Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan Guna-Guna

Pameran poster film jerman di TIM. Poster-poster tersebut menampilkan dengan tepat isi film yang bersangkutan, lebih ekspresif. Jadi bahan perbandingan bagi poster film indonesia.(sn)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

54 buan poster film Jerman yang dipamerkan di Ruang Pameran TIM 9-14 Januari ini, memang berbeda dengan poster-poster film kita. Barang-barang itu bukan saja tak hendak menjolok mata, tetapi juga menampilkan dengan tepat isi film yang bersangkutan. Dengan muda kita menangkap apakah film tersebut sebuah komedi, tragedi, melodrama atau film anak-anak. Nafas utamanya cepat terasa, tanpa ada usaha untuk menjual bintang-bintang pendukungnya. Kadangkala memang ada juga tulisan besar untuk nama Hitchcock, Ingemar Bergman, Humphrey Bogard dan sebagainya, tetapi itu lebih menyerupai bagian dari komposisi daripada penonjolan. Warna-warna yang dipergunakan juga agak terbatas, seakan faktor seleksi dan efisiensi merupakan ciri yang sangat penting. Ada 4 kelompok poster yang dikerjakan oleh Hans Hilmann (lahir 1925), Hans Michel (1920), Hans Michel & Gunther Kieser (1930), Isolde Monson-Baugart (1935), Margit (1944) & Peter Sickert (1941). Hampir semuanya mempunyai naa yang sama. Ada usaha untuk menangkap secara cerdik inti masalah, lalu melontarkannya setepat mungkin, dengan berbagai cara. Seringkali gambar-gambar dalam poster itu menjadi surealis, kadangkala naif, seringkali menjadi karikatural. Kemajuan dalam fotografi agaknya menunjang jua perkembangan kemungkinan poster-poster ini. Banyak antaranya yang merupakan media untuk mencari sesuatu yang unik, sesuatu yang khas -- seakan-akan sudah melampaui kejenuhan pada poster-poster salon yang spektakuler dan ramai. Kereta Bawah Tanah Kesederhanaan, ketrampilan, pengamatan dan pemilihan yang tepat adalah sebagian dari pujian yang bisa diberikan kepada karya-karya tersebut -- faktorfaktor yang membuatnya menjadi menarik tanpa disertai oleh pemaksaan untuk menonton film yang diposterkan. Ini dengan jelas melantunkan kesan dari suatu pemasaran film yang sudah berjalan lancar, di mana poster tidak lagi bertugas memikat, menjebak, menipu dengan muslihat agar orang-orang yang lewat di jalan tertarik untuk membeli karcis. Tetapi lebih mengesankan satu bagian dari kehidupan di mana film sudah merupakan kebutuhan. Tentu saja faktor-bersenyawanya poster dengan materi film seakan-akan sudah merupakan etik. Tak kurang pentingnya disebut, corak poster itu melantunkan juga perhitungan pada lingkungan di mana poster itu akan dipajang. Ada semacam disiplin, sesuatu yang teratur dan rapi yang terbayang di sekitar poster. Barangkali dia akan ditempelkan di tembok kereta bawah tanah, di dinding-dinding terowongan, di papan pajangan, dalam etalase serta tempat-tempat lain, yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, yang agaknya khas mancanegara. Tempat-tempat itu memang berbeda sekali dengan lingkungan kita yang akan ditempeli poster-poster pribumi, sehingga memang jelas sekali adanya keharusan perbedaan dalam memilih materi. Ditempatkan dalam lingkungan kita, misalnya, poster-poster asing tersebut akan lebih menyerupai barang pajangan daripada pemberitahuan akan adanya sebuah tontonan. Polanya hampir menyerupai pola kulit buku pada masa ini. Meski demikian, ada juga gunanya mengambil manfaat dari poster-poster ini untuk mempropagandakan film nasional. Paling tidak poster film tidak hanya akan merupakan kegiatan publikasi yang kering, tetapi benar-benar bagian dari senilukis. Pop Art Salah sebuah poster dari Hans Hillmann untuk film Storm Over Asia, sebuah film karya Pudowkins, menarik sekali karena kesederhanaannya. Hanya dengan hitam putih, dilukiskan di latar depan sebuah kaki kuda yang sedang berlari, dengan sepatu penunggangnya yang tergantung. Sementara kelihatan seorang penunggang kuda yang lain berpacu di kejauhan, dilukis tepat di samping telapak kaki kuda yang pertama. Tanpa mencantumkan kata-kata: "seram, hebat, penuh aksi, menggondol sekian hadiah" dan sebagainya, poster ini langsung mencuri perhatian dan menyebabkan kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di sini gambar melebihi kata-kata, meskipun kata-kata juga tak kalah fungsinya. Hans Hillmann tampaknya pembuat poster yang paling menonjol dalam pameran ini. Karya-karyanya yang berjumlah 24 buah mempunyai corak bermacam-macam. Tetapi yang paling menarik perhatian adalah kesederhanaan dan kecerdikannya untuk menangkap inti. Margrit dan Peter Sickert, yang hanya memamerkan 6 buah poster, pantas disebut juga karena usia mereka yang muda. Pengaruh "pop art" jelas terasa dalam poster Adieu, Manhattan yang penuh dengan potret yang sama dari sebuah wajah yang hanya berbeda negatif dan positifnya. Karya-karya mereka lebih banyak menopangkan diri pada fotografi. Barangkali dalam perkembangan lebih lanjut memang ada kesan poster lebih cenderung menjadi bagian dunia fotografi daripada senilukis. Ini mungkin bukan soal yang perlu dibicarakan, sebab dalam perkembangan kesenian masa ini segala bentuk semakin bercampur baur. Sulit membedakan apakah dia memang murni seni atau lebih merupakan karya teknologi. Sebagaimana juga batik yang masih dibicarakan apakah merupakan bagian senilukis atau kerajinan. Untuk perkembangan poster film pribumi, mungkin poster-poster tersebut hanya baik sebagai perbandingan. Masaalah yang digarap oleh film-film kita, publik film kita serta lingkungan poster film kita, memang berbeda. Memaksakan hal tersebut bisa membuat poster malah menjauhkan film dari pembeli karcis. Poster bagi kita masih merupakan guna-guna, sementara kedudukan poster-poster Jerman itu sudah merupakan ekspresi. Putu wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus