SIDDHARTHA Oleh: Herman Hesse Penerjemah: Asbari Nrpatria Krisna Penerbit: Grafitipers, Jakarta, 1987, 111 halaman HERMAN Hesse (1877-1962), pemenang Hadiah Nobel untuk kesusastraan tahun 1946, adalah seorang sastrawan berbahasa Jerman yang hidupnya mencerminkan perkembangan -- kalau tidak boleh disebut pertualangan -- jiwa yang seperti cerita rekaan. Sejak remaja ia mengalami krisis kejiwaan yang menyebabkannya meninggalkan lingkungan kehidupan kependetaan yang melahirkannya. Di awal hidupnya yang repot dengan persoalan kejiwaan itu, Hermann Hesse pernah mencoba bunuh diri dan dikeluarkan dari sekolah menengahnya. Barangkali karena keadaan itulah ia kemudian menaruh perhatian sungguh-sungguh terhadap psikologi, terutama karya-karya Freud. Perhatiannya tersebut sempat berpengaruh positif terhadap beberapa karyanya. Siddhartha, yang ditulisnya di awal tahun 1920-an, sedikit banyak mencerminkan pergolakan kejiwaan Hermann Hesse. Ia pernah mengunjungi negeri-negeri Timur sebelum Perang, tetapi perhatlannya yang sungguh-sungguh baru muncul pada tahun 1920-an. Salah satu bukti perhatiannya itu adalah novel Siddhartha ini, novel yang menggambarkan perkembangan kejiwaan seorang muda, Siddhartha, dalam mencari jawaban bagi berbagai pertanyaan mengenai peran dan kedudukan manusia di dunia ini. Novel pendek ini dibagi menjadi dua bagian, yang masing-masing dibagi lain menjadi beberapa bab. Bab-bab dan bagian-bagian itu disusun berdasarkan perkembangan kronologis dan kejiwaan tokoh utamanya, Siddhartha. Bagian satu menjelaskan latar kehidupan dan asal-usul Siddhartha. Ia seorang anak brahmana. Lelaki rupawan ini sejak kecil dibesarkan bersama temannya, Govinda. Siddhartha bergaul dengan kalangan berilmu, ia anak muda yang cerdas dan telah mencapai pusat perhatian lingkungannya. Ia menjadi idaman setiap orang yang mengenalnya. Boleh dikatakan, setiap orang "ingin mengikutinya sebagai teman, kawan seiring, abdinya, pembawa tombaknya, menjadi bayangannya." Dalam keadaan semacam itu, ternyata, Siddhartha sendiri tidak merasa bahagia. Ia mencurigai lingkungannya. Anak muda yang kehausannya tak pernah terpuaskan itu mulai melakukan "petualangan" untuk mengisi jiwanya yang tidak pernah penuh oleh segala ajaran kebaikan yang diterimanya dari ayah, ibu, sahabat, dan gurunya. Siddhartha merasa, ia harus meninggalkan lingkungannya, dan dengan sangat berat akhirnya ayahnya, sang brahmin, mengizinkannya meninggalkan rumah untuk berkelana sebagai samana, pertapa yang menyusup ke hutan-hutan dan tempat-tempat sepi untuk mengetahui inti kehidupan ini. Bersama-sama para samana, Siddhartha melatih dirinya: membunuh rasa, membunuh ingatan, mengubah pengalaman dirinya menjadi binatang, batu, kayu, air, dan segenap isi dunia ini. Dia unggul, tetapi tetap saja tidak merasa puas. Ia mendengar tentang Buddha, dan ia ingin sekali bertemu dengan Yang Mahasempurna itu. Ia berhasil menemui Gotama Buddha, tetapi ia malah merasa telah dirampas habishabisan oleh Orang Suci itu kehidupan masa lalunya sama sekali terpisah darinya, dan kini Siddhartha menyadari bahwa ia tidak akan lagi beryoga atau bertapa atau berguru. Ia akan berguru kepada dirinya sendiri tentang rahasia dirinya sendiri. Ia kini merasa sendirian, putus asa, tapi sekaligus lebih kuat dibandingkan sebe lumnya. Ia tak mau lagi menoleh ke belakang. Itulah akhir Bagian Satu, bab "Kesadaran". Di Bagian Dua, Siddhartha, berguru kepada dirinya sendiri mengenai segala segi kehidupan duniawi. Mula-mula ia bertemu dengan Kamala, seorang wanita yang sangat cantik dan amat cerdas. Dari wanita itu Siddhartha mendapat pengetahuan yang tak ternilai tentang hubungan pria-wanita. Ditengah-tengah hubungannya dengan Kamala, wanita penghibur itu, Siddhartha terjun ke dunia bisnis. Kehidupannya waktu itu merupakan kontras: tubuhnya mengenyam kenikmatan duniawi seperti kekayaan, seks, dan kekuasaan, tetapi jauh di dalam jiwanya ia tetap seorang samana. Dengan demikian, oleh masyarakat barunya itu, Siddhartha tetap dianggap "asing" sedangkan ia sendiri juga merasakan keasingan itu di tengah-tengah mereka. Akhirnya, Siddhartha memutuskan untuk melepaskan kehidupan duniawinya itu. Ia meninggalkan Kamala, bisnis, kekayaan, dan kekuasaan -- ia masuk hutan kembali, dan menyadari bahwa ia tak akan bisa kembali ke kehidupan duniawinya lagi. Di hutan, ia bertemu kembali dengan Govinda yang terpisah darinya sejak ia meninggalkan kehidupannya sebagai samana. Sejak itu, Siddhartha memulai lagi petualangan rohaninya hingga ia mencapai taraf yang sama dengan Gotama Buddha Yang Mahasempurna. Bab terakhir novel ini, "Govinda", menggambarkan pencapaian Siddhartha tersebut. Dalam pertemuan dengan Siddhartha, Govinda berkesempatan mencium jidat Siddhartha, dan pada waktu itu: Dia tidak lagi melihat wajah temannya, Siddhartha. Sebaliknya, dia melihat muka-muka lain, banyak qajah, suatu rangkaian panjang, suatu aliran muka terus-menerus -- ratusan, ribuan, kesemuanya datang dan hilang dan agaknya semuanya berada disana pada saat yang sama, semua dan semuanya adalah Siddhartha. Dia melihat gajah ikan, ikan gurami, yang mulutnya terasa sakit karena terbuka lebar-lebar, seekor ikan yang sekarat dengan mata redup. Dia melihat wajah bayi yang baru saja lahir, merah dan penuh dengan kerut-merut, siap untuk menangis. Dia melihat seorang pembunuh, yang menancapkan pisau ke tubuh seorang lelaki: pada saat yang sama dia melihat penjahat ini berlutut dan kepalanya dipenggal oleh algojo. Kutipan ini menggambarkan pencapaian Siddhartha dan sekaligus menunjukkan gaya penulisan novel ini. Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam cerita rekaan ini sebenarnya sederhana sekali. Alur itu dipergunakan Hermann Hesse untuk menyangkutkan serangkaian pemikiran filsafat yang dipelajarinya ketika ia berkenalan dengan kebudayaan India yang kaya itu. Dengan demikian, sebenarnya novel ini lebih merupakan rangkaian perenungan mengenai hakikat hidup daripada rangkaian peristiwa. Perkembangan perenungan itulah yang menjadi inti novel ini, yang diwujudkan dalam tokoh Siddhartha. Kisah dan renungan dalam novel Hermann Hesse ini bagi puluhan juta orang Timur tidak sekadar merupakan rekaan, tetapi keyakinan, agama. Hermann Hesse, pengarang Swiss, "mengubah"-nya menjadi cerita rekaan -- dan tentunya diterima sebagai cerita rekaan juga oleh pembacanya, di Barat. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Timur, antara lain bahasa Indonesia, sifat rekaannya tentu boleh menjadi masalah. Ajaran Buddhakah yang menjiwai Siddhartha ini? Atau Buddha yang sudah dibaratkan? Bagaimanapun, novel Hermann Hesse ini adalah sebuah cerita rekaan, dan karenanya harus diterima sebagai cerita rekaan. Siddhartha, Govinda, Kamala, dan semua unsur yang mendukung novel ini merupakan serangkaian simbol yang mungkin bisa membantu kita melonggarkan kekusutan pikiran, atau mendorong kita mengusut pertanyaan-pertanyaan baru yang bisa saja malah menyangsikan peranan kita di dunia. Supardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini