Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu, Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tampak lengang. Tapi tidak di ruang pertunjukan. Sekitar dua puluh orang—lebih dari setengahnya berwajah kaukasia—duduk berderet di bangku penonton menyimak penjelasan Hartati. Dengan berbahasa Indonesia, Hartati menjelaskan sinopsis tentang The Sarong, karyanya yang beberapa menit kemudian tampil di atas panggung.
The Sarong merupakan karya terbaru Hartati, berdurasi sekitar 30 menit. Ditarikan tiga orang—dua perempuan satu pria—karya ini merupakan bagian dari showcase khusus di hadapan sepuluh presenter dari Amerika Serikat, di antaranya Rachel Cooper (Director of Cultural Programs and Performing Arts Asia Society), Rebecca Blunk (Executive Director New England Foundation for the Arts di Boston), Cecily D. Cook (Senior Program Officer Asian Cultural Council), Ken Foster (Executive Director Yerba Buena Center for the Arts di San Francisco), Margaret Lawrence (Director of Programming The Hopkins Center at Dartmouth College di New Hampshire), dan Peter Taub (Director of Performance Programs Museum of Contemporary Art di Chicago).
Selain mereka, ada pula Alan Feinstein (Senior Fellow Asian Public Intellectuals Fellowships Program Nippon Foundation), yang datang dari tempat tinggalnya di Bangkok. Mereka tiba di Jakarta sehari sebelum showcase, yang menampilkan karya Hartati dan Nan Jombang Group pimpinan koreografer asal Padang, Ery Mefri. Kedatangan mereka memang jauh dari pemberitaan media. Padahal peranan mereka bagi terjalinnya jaringan seni pertunjukan antara Indonesia dan Amerika sangat kuat.
Diorganisasi oleh Yayasan Kelola, kehadiran mereka sebenarnya digagas cukup lama. Sebagian besar dari mereka yang datang terbilang sangat familiar dengan kesenian di Indonesia dan Asia, meski tidak semuanya pernah ke Indonesia. Melalui Rachel Cooper dan Rebecca Blunk, 10 orang itulah yang berangkat.
Rachel terbilang bukan wajah baru dalam hubungan kesenian di antara kedua negara. Dari 1988-1993, ia mengepalai Festival of Indonesia in Performance atau yang kita kenal sebagai KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat) yang ia rancang bersama Amna W. Kusumo, Direktur Yayasan Kelola. Ketika itu tampil lebih dari 180 seniman Indonesia di 30 negara bagian Amerika. ”Bisa dibilang acara itu sukses dilihat dari banyaknya tulisan mengenai KIAS di berbagai media,” ujar Amna W. Kusumo.
Sayangnya keberhasilan KIAS mengantarkan kesenian Indonesia tampil di Amerika tak berlanjut. Jaringan yang terjalin di antara seniman kedua negara tak lagi muncul dalam bentuk pementasan besar-besaran seperti KIAS.
Tak mengherankan, ketika para presenter Amerika itu ke Indonesia, harapan untuk menghangatnya kembali hubungan seni kedua negeri pun muncul. Walau begitu, Rachel secara implisit menyanggah bahwa kedatangan mereka membawa agenda untuk memilih pertunjukan seni yang menarik untuk dibawa ke Amerika. ”Kami datang bukan untuk shopping. Lebih bertujuan membangun hubungan yang sudah akrab,” ujar Rachel.
Meski tidak berniat shopping, telah disiapkan sederetan pertunjukan bagi mereka yang digelar di empat kota. Pada hari pertama di Jakarta, mereka sudah disuguhi proyek seni terbaru Sardono W. Kusumo, berupa pertunjukan dan seni rupa bersama Jennifer Tipton dan David Rosenboom. Pada Minggu, 15 Februari, mereka disuguhi tari topeng Indramayu oleh Wangi Indriya di Pendopo Prapanca serta pertunjukan Hartati dan Ery Mefri.
Sebagai showcase, pertunjukan Hartati dan Ery diselingi tanya-jawab langsung antara koreografer dan para presenter, dibantu translasi oleh kritikus tari Sal Murgiyanto. Di bagian pertama, Hartati menampilkan eksplorasi kain sarung di tubuh para penarinya. Dengan gerak yang terinspirasi pencak silat Minang, Hartati berhasil menciptakan kesan bahwa sarung tak semata kain yang dililitkan di pinggang dan menutupi bagian bawah tubuh. Tapi sarung juga dijadikan selimut, ikat pinggang, hingga penutup kepala. ”Ide dasarnya, saya ingin menampilkan sarung, yang selama ini kerap menjadi ikon orang Minang, sebagai keterbatasan dan sekaligus menampilkan kekuatan maskulin dan feminin,” ujar Hartati.
Ketika penari perempuan tampak berjalan beringsut sambil menyeret sarung yang tergeletak mengelilingi kedua kakinya, sarung seolah menjadi ikatan yang menghalangi kehidupan. Belum lagi ketika dua penari Hartati—Etty dan David—saling merespons gerak. Setiap kali Etty berusaha bergerak, sarung yang melingkar di pinggangnya ditahan oleh David. Lewat karyanya ini, Hartati menampilkan sarung sebagai simbol budaya yang memunculkan masalah sosial di kehidupan sehari-hari.
Sementara Ery Mefri menampilkan karya Sarikai, yang juga berangkat dari kebudayaan masyarakat Minang. ”Sarikai atau sarikat dulunya menjadi bagian dari masyarakat Minang, di mana masyarakat berkumpul untuk mencari solusi dari sebuah masalah. Kini, orang berkumpul bukannya menghasilkan solusi malah menimbulkan sengketa,” katanya.
Ditarikan lima orang—satu pria dan empat perempuan—pertunjukan ini tanpa musik. Bunyi pengiring muncul dari teriakan, dendang, dan tepukan keras tangan para penari pada tubuh mereka dan ke kain celana galembong yang menjadi permukaan tipis ketika mereka meloncat sambil membentangkan kedua kaki.
Dari Jakarta, rombongan menuju Solo, menyaksikan pertunjukan oleh kelompok tari Mangkunegaran—Eko Supriyanto, Mugiyono, Wahyu Widayati, musik oleh Rahayu Supanggah, dan wayang oleh Purbo Kusumo. Sehari kemudian, Rabu pekan lalu, mereka ke Yogya untuk melihat pertunjukan di antaranya karya Miroto, Fitri Setyaningsih, Kua Etnika, Teater Garasi, dan Wayang Bocor Project. Selain melihat pertunjukan, mereka juga diedarkan mengunjungi sejumlah galeri seperti Sangkring dan Cemeti.
Perjalanan seni mereka berlanjut ke Bali pada Jumat dengan mengunjungi ARMA, rumah Made Sidia, menikmati pertunjukan Made Subandi, Wayang Skateboard, Cok Sawitri, Nyoman Sura, tari topeng oleh Wayang Dibia, dan Dek Tegeh Oka.
Dilihat dari deretan karya yang tampil, sebagian besar seniman terpilih umumnya telah memiliki jaringan atau setidaknya pernah diundang tampil di Amerika. Selain Hartati, yang pernah menjadi grantee Asian Cultural Council, di antaranya ada Wayan Dibia, yang cukup lama menjadi dosen di sejumlah sekolah dan universitas di sana; Rahayu Supanggah, yang sempat dipercaya menjadi penata musik I La Galigo milik Robert Wilson; dan Eko Supriyanto, yang lulus dari UCLA.
Wajar jika kesan yang muncul kemudian dari kunjungan ini adalah sebuah reuni, atau upaya mengetahui kabar terbaru kawan lama. ”Senang sekali melihat karya Hartati setelah sepuluh tahun tak bertemu,” ujar Cecily D. Cook.
Meski dugaan shopping ditampik, bukan tidak mungkin jika kunjungan ini kelak menghasilkan acara semacam KIAS, yang dulu dihasilkan setelah ada penandatanganan persetujuan dari menteri luar negeri kedua negara pada 1987. Sayangnya, acara yang berpotensi menjalin kembali hubungan budaya kedua negara ini hanya menampilkan karya seniman yang sudah dikenal. Semestinya porsi kesempatan showcase lebih banyak diberikan untuk seniman muda. Toh, wajah kesenian Indonesia di masa depan ada di tangan mereka.
F. Dewi Ria Utari, pengamat tari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo