Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik
PDIP

Berita Tempo Plus

Satu Partai, Dua Soekarno

Dua kakak beradik anak Soekarno, Mega dan Guruh, akan bersaing di Kongres Bali.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Satu Partai, Dua Soekarno
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HUJAN deras belum lama reda mengguyur Jakarta, suatu petang awal Februari lalu. Di ruang tamu rumah bercat putih di kawasan Jati Padang, Jakarta Selatan, Rachmawati dan Guruh, dua bersaudara anak mantan presiden Soekarno, bicara akrab. Dua cangkir teh hangat menemani mereka.

"Kamu serius ikut pencalonan itu?" tanya Rachma, sang tuan rumah, kepada adiknya. Yang dimaksud Rachma jelas, pencalonan sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, partai yang mulai 28 Maret nanti menyelenggarakan kongres di Bali.

Guruh mengangguk. "Aku didatangi banyak orang. Mereka minta aku ikutan maju. Sudah lama sih, tapi baru sekarang aku pikirin," jawab Guruh. Pemimpin grup musik dan tari Swara Mahardikka itu datang untuk minta pendapat Rachma.

Sang kakak memberi tips: yang penting PDI Perjuangan tetap di garis Soekarno. "Selama masih di garis Soekarno, saya oke-oke saja," kata Rachma. Guruh menuturkan pandangannya sekitar pembaruan di partai yang baru kalah dalam pemilu itu. Putra bungsu Soekarno itu menegaskan bahwa ia akan meneruskan ajaran bapaknya.

l l l

Guruh dan Mega, seingat Rachma, biasa berada dalam biduk politik yang sama sejak terjun ke dunia politik pada 1980-an. Rektor Universitas Bung Karno ini bercerita, selain Guntur yang tidak berpolitik, empat anak Soekarno dari Fatmawati punya jalan politik mereka sendiri. Rachma mendirikan Partai Pelopor. Sukmawati berjalan dengan PNI Marhaenis. Guruh dan Megawati bernaung di PDI Perjuangan.

Keluarga ini pernah punya konsensus untuk tidak terjun ke dunia politik. Konsensus yang dibuat pada 1978 itu akhirnya berantakan setelah satu persatu direkrut partai politik. Bahkan konflik tajam pernah pecah lantaran Rachma menentang Mega yang mengajak Guruh untuk bergabung di PDI. Puncak ketegangan terjadi pada 1983: Rachma bertemu Mega di Restoran Nippon Kan, Hotel Hilton Jakarta. Keduanya berdebat keras sebelum sepakat untuk bersimpang jalan.

Guruh memilih tetap bersama Mega di Partai Banteng. Putra bungsu Bung Karno ini mewarisi darah seni bapaknya. Selama 28 tahun mantan mahasiswa Arkeologi Universiteit van Amsterdam, Belanda, ini lebih banyak menggeluti seni dan tari. Dia membesarkan Swara Mahardikka, grup kesenian yang didirikannya pada 1977. Di sela-sela itu, ia menyempatkan diri bermain film.

Satu-satunya pengalaman politik Guruh adalah saat ia menjadi vote getter untuk PDI pada Pemilu 1987. Bersama Megawati, ia menyumbangkan perolehan suara yang tak sedikit bagi PDI sekaligus menguras banyak kursi Golkar, yang di masa itu memiliki Ketua Dewan Pembina bernama Soeharto. Guruh pun masuk parlemen.

Di Senayan, lelaki 52 tahun kelahiran Jakarta itu tak banyak "berbunyi". Namanya baru "nyaring" lagi tatkala beredar kabar bahwa dia ditawari jabatan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Kabarnya, karena tak enak hati dengan Megawati, yang dikalahkan SBY dalam pemilu, Guruh menolak.

Karier politik Guruh di mata politisi PDIP, Sukowaluyo, terkunci selama Mega masih memimpin partai. "Dia tak mungkin menjadi menteri di zaman Mega karena disangka nepotisme. Menjadi menteri SBY juga tak bisa karena tidak enak hati pada Mega," ujar Suko. Padahal, Guruh bisa saja diusung sebagai simbol pembaruan menyusul kekalahan PDI Perjuangan pada Pemilu 2004. Guruh dianggap bisa mengawinkan ide pembaruan yang dilansir sejumlah tokoh dengan kepemimpinan tradisional kharismatis yang menjadi warna PDI Perjuangan.

Suko tahu, posisi Megawati masih kuat. Itu sebabnya, dia menyorongkan model kepemimpinan transisional: gabungan tradisional-kharismatis dengan kepemimpinan modern. Caranya, merombak struktur kepengurusan, membaginya menjadi dua badan dalam Dewan Pimpinan Pusat, yaitu Dewan Pengarah dan Dewan Pengurus. "Megawati sebagai figur pemersatu diletakkan sebagai Ketua Dewan Pengarah; sedangkan Ketua Dewan Pengurus sudah saatnya diserahkan ke kader lain," ujar Suko.

Seandainya konsep itu diterima Kongres Bali, Guruh punya peluang menjadi Ketua Umum PDIP yang baru. Kalau itu terjadi, tak sia-sialah sejumlah kalangan muda yang mendeklarasikan pencalonannya di Gedung Joeang, Menteng, Jakarta, Januari silam. Sejumlah tokoh PNI yang ada di PDIP juga berdiri di belakang Guruh.

Masih ada barisan pendukung Guruh, yang sekaligus akan jadi pesaingnya di Bali. Mereka adalah Sophan Sophiaan, Arifin Panigoro, Roy B.B. Janis, Laksamana Sukardi, dan Kwik Kian Gie. Deretan tokoh terakhir ini mendeklarasikan Gerakan Pembaruan Partai di Hotel Sahid, Januari silam. Guruh waktu itu hadir di sana.

l l l

Soal terpenting bagi Guruh: bagaimana ia mengutarakan niatnya kepada Megawati yang akan disainginya? Pertanyaan ini mengganggu Rachma sore itu di Jati Padang.

"Kamu sudah ngomong dengan Mbak Mega soal ini?" tanya Rachma pada adiknya. Guruh mengangguk. "Beberapa kali," jawabnya singkat. Ia pernah menemui Mega sebelum putaran kedua pemilihan presiden. Guruh menceritakan sokongan banyak orang padanya untuk duduk sebagai ketua umum. Mega, menurut Guruh, menjawab singkat, "Ya, itu bagus. Kita lihat saja nanti."

Usai pemilu, sekali lagi Guruh menemui Mega, menyampaikan hal yang sama. Mega meminta adiknya turun ke bawah, mengecek aspirasi massa, dan menggalang dukungan. "Ini bukan partai kita. Semua harus sesuai dengan aspirasi bawah," ujar Guruh mengutip kakaknya.

Rachma kembali bertanya, "Setelah itu Mega bilang apa?" Guruh hanya angkat bahu. "Saya tahu Mega diam saja. Diam itu ada artinya," ujar Rachma kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Selain bicara dengan Rachma, Guruh sudah bicara dengan Sukma dan Guntur. Sukma setuju dan berjanji akan bicara dengan Mega. Guntur malah bertanya, apa yang terjadi di lingkungan internal PDI Perjuangan. "Tabiat kakak-kakak saya bermacam-macam," ujar Guruh pada Tempo.

l l l

Tekad Guruh untuk maju sudah bulat. Ia berkunjung ke sejumlah tokoh PDI Perjuangan, menawari mereka menjadi tim suksesnya. Ia juga turun ke basis-basis partai di berbagai daerah. Kadang kala, jadwal Guruh "bertabrakan"dengan Mega yang rupanya juga melakukan road show ke sejumlah daerah.

Sekali waktu, Taufiq Kiemas, suami Mega, bertanya, "Kok Guruh datang ke tempat yang Mega datangi, ya?" Guruh menampik ada kesengajaan mengatur kunjungan itu. "Saya tidak tahu kalau Mbak Mega juga datang ke situ," ujarnya.

Di Solo, kunjungan Guruh hanya berselisih sehari dengan pertemuan Megawati dengan kader-kader PDIP di Solo, Boyolali, dan Wonogiri. Guruh hanya disambut segelintir pengurus partai dalam pertemuan di sebuah rumah makan. Mega mendapat sambutan luas penduduk di kota itu.

Guruh, menurut salah satu peserta yang menyambutnya, menawari pengurus partai di empat kabupaten untuk bergabung dalam tim suksesnya. Lucunya, orang-orang yang ditawari Guruh sehari sebelumnya telah membacakan kebulatan tekad mendukung Mega. Bahkan utusan dari empat pengurus cabang Solo, Boyolali, Sragen, dan Wonogiri mengaku dibaiat agar tidak berkhianat dengan memilih selain Mega di Bali nanti.

Tim sukses Guruh—sebagian adalah kader yang berada di luar struktur partai—jelas, repot bergerak. Mereka berhadapan dengan tim Mega yang rupanya masih punya hasrat untuk maju. Malah angin berbalik menghantam Guruh. "Majunya Guruh adalah rekayasa pihak di luar pengurus pusat untuk menggembosi Megawati," kata L. Soepono, Wakil Koordinator Wilayah Jawa Timur PDI Perjuangan.

Pelan tapi pasti, dukungan untuk Guruh susut. Sembilan cabang di Bali yang semula getol mendukung dia, berbalik mengusung Mega. Dari 411 cabang PDI Perjuangan, 80 persen sudah menyelenggarakan konferensi cabang untuk menentukan pilihan cabang di Bali. "Mayoritas menyatakan memilih Megawati sebagai ketua umum," kata Pramono Anung, Wakil Sekjen PDIP. Di atas kertas, Mega akan menang besar walaupun ketua tim sukses Guruh, Imam Munjiat, menganggap kans Guruh tetap besar.

l l l

Cangkir teh di rumah Rachma itu sudah lama kosong. Guruh berdiri untuk pamit pulang. Hujan sudah lama berhenti, meninggalkan udara dingin. Di pintu luar, Rachma berpesan singkat, "Hati-hati ya…."

Guruh mengangguk. Ia mungkin bisa menangkap keragu-raguan kakaknya tentang kansnya untuk menang dalam pertarungan di Bali. Guruh pun berujar, "Ini pelajaran demokrasi bagi saya. Semua tergantung peserta kongres; semua sudah diatur Tuhan. Saya melakoni saja. Kalau dukungan untuk saya besar, Mbak Mega akan legowo," katanya pada Rahma. Sang kakak hanya mengangguk.

Guruh melangkah keluar. Angin dingin menerpanya. Cepat-cepat ia mengencangkan jaket, lalu masuk ke mobil. Percayakah Anda bahwa dia akan datang lagi ke rumah bernomor 54 itu sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan yang baru?

Widiarsi Agustina, Muhammad Nafi, Imron Rosyid (Solo), Rofiqi Hassan, dan Raden Rachmadi (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus