif. Juga tak dilakukan uji hipotesa atau pengembangan pemikiran berdasarkan suatu teori tertentu. Jelasnya, buku ini merupakan evaluasi berbagai kebijaksanaan ekonomi untuk menumbuhkan kelas menengah pribumi, baik dalam persaingan dengan modal asing maupun pengusaha etnis Cina. Mula-mula (Bab II), pengarang melukiskan kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia, sejak Program Benteng yang dimulai pada bulan Mei 1950, pada masa Kabinet Natsir dan diteruskan oleh kabinet-kabinet berikutnya, sampai masa Orde Baru. Kemudian pada Bab III, pengarang melukiskan bagaimana kebijaksanaan tersebut dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Dan pada Bab IV, ia menilai konsekuensi, hasil, atau dampak kebijaksanaan. Pada bab selanjutnya, pengarang mencoba mencari benang merah. Buku ini sangat baik, terutama untuk dibaca oleh para politisi maupun perumus kebijaksanaan pembangunan. Buku ini secara sistematis dan obyektif menilai kebijaksanaan pemerintah, termasuk gagasan para tokoh teknokrat Indonesia, seperti Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawiranegara, dan Widjojo Nitisastro, tentang bagaimana mentransformasikan perekonomian kolonial menjadi nasional. Buku ini lebih memusatkan perhatiann pada kelanjutan Program Benteng dari gagasan Sumitro dan Saroso Wirodihardjo. Yahya Muhaimin kurang menampilkan gagasan dan perbedaan pandangan antara Sumitro, Syafruddin (yang mengkritik keras Program Benteng maupun Renca Urgensi Perekonomian yang dianggapnya sebagai gagasan Sumitro) dan Hatta (tentang gerakan koperasi). Ketiganya sama-sama menghasilkan pengusaha dan perusahaan klien. Penelusuran ini tak hanya menarik dari segi studi sejarah. Dari sini, kita menyadari bahwa gagasan pembinaan ekonomi pribumi oleh pemerintah tak semata-mata dinilai sebagai gagasan "nasionalistis". Hal serupa pernah dilakukan pemerintah kolonial secara sadar -- sejak Politik Etis pada awa abad ke-20 -- ingin menciptakan keseimbangan antara perkembangan ekonomi Timur Asing, khususnya Cina, dan pribumi yang ketinggalan. Selayaknyalah buku ini juga menampilkan gagasan Syafruddin Prawiranegara secara komprehensif. Ketika menjabat Gubernur Bank Sentral, ia adalah tokoh "penentang arus" pemikiran nasionalisme ekonomi dan sosialisme pada waktu itu yang ditokohi oleh Sumitro Djojohadikusumo. Tokoh yang dinilai penganut aliran neoklasik itu menentang kebijaksanaan diskriminasi terhadap modal asing dan modal nonpribumi. Sebab, persoalan yang dihadapi pada waktu itu justru adalah kelangkaan modal, bukannya kelebihan modal sehingga halur mengusir modal asing dan memandulkan modal nonpribumi. Demikian pula kebijaksanaan fiskal dan perkreditan yang cenderung memanjakan golongan pribumi. Pemerintah hendaknya lebih berperan dalam pembangunan pertanian dan produsen kecil. Analisa Syafruddin pada waktu itu sebenarnya sejalan dengan kesimpulan buku ini, bahwa kebijaksanaan pembinaan pengusaha nasional, khususnya pribumi, selain menghasilkan hal-hal yang positif, juya menimbulkan dampak negatif. Kelompok pengusaha pribumi itu tumbuh tak kunjung mandiri. Juga terjadinya korupsi di kalangan birokrasi. Buku ini memang menampilkan banyak aspek kegagalan kebijaksanaan pembinaan pengusaha klien dan kritik terhadap kebijaksanaan ekonomi Orde Baru. Namun, ia tak menolak kebijaksanaan itu. Dengan demikian, kiranya tak ada alasan kuat untuk melarang buku itu. M. Dawam Rahardjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus