Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serdadu-serdadu kolonial asal Ambon itu meriung di bawah sebuah pohon. Bayonet terhunus di tangan. Mereka terlihat tengah berkoordinasi. Kehadiran kamera seperti tak mengusik mereka. Di foto lain, sejumlah prajurit Dayak tengah berpose dengan lembing tajam dan perisai. Fotografer yang menghasilkan kedua foto ini tak syak berpengalaman keluar-masuk medan-medan yang sulit, dari kancah perang hingga pedalaman hutan. Ia juga pasti seorang kawakan, karena terlihat membuat nyaman obyek fotonya.
Foto-fotonya yang lain menangkap suasana kesibukan buruh-buruh perkebunan dan pabrik. Dari perkebunan kopi, tembakau, sampai teh. Dari kerja sehari-hari jongos pabrik gula hingga pabrik garam. Kameranya juga mengabadikan kuli-kuli pelabuhan dan kilang minyak. Ia tak hanya menangkap unsur manusianya, tapi juga peralatan pabrik. Ia bahkan memotret rel-rel stasiun dan saluran-saluran irigasi. Dan, yang menakjubkan, itu bukan hanya di satu kawasan, melainkan di seluruh penjuru Nusantara. Dari Payakumbuh, Papua, Samarinda, sampai kota kecil Tuntang di Jawa Tengah.
Foto-foto "reportase" itu dibuat pada zaman kolonial antara 1888 dan 1930-an. Nama juru potretnya adalah Jean Demmeni. Nama yang sungguh "asing". Dari namanya, pasti ia memiliki darah Prancis. Namun Demmeni kelahiran Padang pada 1866 dan meninggal di Bogor pada 1939. Ia "anak Hindia" asli, yang hampir separuh hidupnya—dengan kameranya—menjelajahi kota demi kota Hindia Belanda.
Dan foto-foto langka dari "anak kolong Hindia" keturunan Prancis ini dipamerkan mulai Mei lalu sampai akhir Juni nanti di Rumah Topeng, Kubu Bingin, Ubud, Bali. "Saya beli foto-foto Jean langsung tahun 2008 dari Watse Heringa, kolektor Belanda, cucu Frans Johan Louwrens Ghijsels, arsitek Stasiun Beos," kata Liong Hauw Ming dari Rumah Topeng Ubud. Foto-foto yang didapatkannya itu merupakan hasil cetakan Kleynenberg, Boissevain & Co. "Watse menawarkan 150 foto Demmeni dengan harga sekitar 80 juta, akhirnya deal sekitar 50 juta."
Separuh lebih karya Demmeni itu kini disajikan di Rumah Topeng. Pihak Rumah Topeng menggaet sejarawan ahli Batavia, Mona Lohanda, untuk menjadi kurator. Menurut Hauw Ming, di Belanda sesungguhnya sangat mudah mendapatkan foto-foto kuno Demmeni. "Banyak repro foto Demmeni dijual di kios-kios antik, tapi sering hanya satu-satu, jarang utuh. Sedangkan saya mendapatkan satu dus penuh masih dengan cap Kleynenberg, Boissevain & Co."
Baginya, menyelamatkan foto-foto itu penting karena jepretan Demmeni banyak digunakan di berbagai publikasi kolonial sejak awal abad ke-20 hingga menjelang kemerdekaan Indonesia. Foto-foto itu saksi mata. Foto-foto itu kerap dimuat di majalah bulanan kultural Ned. Indie atau majalah Oud en Niew (1916-1930), majalah mingguan Tropisch Nederland (1927), dan Cultureel Indie (1938-1946).
Di Belanda, nama Jean Demmeni baru dikenal publik luas dengan terbitnya buku Indië in Beeld (Indonesia dalam Gambar) pada 1911. Ketika itu, Algemene Nederlandse Wielrijders-Bond (ANWB), biro perjalanan Belanda, menugasi Demmeni membuat foto-foto khusus tentang Jawa dan Sumatera untuk promosi kepariwisataan Hindia Belanda. Lebih dari 50 karya Demmeni dimuat dalam buku yang diterbitkan N.V. De Tulp Haarlem—dengan kata pengantar H.F. Wagenaar Reisiger—itu.
Sampai sekarang, foto-foto lawas Demmeni masih sering digunakan sebagai cover berbagai buku sejarah. Sampul buku sejarawan M.C. Riklef, Islam Java: Polarizing Javanese Society; Islamic and Other Visions, misalnya, yang bersampul muka foto lawas anak-anak pedusunan Jawa belajar Al-Quran, sesungguhnya adalah karya Demmeni. "Takutnya banyak penerbit buku lain tidak tahu. Foto Demmeni di-reprint begitu saja dan diakui sebagai bukan karya dia," kata Mona.
Karena itu, pameran karya Demmeni yang cukup utuh ini penting. Dalam skala lebih kecil, koleksi foto ini pernah disajikan di Erasmus Huis, Jakarta, pada 2008. Saat itu, Firman Ihsan selaku kurator banyak mengulas potret-potret Demmeni dari sisi teknis fotografi.
Sesungguhnya yang memulai meneliti potret karya Demmeni adalah kolektor barang antik dari Belanda, dua bersaudara Leo Haks dan Paul Haks. Pada 1984, di rak sebuah toko buku di Amsterdam, mereka menemukan foto karya Demmeni. Mereka tertarik. Semenjak itu, keduanya memburu karya Demmeni di loakan-loakan dan tempat arsip-arsip. Pada 1987, mereka menerbitkan buku Indonesia: Images from the Past. Ada 84 foto Demmeni yang ditampilkan di situ.
Posisi Demmeni terhadap obyek-obyeknya menarik dicermati. Ia seolah-olah merekam apa adanya, tanpa pretensi. "Ia fotografer resmi pemerintah Belanda," ujar Mona. Demmeni masuk militer Belanda pada 1887, kemudian berdinas di jawatan topografi. "Jawatan ini yang kini menjadi Bakosurtanal—badan pemetaan dan survei," ucap Mona.
Sebagai fotografer militer, Demmeni banyak diperbantukan di berbagai ekspedisi. "Salah satunya ekspedisi Kalimantan bersama Dr Nieuwenhuis pada 1896-1900," Mona menambahkan. Di sini, Demmeni menjadi fotografer pertama yang menjelajahi kehidupan suku-suku Dayak. Pada April 1898, ia bahkan membentuk komisi penelitian konflik dan kekerasan yang terjadi di dalam suku Dayak di sepanjang Sungai Mahakam Atas dan Dayak Batang Lupar di Sarawak. Bersama Dr Nieuwenhuis, ia menghasilkan buku Door Centraal Borneo. Ia juga termasuk orang pertama yang mendaki puncak Krakatau dan menjelajahi Papua Nugini.
Yang menarik, di mana pun tugasnya, terutama di luar Jawa, Demmeni tertarik mengamati anggrek. Ia pencinta anggrek. Tatkala mengikuti ekspedisi Mamberamo, Papua, Demmeni menemukan spesies anggrek baru. Ia menanam anggrek itu di Batavia. Nama Demmeni kemudian diabadikan untuk anggrek itu: Dendrobium demmenii. Dalam urusan anggrek, konon, ia berbagi dengan sahabatnya, Sultan Yogyakarta. Sultan bisa berbicara berjam-jam soal anggrek bersamanya.
Yang menjadi tantangan sekarang, kehidupan pribadinya belum banyak terkuak. Demmeni dikatakan menikah dengan perempuan bernama Sarinah dari Desa Jamar di Solo. Dari sebuah foto, kita bisa melihat ia duduk bersama seorang wanita pribumi yang kemungkinan besar adalah Sarinah. "Sosok Demmeni misterius karena kita kurang data," kata Mona.
Ayah Demmeni bernama Henri Demmeni, orang Prancis yang kemudian berkarier militer di Hindia Belanda. Ia bukan sembarang orang. Henri Demmeni adalah jenderal di Aceh. Jean Demmeni sendiri menyelesaikan sekolah menengah di sekolah Belanda di Padang Panjang. Pada 1884, ia pergi ke Belanda, kuliah teknik sampai 1885. Setelah itu, ia mengikuti jejak ayahnya, menjadi kopral tentara pada 15 Maret 1887.
Dengan memakai kapal uap Zeeland, Jean Demmeni muda kembali ke Hindia Belanda pada 7 April 1888. Dalam awal karier ketentaraannya, ia bertugas sebagai penembak. Ia sempat meraih medali perunggu dalam sebuah kompetisi tembak. Mona, yang pernah bekerja di Arsip Nasional Indonesia, berusaha menelusuri jejak Demmeni di pemerintahan kolonial. "Saya mencari beleid-beleid tugas dia di militer. Saya menemukan data, saat dia keluar dari militer sempat tanpa uang pensiun," katanya.
Bagaimana keluarga Demmeni yang berasal dari Prancis sampai di Hindia Belanda? Pierre Labrousse, pendiri jurnal Archipel dari Prancis, menduga ayah Demmeni adalah seorang pelarian. "Saya duga dia beragama Protestan. Di Prancis, saat itu agama Protestan ditekan. Banyak pemeluk Protestan Prancis lari ke Belanda," ujarnya. Labrousse memperkirakan Henri Demmeni kemudian melamar menjadi anggota militer di Belanda.
Leo Haks, untuk keperluan buku, pernah melacak jejak keluarga Demmeni. Ia menulis di Belanda. Ia berhasil mewawancarai Nyonya DeLanoy-Demmeni, yang mengaku kenal "Paman Jean" Demmeni. Dari wanita itu, Haks mengetahui bahwa Demmeni punya anak perempuan, Jenni, dan seorang anak angkat, Christina. Jenni meninggal pada usia muda. Sedangkan Christina masih hidup. Haks akhirnya bisa menemui Christina. Saat dia temui, Christina berusia 83 tahun. Kepada Haks, Christina mengatakan dialah yang mencetak foto-foto ayahnya.
Christina juga memperlihatkan buku Jean Demmeni yang amat penting kepada Haks. Buku itu dipenuhi catatan tentang proses kimia fotografi dan bagaimana Demmeni menyiapkan beberapa campuran yang telah menghasilkan cetakan dengan kualitas prima. Salah seorang keponakan perempuannya, P. De Lanoy-Demmeni, yang ditemui Leo Haks pada 1985 di Bussum, Belanda, mengatakan pamannya tak hanya sibuk memotret. Ia juga mempunyai studio khusus yang dipenuhi botol kimia dan tinta. "Dia memproses hasil fotonya dalam studio pribadi," katanya.
Mona Lohanda tertarik melihat bagaimana foto-foto karya Jean Demmeni pada masa kolonial dapat menjadi medium masyarakat terdidik membayangkan keberagaman Hindia Belanda. Menurut dia, pada zaman kolonial, foto-foto Demmeni menjadi school platen. "Itu alat peraga untuk pengajaran di sekolah." Sering foto-foto Demmeni menjadi hiasan pajangan di dinding sekolah, bahkan di gereja-gereja Belanda di Batavia. "Yang masih perlu diteliti apakah di sekolah-sekolah negeri Belanda juga dipasang atau hanya di sini," kata Mona. Yang jelas, foto-foto Demmeni juga menjadi ilustrasi buku teks mengenai Hindia Belanda, misalnya menjadi ilustrasi buku teks sekolah karya A.W. Nieuwenhuis, Profesor J.F. Niermeyer, L.A. Bakhuis, dan Dr H.D. Benjamins.
Menurut Mona, setelah Indonesia merdeka pun foto Demmeni masih menyelip di buku pelajaran mengenai Tanah Air. Misalnya ada edisi buku-buku Tanah Air terbitan pada 1947. "Itu kumpulan foto bagaimana Indonesia punya masa lalu, tapi juga masa depan," ujarnya. Mona melihat, sebagai fotografer kolonial yang lahir di Indonesia, yang khas dalam jepretan Demmeni adalah ia tidak jatuh ke suatu tangkapan yang molek-molek. Saat menampilkan kawah gunung, tari-tarian, pandai besi, kereta api, kampung nelayan, dan sebagainya, bau turistiknya tak kental. "Foto-foto Demmeni tidak menampilkan wajah Mooi Indie. Di Bali, umumnya fotografer atau pelukis suka menangkap sosok wanita telanjang. Tapi wanita telanjang sama sekali tak ada dalam karya Demmeni di Bali," kata Mona.
Akan halnya dalam diskusi menjelang pameran, Dr Mudji Sutrisno, SJ, menekankan bahwa foto-foto masa lalu karya Demmeni berguna untuk memaknai ulang wajah kita sendiri. "Foto-foto Demmeni ini penting sekali. Dari foto-foto itu, kita bisa melihat bagaimana Indonesia disodorkan di masa kolonial dan impaknya terhadap kemerdekaan dan masa kini," ujar pengajar mata kuliah pascakolonial di Pascasarjana Universitas Indonesia itu.
Betul apa yang dikatakan rohaniwan itu. Justru di sinilah letak penting pameran ini. Sebab, sebagian pengamat Belanda melihat karya Jean Demmeni pada akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah penjajahan Belanda sendiri. Sebagai seorang anggota militer, Demmeni mungkin sekadar melakukan tugas memotret sana-sini. Tapi hasil jepretannya yang menangkap kehidupan pribumi di pabrik-pabrik ternyata sekaligus menelanjangi rezim penjajahan dari berbagai sisi. Karyanya membuka mata bagaimana pedihnya kehidupan di Hindia Belanda. Karya-karya Demmeni membantu orang-orang di Belanda yang anti-penjajahan mengkritik kolonialisme. Oleh beberapa pakar Hindia Belanda, Jean Demmeni bahkan disamakan dengan Eduard Douwes Dekker (1820-1887), pengarang Max Havelaar.
Sebagaimana Douwes Dekker yang meratapi kehidupan buruh-buruh di Lebak, mata kamera Demmeni, meski tidak secara verbal dan vulgar, menampilkan penindasan—menyodorkan fakta bagaimana tanah Nusantara yang kaya raya ini diperas, dieksploitasi habis-habisan. Foto-foto Demmeni justru melahirkan empati akan pentingnya politik etis. Melalui foto-foto Demmeni, kata sebuah pendapat, orang bisa melihat bagaimana penjajahan Belanda tak cukup mampu menembus jiwa masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di kampung-kampung dan pedalaman. Maka kemerdekaan Indonesia pada 1945 adalah sesuatu yang sudah seharusnya dan sah.
Mungkin benar juga analisis demikian. Dari 150 koleksi foto Demmeni yang dimiliki Rumah Topeng, marilah iseng-iseng kita pilih secara tematik foto-foto perkebunan tembakau. Kita akan mendapat foto-foto dari buruh bekerja keras di perkebunan, buruh di pabrik merajang dengan kontrol ketat pegawai Belanda, sampai hasilnya diangkut gerobak yang dikawal tentara. Terasa eksploitasi itu. "Saya pernah melihat foto yang menggambarkan mayat-mayat kekejaman tentara Marsose di Aceh. Foto itu tanpa akreditasi. Tapi saya yakin itu jepretan Demmeni," kata Hauw Ming.
Karya Demmeni artinya diam-diam ada dalam pertarungan kolonial dan antikolonial. Yang jadi soal, "Max Havelaar fotografi" ini makamnya tak diketahui. Berdasarkan penelusuran Tempo, di Bogor sekarang ada satu pemakaman Belanda, yakni Kampung Pilar di Desa Cibanteng, Kecamatan Leuwisadeng. Pemakaman seluas 330 meter persegi itu merupakan pemakaman keluarga Van Motman. Penjaga kompleks makam, Ucu Sumarna, 60 tahun, menyatakan belum pernah mendengar nama Jean Demmeni.
"Ya, katanya Jean sempat tinggal di Gunung Batu dan akhirnya meninggal di Bogor, tapi saya belum mengecek kebenarannya," ucap Taufik Hasunna, pemerhati sejarah Bogor yang tergabung dalam Bogor Historia. Taufik memastikan tidak mungkin Demmeni dikuburkan di pemakaman Belanda di Kampung Pilar karena pemakaman itu merupakan kompleks pemakaman keluarga Van Motman. "Saya juga bisa memastikan Jean tidak dimakamkan di Kebun Raya, meski ada beberapa karya fotonya tentang Kebun Raya." Pasalnya, menurut dia, semua warga negara Belanda yang dikuburkan di dalam area Kebun Raya adalah pejabat tinggi Hindia Belanda.
Jika benar Jean Demmeni meninggal dan dikuburkan di Bogor, dia menduga lokasinya di antara dua tempat, yakni di kuburan Gang Rante, Gunung Batu, dan kuburan Belanda terbesar di Bogor, Memanto Mory di Kebon Jahe. "Memanto ini kompleks pemakaman umum Belanda, tapi masalahnya sekarang sudah tak ada karena berubah menjadi Pasar Kebon Jahe dan Terminal Merdeka...."
Seno Joko Suyono (Ubud), M. Sidik Permana (Bogor), Lea Pamungkas (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo