Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bukan malin kundang dari bali

Pengarang : putu setia jakarta : pustaka grafitipers, 1986 resensi oleh : sanento yuliman.

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGGUGAT BALI Oleh: Putu Setia Penerbit: PT Pustaka Grafitipers, Jakarta 1986, 240 halaman MENGGUGAT Bali. Inikah hujatan sepanjang 240 halaman seorang Malin Kundang terhadap ibunya? Beh, bukan. Putu Setia bukannya putus setia. "Semangat untuk menggugat Bali ini," ia menegaskan, "semestinya dimiliki setiap orang yang mencintai Bali." Bukan semata-mata karena cinta Putu menulis buku ini. Sembilan tahun tinggal di seberang selat menyebabkannya melit bertanya-tanya yang terjadi di pulau kelahirannya. Lagi pula, ia ingin meluruskan citra orang tentang pulaunya. Soalnya, banyak orang mengunjungi Bali sambil mengantungi R. Gorris, Vicki Baum, Jane Belo, Miguel Covarrubias, Margaret Mead, Colin McPhee, dan lain-lain. Mereka berharap menjumpai Bali sediakala -- "dongeng masa silam" menurut istilah Putu. Di samping itu, ikut pula mengusik perasaan penulis ini bahwa para penulis Indonesia yang setelah selintas melongok kian-kemari mengira sudah mengenal betul Bali lalu bicara semaunya. Citra Bali terpiuh oleh sanjung puji di kanan dan caci maki di kiri. Nah, itu semua mendorong Putu untuk pulang melihat-lihat, "dibekali semangat untuk mencari perbandingan dengan masa lampau." Menjadi turis di kampung halaman sendiri, ia cermat menyimak, teliti mengamati. Catatan lama dibuka-buka. Lalu, ditanaknya semua berasnya. Hasilnya, mirip primbon berisi serba-serbi Bali, campuran laporan wartawan, otobiografi, serta lukisan penuh warna, bunyi, bahkan bau-bauan seperti dalam novel atau cerita pendek. Jangan bingung menghadapi limpah ruah informasi beserta segala bumbunya. Menu yang disodorkan Putu kepada kita dapat dibenahi di bawah 3 rubrik. Ia menyajikan tata waktu Bali dan hubungannya dengan kegiatan ngaben, perleakan, perjudian (terutama sabung ayam), dan praktek agama Hindu. Jadi, sejumlah peri laku. Ia menyodori kita sketsa tentang beberapa submasyarakat atau subkebudayaan: Kuta, Trunyan, Tenganan Pegringsingan, pesantren Hindu, dan masyarakat Candi Dasa, masyarakat Muslim Pegayaman dan masyarakat Kristen di Dalung. Dan Putu bertutur tentang seni, tentu saja: arsitektur, ukiran dan patung, lukisan, arja, drama gong, sastra, dan nyanyian pop. Mengikuti Putu dari halaman ke halaman seperti mengunjungi teater dan melongok kesibukan di belakang panggung. Tidak sedikit turis yang melawat ke Bali pada akhir atau awal tahun pulang membawa penanggalan rancangan I Ketut Bangbang Gde Rawi. Bersama Putu kita dibawa menemui Gde Rawi itu sendiri, diajari tata waktu Bali, bahkan diajak melihat latar belakang sosial penanggalan itu. Tidak sekadar menonton keramaian adu jago (sembunyi-sembunyi), tapi juga mempelajari tata cara sabungan dan taruhannya, bahkan klasifikasi jago menurut tradisi Bali. Lagi pula, Putu menempatkan ihwal yang dibicarakannya dalam perspektif sejarah. Dimensi ke belakang tidak berhenti pada Bali yang dialaminya di masa kanak-kanak dan remaja. Ia bisa pergi amat jauh ke belakang, bahkan ia punya keasyikan khusus untuk menceritakan legenda terjadinya tempat seperti Trunyan atau Tenganan Pegringsingan. Yang menakjubkan pada Putu ialah ia tahu amat banyak tentang kehidupan pulaunya, karena itu ia menyingkapkan banyak hal yang tidak terlihat oleh pelancong. Ilustrasi (oleh S. Prinka) justru menampilkan banyak hal yang biasa kita jumpai dalam kebanyakan buku panduan pariwisata. Dihanyutkan oleh gaya jurnalistik modern dalam bertutur dan melukiskan, terpikat oleh warna-warni rinci yang kaya, kadang-kadang terlupakanlah kepada niat menggugat. Apalagi di Kuta tampaknya tak ada yang mencemaskan kecuali satu atau dua hal. Lalu, kawasan Tenganan Pegringsingan terpuji dalam menjaga integritas. Dan tokoh Ibu Gedong Bagus Oka, dengan kegiatannya di Candi Dasa, tiada lain kecuali mengagumkan. Putu, tentu saja, menggugat. Yaitu melemparkan pertanyaan tentang beberapa hal yang tak bisa ia mengerti. Misalnya mengapa di kuburan Trunyan dan di permukiman Muslim di Pegayaman harus diletakkan candi bentar, suatu hal yang bukan saja merusakkan keaslian wilayah itu, tetapi juga sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakatnya? Mengapa Gurun Teko harus dikejar-kejar ketika ia membawa ayam aduan, sementara gerombolan orang memecahkan ramalan buntut -- yang sama sekali tidak nalar itu -- tidak pula dikejar-kejar? Mengapa arja menemui nasib merana, seperti kerakap di batu ? Mengapa sastra Bali dari yang tradisional sampai yang modern harus menghadapi kematian, sementara anak-anak menyanyikan lagu Jawa "mentog, mentog, tak kandani, mung rupamu angisin-isini ...."? Pertanyaan begini tersirat juga dalam penuturan Putu tentang kekacauan arsitektur, tipisnya pengetahuan agama, dan lain-lain. Di balik tapel judul yang garang ("Menggugat Bali"), termenung wajah yang tenang -- anak seorang ulama Desa Pujungan, Tabanan -- yang lebih banyak hendak mengerti daripada melampiaskan sarkasme, sinisme, apalagi nafsu menyerang. Putu menyayangi, dan bila menggugat ia hanya menyayangkan. Seperti dalam lukisan tradisional Bali dalam bukunya tidak ada satu perspektif perspektif satu individu yang menggugat yang membentuk struktur, mengarahkan rinci, menentukan urutan bab, dan membawa pikiran kepada klimaks gugatan. Rinci yang kaya, aneka ragam ihwal, dilukiskan dengan keasyikan sendiri-sendiri. Barangkali dorongan kuat kepada rinci, kepada himpunan informasi cara wartawan, ikut membatasi buku Putu, selain petak yang dilingkarinya sendiri dengan pagar "terbatas pada bidang-bidang yang saya minati". Tidak sepatah kata tentang seni lukis "gaya Pengosekan" yang mewabah dewasa ini (Wayan Suteja Neka mempunyai beberapa contoh di museumnya). Barangkali itu tidak amat penting. Tetapi orang tidak mengerti mengapa Putu tidak berminat kepada Kota Denpasar, yang konon tumbuh lebih cepat dari Jakarta -- dan tentu besar artinya dalam "perjalanan budaya" masyarakat Bali. Juga ia tidak menaruh perhatian kepada Bali Utara (mudah-mudahan bukan lantaran "Sindrom Bali Utara -- Bali Selatan") yang punya arti penting dalam perubahan sosial dan budaya pada awal abad ini. Lagi, di luar minat Putu, ialah ledakan penduduk, pergeseran dalam pemilikan tanah, struktur lapangan kerja, dan berbagai hal yang memungkinkan kita punya gambaran bulat tentang perubahan pada struktur masyarakat dan kebudayaan Bali. Apakah perubahan sosial dan budaya -- "perjalanan budaya" -- suatu masyarakat, kalau bukan perubahan yang berkenaan dengan strukturnya? "Beh!" Putu mungkin tertawa. "Buku ini tidak merupakan hasil penelitian yang ilmiah," katanya. "Saya tak melakukan penelitian, seperti yang dilakukan para ahli" Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus