54 buan poster film Jerman yang dipamerkan di Ruang Pameran TIM
9-14 Januari ini, memang berbeda dengan poster-poster film kita.
Barang-barang itu bukan saja tak hendak menjolok mata, tetapi
juga menampilkan dengan tepat isi film yang bersangkutan. Dengan
muda kita menangkap apakah film tersebut sebuah komedi, tragedi,
melodrama atau film anak-anak. Nafas utamanya cepat terasa,
tanpa ada usaha untuk menjual bintang-bintang pendukungnya.
Kadangkala memang ada juga tulisan besar untuk nama Hitchcock,
Ingemar Bergman, Humphrey Bogard dan sebagainya, tetapi itu
lebih menyerupai bagian dari komposisi daripada penonjolan.
Warna-warna yang dipergunakan juga agak terbatas, seakan faktor
seleksi dan efisiensi merupakan ciri yang sangat penting.
Ada 4 kelompok poster yang dikerjakan oleh Hans Hilmann (lahir
1925), Hans Michel (1920), Hans Michel & Gunther Kieser (1930),
Isolde Monson-Baugart (1935), Margit (1944) & Peter Sickert
(1941). Hampir semuanya mempunyai naa yang sama. Ada usaha
untuk menangkap secara cerdik inti masalah, lalu melontarkannya
setepat mungkin, dengan berbagai cara.
Seringkali gambar-gambar dalam poster itu menjadi surealis,
kadangkala naif, seringkali menjadi karikatural. Kemajuan dalam
fotografi agaknya menunjang jua perkembangan kemungkinan
poster-poster ini. Banyak antaranya yang merupakan media untuk
mencari sesuatu yang unik, sesuatu yang khas -- seakan-akan
sudah melampaui kejenuhan pada poster-poster salon yang
spektakuler dan ramai.
Kereta Bawah Tanah
Kesederhanaan, ketrampilan, pengamatan dan pemilihan yang tepat
adalah sebagian dari pujian yang bisa diberikan kepada
karya-karya tersebut -- faktorfaktor yang membuatnya menjadi
menarik tanpa disertai oleh pemaksaan untuk menonton film yang
diposterkan. Ini dengan jelas melantunkan kesan dari suatu
pemasaran film yang sudah berjalan lancar, di mana poster tidak
lagi bertugas memikat, menjebak, menipu dengan muslihat agar
orang-orang yang lewat di jalan tertarik untuk membeli karcis.
Tetapi lebih mengesankan satu bagian dari kehidupan di mana film
sudah merupakan kebutuhan. Tentu saja faktor-bersenyawanya
poster dengan materi film seakan-akan sudah merupakan etik.
Tak kurang pentingnya disebut, corak poster itu melantunkan juga
perhitungan pada lingkungan di mana poster itu akan dipajang.
Ada semacam disiplin, sesuatu yang teratur dan rapi yang
terbayang di sekitar poster. Barangkali dia akan ditempelkan di
tembok kereta bawah tanah, di dinding-dinding terowongan, di
papan pajangan, dalam etalase serta tempat-tempat lain, yang
sudah dipersiapkan terlebih dahulu, yang agaknya khas
mancanegara. Tempat-tempat itu memang berbeda sekali dengan
lingkungan kita yang akan ditempeli poster-poster pribumi,
sehingga memang jelas sekali adanya keharusan perbedaan dalam
memilih materi. Ditempatkan dalam lingkungan kita, misalnya,
poster-poster asing tersebut akan lebih menyerupai barang
pajangan daripada pemberitahuan akan adanya sebuah tontonan.
Polanya hampir menyerupai pola kulit buku pada masa ini. Meski
demikian, ada juga gunanya mengambil manfaat dari poster-poster
ini untuk mempropagandakan film nasional. Paling tidak poster
film tidak hanya akan merupakan kegiatan publikasi yang kering,
tetapi benar-benar bagian dari senilukis.
Pop Art
Salah sebuah poster dari Hans Hillmann untuk film Storm Over
Asia, sebuah film karya Pudowkins, menarik sekali karena
kesederhanaannya. Hanya dengan hitam putih, dilukiskan di latar
depan sebuah kaki kuda yang sedang berlari, dengan sepatu
penunggangnya yang tergantung. Sementara kelihatan seorang
penunggang kuda yang lain berpacu di kejauhan, dilukis tepat di
samping telapak kaki kuda yang pertama. Tanpa mencantumkan
kata-kata: "seram, hebat, penuh aksi, menggondol sekian hadiah"
dan sebagainya, poster ini langsung mencuri perhatian dan
menyebabkan kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di sini
gambar melebihi kata-kata, meskipun kata-kata juga tak kalah
fungsinya. Hans Hillmann tampaknya pembuat poster yang paling
menonjol dalam pameran ini. Karya-karyanya yang berjumlah 24
buah mempunyai corak bermacam-macam. Tetapi yang paling menarik
perhatian adalah kesederhanaan dan kecerdikannya untuk menangkap
inti.
Margrit dan Peter Sickert, yang hanya memamerkan 6 buah poster,
pantas disebut juga karena usia mereka yang muda. Pengaruh "pop
art" jelas terasa dalam poster Adieu, Manhattan yang penuh
dengan potret yang sama dari sebuah wajah yang hanya berbeda
negatif dan positifnya. Karya-karya mereka lebih banyak
menopangkan diri pada fotografi. Barangkali dalam perkembangan
lebih lanjut memang ada kesan poster lebih cenderung menjadi
bagian dunia fotografi daripada senilukis. Ini mungkin bukan
soal yang perlu dibicarakan, sebab dalam perkembangan kesenian
masa ini segala bentuk semakin bercampur baur. Sulit membedakan
apakah dia memang murni seni atau lebih merupakan karya
teknologi. Sebagaimana juga batik yang masih dibicarakan apakah
merupakan bagian senilukis atau kerajinan.
Untuk perkembangan poster film pribumi, mungkin poster-poster
tersebut hanya baik sebagai perbandingan. Masaalah yang digarap
oleh film-film kita, publik film kita serta lingkungan poster
film kita, memang berbeda. Memaksakan hal tersebut bisa membuat
poster malah menjauhkan film dari pembeli karcis. Poster bagi
kita masih merupakan guna-guna, sementara kedudukan
poster-poster Jerman itu sudah merupakan ekspresi.
Putu wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini