Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan sebuah misi kesenian

Putu wijaya mementaskan lakonnya grrrr (diterjemahkan: geeez!) di satu gedung teater di madison, wisconsin, as. cerita tentang bima yang bangkit dari matinya. dimainkan mahasiswa universitas wisconsin. (ter)

10 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH datang, teater Indonesia! Sambutan begini, dari setidak-tidaknya empat koran lokal di sebuah negara bagian Amerika, boleh jugalah diberi tempat. "Segar, menyenangkan, dialog-dialog yang belum pernah ditemukan, adegan-adegan yang cepat, suasana permainan yang penuh, dengan tema-tema yang tak mengenal waktu tentang cinta dan kematian, seperti sekuntum bunga eksotik yang tiba-tiba merekah di depan matamu". Kurang apa lagi? Kalimat-kalimat Capital Times itu ditujukan untuk pementasan Grrrr, karya Putu Wijaya yang disutradarainya sendiri, yang oleh Michacl Bodden diterjemahkan menjadi Geeez! - dan diterbitkan, bersama dengan aslinya, oleh Program Teater Asia/Eksperimental Universitas Wisconsin, AS. Ini adalah cerita tentang tokoh Bima, yang - di tengah ratapan seluruh keluarga bangkit kembali dan matinya dan, tiba-tiba, mendapati dirinya tidak lagi dikehendaki. Koran-koran itu bicara tentang "tragedi yang mengundang tawa". Ia memang menggelitik kita, kata Capital Times, tapi "tidak dalam cara yang dipersiapkan khas menurut formula komedi, tapi dalam keaslian dan kejujuran yang terdapat dalam potret khalayak yang ngomong satu sama lain". Dengan kata lain, orang-orang Amerika itu rupanya paham, dan, seperti dibuktikan pada pementasan empat malam di paruh kedua bulan April itu, bisa berkomunikasi penuh. Pementasan sendiri tampaknya mempunyai warna berbeda dari yang dimunculkan Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki di bulan Agustus 1975. Kesan pahit - dan "berat" - kelihatannya lebih terasa di Jakarta. Di Madison, ibu kota Wisconsin itu, pertunjukan menjadi penuh dengan warna cemerlang, lewat berbagai kostum yang dikarang sendiri oleh para pemain menurut perasaan mereka. Pemilihan kostum yang disesuaikan dengan hasil terakhir latihan iti saja sudah membuat para awak sendiri pada takjub. Bisa dipahami. Mereka, para pemain mahasiswa itu, mula-mula sukar betul bekerja sama dengan dosen dan aktor tamu yang dipilih oleh Program Fulbright Hays untuk tahun akademi 1985 - 1986 itu. Seper ti diungkapkan Zarrilli, direktur Program yang dilakukan Putu ialah membawa para pemain ke dalam "kondisi nol" - dalam keadaaan tanpa ego dan tanpa prakonsepsi Dengan kata lain, orang-orang Wisconsin itu terkejut karena merasa mendapati sesuatu yang "sukar dan sama sekali asing", seperti dikatakan Zarrilli. Mereka tidak mengatakan, apakah yang dilakukan Putu sesuatu yang baru atau tidak baru. Tapi seorang seperti Putu memang boleh memberikan sesuatu yang lain. Pertama, sehubungan dengan pementasan dengan harga karcis US$ 4,50 itu (cukup mahal di sana, bila penontonnya hanya mahasiswa), koran-koran lokal itu menulis tentang teater Asia yang dikatakan "berorientasi pada proses", dan bukan pada produk seperti teater Barat. Kadang orang bahkan bermain bukan untuk pertunjukan, tapi semata untuk semacam "ritus", katakanlah, dengan batas awal dan akhir yang tak terlalu jelas. Juga, musik gamelan, misalnya, pada pementasan Geeez!, bukan sesuatu yang ditambahkan - tapi sesuatu yang "tak bisa dipisahkan," kata direktur Program itu. Kekaburan batas antara panggung dan penonton pun, yang di Barat merupakan "penemuan kemarin", di Asia sudah ciri teater atau permainan rakyat tradisional. Mereka, di Greenwich Village, New York, maupun London, memang boleh saja memulai yang baru - tapi kebaruan itu bila dihadapkan pada teater "realistis" selama ini, dan bukan dengan teater rakyat Asia dengan segala "absurditas" atau semangat antianalisanya, setidak-tidaknya seperti diwakili Putu Wijaya. Dan bila seorang anak Asia memainkannya, boleh saja ditebak bahwa mereka akan lebih bisa diandalkan dari rekan-rekannya yang di Barat, setidak-tidaknya yang belum lewat proses "penelanjangan" yang diperlukan. Pertama, karena dengan segala keluguannya, orang-orang Timur yang hanya kalah dalam perumusan sistem dan metode ini mendukung kebudayaan yang lebih kaya dan lebih perawan, yang belum dimiskinkan oleh semangat mesin dan dibatasi dengan ketat oleh segala etiket. Kedua, dalam keadaan sebelum ditempa, tubuh bule-bule itu pada dasarnya tegang alias kaku dibanding tubuh si Amat. Bukankah si John, misalnya, bahkan tidak bisa duduk mencangkung ? Hayo. Dalam posisi itulah Putu Wijaya tampil. Di sini ia berkomplot dengan Sardono yang pementasannya, Dongeng dari Dirah, dengan orang-orang dusun Bali, sukses besar di Paris dan Nancy. Dan agak berbeda dengan Arifin C. Noer - yang karyanya, Kapai-Kapai, dipentaskan di Belgia dan Australia dan diterjemahkan ke beberapa bahasa. Arifin menghadirkan Indonesia dari segi yang lebih ke bentuk - tetapi yang sama sekali bukan cerminan suatu zaman ketika yang disebut "drama" - dan dramaturgi harus dipelajari dari buku-buku Amerika dan Eropa. Dan semua itu memang bukan sekadar atraksi model misi kesenian. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus