Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bubi Chen bagaikan Midas, Raja Phrygia dalam mitologi Yunani yang sentuhan ujung jarinya mengubah segalanya jadi emas. Dan tak bisa ditawar lagi, Bubi adalah jazz. Tak banyak pemusik yang berani memastikan jazz sebagai pilihan hidup. Dan konsistensi ini diperlihatkan berpuluh-puluh tahun dari akhir 1950-an hingga sekarang. Alhasil, musik apa pun yang disentuh pianis gaek ini pasti berubah menjadi jazz.
Di negeri ini banyak kita jumpai pemusik jazz yang nyambi memainkan jenis musik lain untuk survive. Namun, Bubi Chen, 67 tahun, yang belajar jazz secara autodidaktik, tidak pernah berhenti memainkan jazz. Jari-jemarinya tetap bergulir di atas tuts piano. Hanya jazz dan jazz. Simaklah bagaimana Bubi menafsirkan berbagai ragam anasir musik entah itu klasik, pop, maupun etnik ke dalam kamar jazz yang dibangunnya.
Ketika berusia 12 tahun ia sudah mengobrak-abrik repertoar klasik, dari Wolfgang Amadeus Mozart hingga Ludwig von Beethoven, menjadi jazz. Bebas lepas dari tradisi musik klasik yang taat pada pakem. Dalam 40 tahun lebih kariernya di dunia rekaman, Bubi mengaransemen begitu banyak lagu pop menjadi repertoar jazz yang improvisatif. Mulai dari album Bila Ku Ingat Bubi Chen with Strings (produksi Irama, 1969), bersama Mus Mualim sebagai music director dan diiringi Orkes Simphoni Radio Jakarta, hingga sederet albumnya di akhir era 1990-an seperti Virtuoso (Legend Record,1995) atau What A Wonderful World (Sangaji Music, 1999). Di sampul belakang album Bila Ku Ingat, almarhum Mus Mualim menuliskan komentar tentang musikalitas Bubi Chen: "seorang pianis yang sempurna, baik dalam kecepatan dan keampuhan jari-jarinya maupun dalam susunan improvisasi yang progresif dan modern. Dia adalah seorang pemain piano yang rapi dan teliti."
Siapa pun yang mendengarkan permainan piano Bubi pasti mengangguk terhadap komentar Mus Mualim. Akurasi dan improvisasi adalah karakter utama permainan piano Bubi. Tak mengherankan jika di era 60-an banyak yang membanding-bandingkan permainan Bubi Chen dengan Art Tatum, pianis jazz Amerika yang memainkan Swing, Stride, dan Boogie Woogie dengan kompleksitas dan kecepatan jari-jemari yang luar biasa. Apa pun, yang jelas Bubi Chen lebih tepat disebut sebagai seorang penafsir jazz. Setiap lagu yang diinterpretasikannya senantiasa disusupi roh jazz yang berkesan baru dan fresh.
Setiap lagu yang diaransemennya ibarat seseorang yang mengenakan baju baru. Bubi pun piawai mengaduk-aduk sanubari mulai dari ambience beratmosfer lembut dan secara tiada terduga menyeberang ke perangai yang lebih agresif. Tak berlebihan jika menyebut permainan jazz Bubi adalah laksana miniatur yang meniru riak kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari yang adem-ayem hingga yang penuh gelegak. Sebetulnya, jika menelaah rekaman-rekaman yang pernah diterbitkan Bubi Chen baik perseorangan maupun kolaborasi, selalu tersirat semacam episode kehidupan anak manusia.
Contoh yang paling konkret ada pada album Kedamaian (produksi Hidayat Audio, 1989). Di album ini Bubi Chen berkolaborasi dengan pemusik karawitan Sunda. Bunyi-bunyian menjadi primadona di album yang digarap secara genial ini. Piano Bubi yang mewakili kultur Barat berbaur dengan suling Endang Sukandar, kecapi rincik Dede Suparman, dan kecapi indung Uking Sukriyang mewakili kultur Timur. Sebuah blending yang sejak tahun 1930-an diupayakan oleh sederet pemusik Barat dengan menggamit ragam musik Timur dengan tujuan eksotisme bermusik. Masih ingat Collin McPhee? Dia pemusik Kanada yang tergila-gila pada kultur musik Bali, yang kemudian dituangkannya dalam karya bertajuk Concerto for Two Pianos and Large Orchestra Using Bali, Jazz and McPhee Elements (1949).
Dan sadari bahwa kawin silang dua kultur musik yang berbeda ini memang tidak pernah menghasilkan sebuah senyawa yang permanen. Itu juga disadari oleh Bubi Chen, yang berkolaborasi dengan Uking Sukri. Walhasil, sebuah permainan yang toleran adalah solusinya. Bayangkan sebuah harmoni sakral dan hampir minimalis, tulis almarhum Harry Roesli pada liner notes album Kedamaian, dibayangi oleh idiom-idiom jazz dari permainan Bubi Chen dengan akor-akor seluas-luasnya, bahkan dengan teknik super-impossion yang demikian modern.
Komentar Harry Roesli memang benar. Kolaborasi ini memang tak ingin mengharapkan hasil berupa janin musik baru, tapi sebuah dialog yang penuh toleransi. Bermain bersama tapi tidak saling mendominasi, apalagi mempengaruhi. Jika album ini diberi judul Kedamaian, bisa jadi ini merupakan metafora yang ingin diungkapkan Bubi. Meski berhadapan dengan perbedaan, toh siapa saja bisa mewujudkan kedamaian.
Filosofis, memang. Untunglah Bubi memilih jazz. Sebab, dengan improvisasi, jazz bisa menerobos dan menyusup ke zona estetik musik lain. Yang pantas dicatat adalah ketika Tony Scott, peniup klarinet Amerika yang mengajak grup jazz Indonesian All Stars, yang terdiri atas Bubi Chen (piano, kecapi), Maryono (vokal, flute, saksofon tenor), Benny Mustafa (drum), Jopie Chen (bas), dan Jack Lesmana (gitar), merekam album Djanger Bali (produksi Saba/MPS,1967) di Jerman.
Meskipun membawakan beberapa repertoar negeri kita seperti Burung Kakatua, Djanger Bali, Ilir-ilir, maupun Gambang Suling-nya Ki Nartosabdo, album yang mendapat tanggapan baik dari dunia jazz internasional ini sama sekali tidak memasukkan instrumen gamelan. Padahal ambience Bali dan Jawa menyusup dalam permainan mereka. Jack Lesmana, misalnya, cukup memanipulasi karakter gamelan melalui sentuhan permainan gitarnya. Begitu juga Bubi, yang melakukan hal serupa pada permainan pianonya. Terkecuali lagu Gambang Suling, yang mengetengahkan permainan kecapi Bubi. Uniknya, lagu karya George Gershwin, Summertime, dimainkan dengan treatment karawitan Sunda.
Kolaborasi lain yang pernah dilakukan Bubi adalah merekam album Bubi di Amerika (Hidayat Audio, 1984) bersama Albert "Tootie" Heath, pemain drum jazz yang pernah mendukung Herbie Hancock, Dexter Gordon, dan Yusef Lateef, serta pemain bas John Heard yang pernah mendukung The Count Basie Orchestra, Louie Bellson dan Oscar Peterson. Rekaman yang berlangsung di Pasadena, California, ini memainkan genre Be Bop dan Hard Bop karya Miles Davis hingga Sonny Rollins.
Ini bukan hanya babak yang tak pernah terlupakan bagi perjalanan musikal Bubi Chen, tapi juga merupakan entry tersendiri dalam sejarah musik jazz di Indonesia. Kolaborasi lintas bangsa itu masih terus dilakukannya, misalnya ketika merilis album Virtuoso, yang didukung pemusik jazz dari Australia, Singapura, dan Filipina.
Dari catatan-catatan di atas, tersirat bahwa Bubi Chen adalah seorang pemusik yang gemar berdialog. Berdialog dengan pemusik jazz antarbangsa, berdialog dengan pemusik beda generasi, hingga berdialog dengan jenis musik lain di luar jazz.
Siapa pun yang mengajaknya berdialog selalu dilayaninya, termasuk ketika Indra Lesmana menggamitnya untuk melakukan duet piano jazz di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 16 Februari 2005. Konser bertajuk The Art of Duo ini juga momen bersejarah bagi Bubi dan Indra karena 30 tahun silam di tempat yang sama mereka pun telah bermain bersama. Saat itu Bubi memangku Indra kecil, yang kakinya belum bisa menginjak pedal piano.
Dan sang Midas pun kembali menjentikkan jari-jemarinya di bilah-bilah tuts piano. Jadilah jazz, jazz, dan jazz.
Denny Sakrie, pengamat musik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo