Beberapa penanam modal di Asia Tenggara terpaksa menjadi kapitalis komprador. Mereka belum punya kemampuan teknologi, modal, dan manajemen. SEBELUM buku Bisnis dan Politik Yahya Muhaimin beredar, pembaca bisa membeli buku Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio. Topiknya menyangkut pertumbuhan kapitalisme di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sampai kini, buku yang disertai kata pengantar oleh Arief Budiman itu masih bebas di pasaran. Kunio, profesor Universitas Kyoto, mencoba menjauhkan diri -- kalau tak malah menolak -- pendekatan budaya karena sering cenderung sederhana, dangkal, dan main gampang. Ini bisa dicurigai sebagal akibat kemalasan intelektual dalam menelusuri penjelasan rasional. Ambil contoh keberhasilan konomi Jepang yang dimitoskan sebagai akibat kerja keras, hemat, dll. Padalah, kerja keras saja tak bisa membuat suatu bangsa menjadi kaya. Timbul pertanyaan, apakah memang ada bangsa yang malas? Kiranya tak ada korelasi langsung antara kerja keras dan menjadi kaya. Sehubungan dengan itu, bisa dilihat bab ketiga buku Kunio. Diuraikan sejarah pertumbuhan kapitalisme golongan Cina di Asia Tenggara. Eloknya, uraian tersebut dilakukan dengan memperbandingkan negara-negara Asia Tenggara satu per satu. Persamaan umum yang bisa ditarik bahwa golongan ini punya kelebihan yaitu adanya jaringan bisnis yang intensif, yang tak dimiliki kaum pribumi. Dengan demikian, Kunio membantah anggapan bahwa orang Cina lebih tanggap terhadap peluang komersial. "Sifat-sifat semacam itu bukan pembawaan," tulis Kunio. Memang ada beberapa kekecualian seperti di Filipina. Golongan kapitalis cenderung mendominasi bisnis justru tatkala jumlahnya ciut akibat kebijakan pemerintah, misalnya dengan pembatasan imigrasi. Jadi, sebenarnya reaksi dari orang Cina di Filipina itu lebih merupakan pemecahan terhadap suatu persoalan. Kapitalisme di Asia Tenggara diberinya label "ersatz", yang di buku ini diterjemahkan sebagai "semu". Mengenai hal ini saya jadi teringat istilah "gadungan" yang dipakai Sukarno, yang siapa tahu lebih tepat. Menurut Kunio, orang-orang yang disebut kapitalis di Asia Tenggara hanya ada di negara-negara ASEAN. Disebut kapitalisme semu karena beberapa alasan. Pertama, kenyataan bahwa perkembangan kapitalisme di kawasan ini terbatas pada sektor tersier. Bisa dimengerti, mengingat sebagian besar kapitalis ini berasal dari kelompok etnis Cina yang sedari mula. Mereka kurang mampu memasuki sektor manufaktur, yang menjadi mesin pertumbuhan. Menurut Kunio, hal ini disebabkan keterbelakangan teknologi, ketiadaan visi, dll. Sekarang ini, dengan semakin jauhnya ketertinggalan teknologi, ongkos yang semakin tinggi, para kapitalis hanya mampu mengundang modal asing untuk terjun ke sektor sekunder. Jadi, ciri lain adalah mereka bergantung kepada modal luar. Untuk itu, ketergantungan kepada pemerintah semakin besar, yang juga menjadi ciri kapitalisme tersebut. Kunio dengan tandas menyebutkan, mereka sebagai "komprador Jepang". Banyak dari mereka yang bekerja dengan Jepang untuk usaha tersebut. Artinya, para kapitalis itu kurang canggih. Yang dilakukan hanya mengimpor pabrik atau mesin. Pihak tuan rumah seakan hanya menyediakan tanah dan buruh untuk menyetel sekrup. Dampak lain adalah industrialisasi mereka yang akan selalu bergantung kepada Jepang, atau selanjutnya Korea Selatan dan Taiwan. Itulah pelbagai alasan kapitalis di Asia Tenggara dianggap semu. Dengan adanya usaha manufaktur tadi, peranan pemerintah menjadi penting. Perlu ditambahkan, pada saat mereka masih di jalur tersier pun, sebenarnya para kapitalis semu ini sudah banyak bergantung pada penguasa. Dibahas pula secara khusus kapitalisme rente. Bisa diduga mereka ini lebih bergantung kepada pemerintah. Di Filipina misalnya diberi julukan "kapitalis konco" (crony capitalist ). Ada lagi yang dikenal sebagai kapitalis birokrat -- yaitu birokrat yang mempergunakan wewenangnya untuk usaha bisnis. Khusus mengenai kapitalisme rente ini Kunio menulis bahwa di Malaysia, Filipina, dan Indonesia sudah mencapai tingkat yang keterlaluan. Jelas sebenarnya bahwa buku ini pantas dibaca juga oleh para "kapitalis" dan manajer kita. Maksudnya agar mereka mengerti pertumbuhan kapitalisme di Indonesia dan menyadari bahwa jumlah uang negara yang disalurkan untuk bisnis mereka tidak main-main. Juga menjadi cambuk agar mereka bersedia bekerja lebih profesional, tidak hanya memamerkan mobil mewah dan ikut reli. Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah: Apakah kapitalisme semacam ini bisa menimbulkan dinamika ekonomi? Atau dapatkah negara-negara Asia Tenggara melepaskan diri dari ketergantungan kepada Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan? Untuk semua pertanyaan itu jawaban Yoshihara Kunio sebenarnya bersifat lebih pesimistis. Dikatakannya bahwa negara-negara ini punya tiga persoalan yang sulit, yaitu keterbelakangan teknologi, rendahnya kualitas intervensi pemerintah, dan persoalan status dan pembauran orang-orang Cina. Arief Budiman di dalam kata pengantarnya menunjukkan bahwa Kunio mengemukakan peningkatan kualitas campur tangan pemerintah sebagai pemecahan terhadap persoalan tersebut. Menurut saya, campur tangan ini menyangkut politik, terutama kompetisi di antara para pendukung terkuat. Dr. Hero U, Kuntjoro-Jakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini