Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan Kolaborasi, tapi Regenerasi

Lembaga Kebudayaan Bali Saraswati menampilkan generasi awal hingga terakhir. Angkatan mudanya siap menggantikan para sesepuh.

14 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUPUR dan gincu tak bisa menyembunyikan kerutan di wajah 13 perempuan itu, menandai usia yang separuh abad lebih. Lemak yang mengumpul di pipi, leher, dan juga perut semakin menyatakan: mereka tak lagi muda.

Tapi mereka cuek. Baju hijau muda lengan panjang, selendang kuning cerah, dan kain batik merah sebagai bawahan membalut tubuh. Sanggul besar dengan tusuk konde kuningan berhias bunga kemboja menjadi mahkota. Bergaya perempuan Bali, mereka menarikan Puspanjali, membuka Pagelaran Lintas Generasi 42 Tahun Lembaga Kesenian Bali Saraswati di Gedung Kesenian Jakarta, Ahad dua pekan lalu.

Merekalah generasi awal Saraswati, angkatan 1968. Sebagian di antaranya adalah Ratna Riantiarno, Jusri Fathma Hakim, Ietje Komar, Rosmayasuti Tutupoly, Deetje Nasution, Lily Asikin, dan Carla Subijakto. Mereka unjuk kebolehan sekitar tujuh menit. Gerak gemulai nan ritmis pun berpadu dengan keriuhan lembut suara gamelan Asmaradhana. Rangkaian gerak miles atau kaki berjungkit, lentik (jari tangan bergerak), nyeledet (mata melirik), hingga ngambil kancut (menarik ujung kain) ditampilkan dengan luwes.

Memang tak sepenuhnya kompak. Tapi tarian menyambut tamu itu menjadi awal yang memperlihatkan semangat meluap dari para nenek untuk bergelut dengan rangkaian gerakan tubuh. ”Mereka latihan setiap Selasa sejak November tahun lalu,” kata Ketua sekaligus Direktur Artistik Saraswati, I Gusti Kompiang Raka.

Malam itu bukan hanya milik kaum sepuh. Sebanyak 60-an penari muda ikut memamerkan hasil pendidikan tari Saraswati. Mereka bahkan berlatih lebih lama, sebulan sebelum para seniornya mulai berlatih.

Beda 40-an tahun dengan para senior, delapan penari belia memperagakan Kidang Kencana, gambaran sekelompok kijang emas. Yang terkecil, Adinda Marisya, baru tumbuh satu meter lebih sedikit. Tapi tari yang dimainkan dengan tempo cepat dan penuh gerakan dinamis ini tak ubahnya permainan untuk mereka.

Berbalut kostum kuning keemasan, mereka bergerak sangat lincah. Tak terlihat kesulitan saat melompat, memutar tubuh, angsel, atau mengangkat sebelah kaki setinggi lutut, yang dilanjutkan dengan gerakan bersemangat lain—tentunya sulit dilakukan angkatan 1968. Dalam setiap gerakan mereka, keindahan tarian masih sangat terasa. Sungguh menggemaskan, menghibur, dan memberikan kesegaran meski ditempatkan menjelang acara berakhir.

Berkemben emas, para remaja Saraswati dengan anggun menarikan Rebong Puspa Mekar, ciptaan Guruh Soekarno Putra. Perangkat dupa di atas kepala dan piring sesajen dari janur muda di satu tangan bukan halangan. Mereka melenggokkan tubuh dengan sangat lembut, mengibaskan selendang kuning dengan kaki, sambil jari-jari tangan yang bebas berputar pelan, lalu melayangkan bunga ke langit. Lukisan perempuan lembut, ayu, dan manis di antara semerbak bunga.

Empat perempuan muda lain menyuguhkan Trunajaya, tarian asal Buleleng yang merefleksikan pemuda akil balig banyak polah. Gerakan emosional nan cepat bercampur kelembutan ditunjukkan melalui kipas yang dibuka-tutup. Sayang, masih terlihat keraguan dan ketidakserasian jarak di antara empat penari ini.

Tari ciptaan Guruh lainnya, Zapin Indonesia Ria, juga menampilkan gerakan energetik yang kaya akan unsur budaya. Lima lelaki dan empat perempuan muda menunjukkan campuran berbagai tarian negeri ini ataupun tarian negara lain. Jadilah tari saman berbaur dengan jaipong, joget dangdut, tari kontemporer, juga Russian dance yang penuh tendangan. Mengalir dengan ramai, bukan asal tempel.

Pada tari ini terlihat kecemerlangan kolaborasi koreografi Guruh dengan musik Kompiang Raka. Keriuhan gangsel, reong, jegokan, jublag, dan beduk gamelan bersentuhan dengan tabuhan perkusi marawis. Luar biasa riuh, tapi kerumitannya mampu menggembirakan kuping. ”Saya punya tali batin dengan Kompiang. Saya mencipta, dia melengkapi,” kata Guruh.

Sendratari Ramayana yang diisi kaum muda gemblengan Saraswati menjadi penutup pergelaran. Dialog tari Rama dengan Sita serta Lesmana ditampilkan dengan lamban tapi berwibawa. Penculikan Sita oleh Rahwana yang diikuti perkelahian dengan Jatayu terlihat cepat, beringas, dan emosional. Semua didukung layar proyektor yang menggambarkan hutan Dandaka dan langit penuh awan. Cukup menarik meski ditinggal sejumlah penonton karena durasi yang panjang.

Kekurangan lainnya: belum terlihat kolaborasi angkatan pendahulu dengan yang muda. Tapi Saraswati tak hanya menunjukkan keindahan gerak tubuh. Bukan kolaborasi, melainkan keberhasilan proses regenerasi dari angkatan pendahulu ke bocah dan remaja yang penuh stamina. Para pengganti yang akan tampil di pentas emas Saraswati.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus