Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO Candi Borobudur itu berbeda dengan Borobudur yang kita lihat sekarang. Di stupa puncaknya ada sebuah payung (chattra) bertingkat tiga. Bila kini kita mengunjungi Borobudur, di stupa induk Borobudur yang kurang-lebih berdiameter 9,9 meter itu sama sekali tak ada tiang berpayung kecil. Foto tersebut dibuat Jean Demmeni entah kapan. Kemungkinan besar pada 1907-1911 tatkala Borobudur direstorasi oleh Theodore van Erp, insinyur dari ketentaraan Belanda.
Ini foto Borobudur langka. Demmeni sendiri jarang memotret candi. Dari 150 foto Demmeni koleksi Rumah Topeng, hanya sedikit jepretannya mengenai candi. Di antaranya potret sebuah pura di Singaraja. Lalu Candi Mendut dan Borobudur. Itu pun anotasinya salah. Dalam teks Demmeni disebutkan Mendut dan Borobudur sebagai candi Hindu di Jawa Tengah, padahal keduanya candi Buddha.
Foto tertua mengenai Borobudur salah satunya dibuat fotografer Kassian Chepas (1845-1912). Cephas—dalam bahasa Aramaik berarti Peter—adalah nama yang dipilih oleh Kassian ketika ia pada umur 15 tahun dibaptis di Gereja Bagelen, Purworejo, pada 1860. Cephas kemudian dikenal sebagai fotografer pribumi pertama. Ia banyak melakukan pemotretan candi di Jawa Tengah. Pada 1889-1890, ia membantu Archeologische Vereniging Yogyakarta (Balai Arkeologi Yogyakarta) mempreservasi Candi Prambanan dan Borobudur. Ia bertugas merekam candi-candi tersebut.
Pada 1885, Archeologische Vereniging Yogyakarta menemukan bahwa di kaki Borobudur yang tertutup ternyata terdapat rangkaian relief tersembunyi. Pada 1890-1891, Archeologische Vereeniging berusaha membuka kaki Borobudur tersebut. Saat rangkaian di kaki candi itu dibuka, Cephas memotret relief-relief "erotik" bernama Karmawibhangga tersebut. Setelah dokumentasi selesai dilakukan Cephas, relief Karmawibhangga ditutup kembali.
Sebanyak 164 relief Karmawibhangga bisa difoto Cephas. Ia juga mendokumentasikan 160 relief Borobudur lainnya dan empat pose Borobudur secara keseluruhan dari berbagai sudut. Tapi bukan kali itu saja Cephas tampaknya memotret Borobudur. Di buku Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of Sultan karangan Gerrit Knaap terdapat foto-foto Borobudur jepretan Cephas pada 1872, 1888, dan 1900. Dari tiga foto itu, tampak Borobudur belum direnovasi dan chattra sudah tidak ada.
Foto tahun 1872 itu diambil Cephas dari pesanggrahan atau tempat peristirahatan milik pemerintah. Dalam foto tersebut diperlihatkan stupa utama terpenggal, menyisakan sejumlah balok batu tanpa bentuk yang jelas. Saat Cephas memotret Borobudur pada 1827 itu, tentu Demmeni belum menjadi fotografer karena umurnya baru 6 tahun. Tapi, yang aneh, dalam Borobudur jepretan Demmeni ada payung di puncaknya.
Apakah dalam restorasi Borobudur pada 1907-1911 di stupa induknya pernah dipasang payung kemudian diturunkan lagi?
Arkeolog sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, Mundardjito, menyebutkan, setelah direstorasi oleh Theodore van Erp pada 1907-1911, Borobudur memang benar sempat memiliki puncak berupa payung kecil. "Sebelum direstorasi, bagian ini memang hilang karena rusak dan terkubur dalam pecahan kecil-kecil," katanya kepada Tempo.
Dalam buku Chandi Borobudur yang ditulis dr Soekmono disebutkan awalnya Van Erp lebih banyak melakukan penggalian dan pembersihan untuk drainase air hujan yang lebih baik serta pemugaran yang sifatnya vital. Namun, setelah mendapat tambahan suntikan dana sebesar 34.600 gulden dari pemerintah Belanda pada 1910, Van Erp kemudian memulai usaha restorasi menyeluruh mengembalikan Borobudur pada kondisi aslinya. Termasuk membangun kembali bagian puncak candi itu.
Namun upayanya menemui kendala. Berbeda dengan bagian lain Borobudur yang memiliki simetri atau berpasangan, puncak Borobudur hanya berjumlah satu buah sehingga tak ada patokan nyata bagi Van Erp untuk membangun kembali bagian chattra ini. "Van Erp kemudian membangunnya berdasarkan gambar sebuah relief Borobudur," ujar Mundardjito.
Mundardjito menyebutkan batu asli chattra yang ditemukan dan digunakan kembali oleh Van Erp berjumlah hanya sembilan buah. Karena itu, untuk membentuk kembali pucuk Borobudur, Van Erp menggunakan banyak batu tambahÂan. Keputusan ini kemudian mengundang kritik beberapa pihak. Salah satunya N.J. Krom, Kepala Badan Purbakala ketika itu. Alasannya, dengan jumlah batu yang sangat sedikit ini, tak mungkin Van Erp dapat menyusun kembali puncak candi seperti aslinya.
"Secara etika, restorasi tak bisa dilakukan. Harus ada data otentik yang mendukungnya," ucap Mundardjito. Data otentik, misalnya, ada stupa berpayung lain dalam kondisi baik yang bisa digunakan sebagai rujukan untuk merestorasi stupa pasangannya. Atau ada sebuah pucuk yang diyakini simetris sehingga bagian kanan yang rusak dapat dipugar mengikuti bentuk atap sebelah kiri.
Van Erp menyadari hal ini. Setelah sempat memasang chattra, ia kemudian membongkarnya kembali. Dalam bukunya, Soekmono menyebutkan bahwa Van Erp tidak hanya melakukan restorasi. Ia juga diberi bujet khusus sebesar 10 ribu gulden untuk melakukan dokumentasi fotografi sebelum, selama, dan setelah restorasi, selain foto panel-panel relief Borobudur. Lengkap dengan chattra, Borobudur memiliki tinggi 42 meter. Tanpanya, tinggi candi ini sekitar 34,5 meter. Potongan chattra ini sekarang disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Mundardjito menyebutkan bagian pucuk Candi Borobudur berupa payung itu sesungguhnya merupakan simbol dari jalan Buddhisme. Stupa, yang berbentuk tempurung kelapa terbalik, merupakan lambang dari mangkuk yang digunakan pendeta untuk mencari sumbangan. Adapun chattra adalah simbol dari tongkat yang mereka gunakan dalam perjalanan. Namun, lantaran tak ada data otentik yang dapat dijadikan sebagai rujukan pemugaran, Mundardjito menilai pemugaran chattra tak bisa dilakukan hingga saat ini. "Lebih baik daripada mengulang kesalahan yang dulu," ujarnya.
Dan foto Demmeni adalah sebuah kesaksian bagaimana Van Erp melakukan uji coba memasang chattra di puncak tertinggi Borobudur sebagaimana aslinya, sebelum dibongkarnya lagi.
Seno Joko Suyono, Ratnaningasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo