IMASTASIA Datu berusia 12 tahun. Ia ingin sekali jadi penyanyi. Gadis indo nan rancak ini lantas mendendangkan lagu pop Gubuk Derita yang berlarik "Gubuk reyot, gubuk derita ...." Hk, hk, Imastasia tersedak. Ia menangis. Matanya basah. Lagu itu dirasakannya sangat mengharukan hatinya. Teman-temannya terdiam. Demikian adegan di sebuah kelas sekolah olah vokal Triple M (Machank's Music Mill) Kamis sore pekan silam. Hari itu sedang berlangsung kelas aksi panggung (stage act). Imastasia membawakan lagu itu untuk mengukur kemampuannya tampil di panggung. Dan akan profesional atau tidak, itu disesuaikan dengan penyelenggaraan pendidikannya, untuk menelurkan penyanyi dengan sikap yang dimaksud begitu. Sedangkan aksi panggung, yang hari itu diajarkan oleh Restu Imansari Kusumaningrum (pcnari senior dalam grup Swara Mahardhika) hanya baru satu dari beberapa mata pelajaran yang diajarkan. Penyanyi profesional mesti memahami geraknya, misalnya kenapa menelengkan kepala, apa maksud membuang senyum. "Setiap gerak harus diketahui persis dan alasannya," kata Restu, 23 tahun. Pengalaman si pengajar antara lain menyertai Yopie Latul ke festival pop internasional di Tokyo. Konon, ada penyanyi yang potensial sebagai rocker, namun ia sering melakukan gerak yang tak jelas juntrungannya. Ini satu contoh betapa penyanyi kita masih suka kedodoran dalam aksi panggung. Bahkan banyak penyanyi pop yang tidak memiliki vokal asli. Mereka top dengan nama masing-masing, walau warna suaranya sama. Mereka belajar menyanyi dari kaset dan di rekaman ada mesin untuk memanipulasi suara mereka, karena itu bisa bagus dan menunjang wajah -- sebagai komoditi yang ditawarkan produser. "Padahal, yang keluar adalah suara imitasi," kata Catharina Wiriadinata Leimena, pengajar teori dan teknik vokal di Triple M. Menurut dia, sekolah vokal itu harus membantu siswanya menemukan suara aslinya. Dan itulah yang dilakukan setiap ia mengajar. Catharina lulusan (1965) Konservatorium Giuseppe Verdi Milano, Italia. Ia juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik Jakarta. Sejak Januari lalu ia mendirikan dan memimpin pula Pusat Pendidikan dan Pengembangan Musik Vokal (PPIMV) yang bernaung di Yayasan Dr. Johannes Leimena, Bandung, dengan disahkan pihak Kantor P & K setempat. Triple M didirikan oleh Chandra Darusman, Omen, Oddy Agam, dan kawan-kawan, April lampau, dengan investasi Rp 500 juta dari Dr. John Riupassa. Para musikus ini prihatin atas kebanyakan penyanyi yang sekadar jual tampang, tapi tak profesional. Pelajaran di Triple M diupayakan komplet: teori musik dikoordinasikan Amir Katamsi dari Orkes Simfoni Jakarta, dan aksi panggung dikoordinasikan Guruh Soekarno Putra. Muridnya kini 75 orang. Mereka masing-masing diwajibkan membayar Rp 200 ribu untuk masa belajar empat bulan. Konon, para murid itu akan bertambah lagi dengan beberapa penyanyi yang sudah punya nama. Misalnya Atick C.B., Irianti Erningpradja, Yayuk Suseno. Sherly Malinton, dan Ikang Fawzie yang sudah membaptis diri sebagai rockcr. "Saya ini bintang, bukan maestro. Seorang bintang harus terus-menerus belajar," begitu Ikang beralasan masuk Triple M. Ia sudah menyerahkan formulir pendaftaran. Menurut Titiek Puspa, positif. Di sini yang butuh sekolah semacam itu banyak. "Saya ingin pemerintah mendirikan sekolah musik yang baik. Sekolah Oddy Agam dan kawan-kawannya itu bagus sebagai batu loncatan. Mudah-mudahan, pelajarannya dimengerti dan dibutuhkan," katanya. Gito Rollies juga punya pendapat. "Kalau benar mereka tidak mengarahkan dan membentuk penyanyi sesuai dengan pola mereka, saya setuju. Sebab, tiap penyanyi harus memiliki kepribadian," katanya. Gito tak perlu risau. Irwan Indrakesuma, manajer di Triple M, mengatakan, pengajaran teori dan teknik vokalnya memang diarahkan pada penelusuran atau pencarian warna suara asli dari tiap-tiap siswa. Triple M -- bermarkas di wilayah bursa mobil Jalan Juanda III, Jakarta dan PPPMV memang saling melengkapi, meski PPPMV di Jalan Dipati Ukur Bandung, persis di belakang rumah pribadi Catharina Leimena. Semangatnya sama: ingin melahirkan penyanyi dengan vokal asli pribadinya. Bedanya, di Triple M tak bersyarat pendidikan minimal untuk calon siswa, tetapi masuk ke PPPMV minimal harus eks SMTP dan SMTA -- plus menjalani tes penempatan kelas. Di PPPMV ada 36 siswa, terdiri atas guru, ibu rumah tangga, mahasiswa, bahkan yang telah jadi guru musik. PPPMV mengakar sejak 1967, ketika Catharina membentuk Sanggar Susvara yang sampai sekarang tetap jadi workshop para siswanya. Kendati dalam kurikulum PPPMV (60% praktek dan 40% teori) tidak ada pelajaran aksi panggung, menurut Catharina, siswanya mendapat itu di sanggar tadi. Susvara malah sempat bekerja sama dengan Suyatna Anirun, sutradara Studi Klub Teater Bandung (STB). Laporan Bachtiar Abdullah (Jakarta) & Sigit Haryoto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini