MUNDUR diri itu banyak ragamnya. Ada yang karena memang sudah
kepepet, seperti tikus tersudut. Maunya terus, tapi mati
langkah, seperti halnya Richard Nixon itu. Andaikata kedua
wartawan Bob Woodward dan Carl Bernstein dari The Washington
Post sedikit ogah-ogahan menguber latar belakang berita
pencurian di markas besar Partai Demokrat tanggal 17 Juni 1972
itu, atau menganggapnya maling biasa, Nixon pastilah ingin tetap
di korsi.
Dan pastilah tidak bakalan terbit buku The Final Days tulisan
kedua wartawan itu, yang menutup kisahnya dengan kalimat:
"Nixon, sang nyonya, Ed dan Tricia menghampiri helikopter yang
sudah siap menunggu. Nixon paling belakangan naik ke pesawat.
Dia membalik, melempar senyum, menunjukkan tanda jempol kepada
puterinya Julie, yang tegak terpaku digandeng suaminya, David.
Julie pun membalas tanda jempol, memaksa sebuah senyum. Begitu
helikopter terangkat naik, kepala Julie tergolek di bahu David,
matanya pejam. Gerald Ford masih berdiri agak sebentar, kemudian
sambil menggenggam tangan isterinya berjalan masuk ke Gedung
Putih . . . ".
Ada niat undur diri yang urung, seperti menimpa Fidel Castro.
Kalau saja Kuba tidak korup, kalau saja modal AS tidak sebesar $
1,2 miliar yang praktis menguasai negeri, kalau saja 71,1% tanah
pertanian tidak dimiliki oleh tuan tanah dan tani kaya, kalau
saja pengangguran tidak mencapai 25%, kalau saja tempat hiburan
dan judi tidak bermunculan di mana-mana, kalau saja AS tidak
buka pangkalan angkatan laut di Guantanamo, barangkali Fidel
tidak meninggalkan kantor pengacaranya dan masuk hutan. Tapi,
biarpun kemenangan demi kemenangan direbutnya, biarpun
orang-orang revolusioner penuh sesak mendukungnya di pegunungan
Sierra Maestra, dia pernah berangan-angan: Apabila Batista sudah
jatuh terguling, apabila Habana sudah terebut, dia akan undur
diri selaku pemimpin, pulang kampung di tepi ngarai, mengamati
batang tebu yang meliuk-liuk dipukul angin, menjadi penyair!
Barangkali sesudah difikir-fikir, ketimbang jadi penyair
mendingan jadi Perdana Menteri, berhubung penyair tidak punya
kantor, ditilik dari jarak jauh tak ubahnya seperti penganggur
biasa, Fidel pun mengurungkan niat undur dirinya, dan menjadi
Perdana Menteri hingga hari ini.
GAMAL
9 Juni 1967 Presiden Gamal Abd. asser pidato radio, antara
lain: "Saya sudah mengambil keputusan berhenti dari semua
jabatan dan kegiatan politik. Saya kepingin kembali kepada
massa, bekerja bersama mereka, sebagai warganegara biasa. Kaum
imperialis selalu membayangkan, Camal Abd. Nasser lah musuh
mereka. Ini keliru besar. Saya ingin menandaskan di sini, musuh
mereka adalah seantero dunia Arab bukan Camal semata-mata.
Aspirasi persatuan Arab lahir sebelum ada Gamal dan tetap hidup
terus sesudah Gamal tiada. Saya sekedar perabot pelaksana
keinginan rakyat, dan samasekali bukan penciptanya. Maka dari
itu, berdasarkan pasal 110 konstitusi sementara yang disahkan
bulan Maret 1964, saya mempercayakan kepemimpinan negara kepada
sahabat serta saudara saya Zakariya Muhiedin"
Mundurkah Gamal? Tidak, sampai malaikatulmaut menjemputnya.
Penggantinya, Anwar Sadat, sesudah diguncang oleh demonstrasi
mahasiswa-buruh yang dahsyat, seraya menuduh Khalid Muhiedin-
saudara Zakariya -- selaku biang keladi, dan seraya
memburuk-burukkan Gamal Abd. Nasser bilang juga kepingin undur
diri. Berani taruhan, dia akan tetap ada di istana sampai
keadaan memaksanya.
Begitu ada di negeri orang, begitu pula ada di negeri awak.
Tatkala Pemilu sudah di ambang pintu, tatkala penduduk sudah
hampir diperbolehkan berdemam-demam, pecahlah kabar keinginan
undur diri H. Moh. Syafaat Mintaredja SH dari gelanggang
pemerintahan dan politik sesudah Pemilu 1977.
Mendengar ini ada yang terbelalak, ada yang berlinangan pelupuk
matanya, ada yang mendehem-dehem, ada yang mengangguk-angguk,
ada yang menggeleng-geleng, dan ada pula yang bertanya-tanya,
model niat undur diri yang macam mana pula ini. Dan ada pula
yang sempat membalik-balik buku kecil karangan beliau yang
judulnya panjang Rasionalisme versus Iman, Iman nmu dan Amal,
khusus bab yang berkepala "Hidup Di Dunia Ini Sebagai
Sandiwara". Mengapa?
YAAAH . . .
Karena di situ tercetak amat jelas betapa beliau itu sungguh
mati tidak ada ambisi jadi Menteri, atau terus-terusan jadi
Menteri. Bunyi persisnya begini: "Sekarang, bagaimana rasanya
jadi penggede, jadi Menteri? Sungguh Allah Swt saksinya, penulis
pernah mohon pertimbangan atasan, agar diperkenankan bebas dari
tugas, karena beban terlalu berat, tanggung jawab kepada Tuhan
juga begitu, supaya bisalah mendidik anak-anak yang sudah besar
jadi soleh. Apa kata atasan? Yaaah, tanggung jawab dan kesulitan
itu sama-sama kita alami. Saya maupun isteri tiap malam sampai
jam 2, 3 jadi penjaga tilpun. Baru saja tidur sudah kriiing,
kriiiing. Anak lelaki hampir tiap malam dapat tilpun dari
penyanyi atau bintang film".
Rupanya, sang nasib masih begitu sadis tetap menjerat beliau di
korsi Menteri, sampai-sampai merasa perlu bikin maklumat undur
diri berulang kali, berendah-rendah mengaku ibarat "ketimun
bungkuk" di dalam tidak mencukupi kabinet, di luar tidak
mengurangikabinet. Mengharukan.
Yang tidak terharu pun ada juga, seperti bunyi tajuk koran Gala
Bandung, yang mencatat Menteri Mintaredja ini suka aneh-aneh.
Misalnya waktu beliau menganjurkan penduduk Priangan Timur hidup
sederhana, bulan Juni tahun lalu. Tirulah Cina itu, petuahnya.
Kalau dia potong ayam, tidaklah ditelan sekaligus, melainkan
cicil sedikit-sedikit buat sebulan. Hari ini pahanya, besok
sayapnya, lusa cakarnya, minggu depan pantatnya, baru kemudian
patuknya. Dan jangan makan nasi! Ambil segenggam beras,
cemplungkan ke dalam baskom, godok jadi bubur. Seliter beras
bisa jadi seember bubur. Ini namanya baru hemat. Berpakaian pun
jangan semau-maunya. Tak usah berkemeja, pakai singlet saja
cukup. Tampak seperti orang kegerahan tak jadi apa, lmalama
juga biasa. Bukankah harga sehelai kemeja sama dengan selusin
singlet?
Para hadirin terheran-heran mendengar nasehat yang luar biasa
ini, tapi sesudah itu kehidupan berjalan sebagaimana biasa. Yang
punya beras makan nasi, yang tidak punya beras busung lapar.
Yang beruang cukup pakai kemeja, yang tak beruang telanjang
saja. Yang mampu sembelih ayam dan bikin licin tandas sekali
pukul, yang tidak mampu cukup tersuruk-suruk membujuk belut
muncul dari liangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini