Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sang ketimun bungkuk

Moh syafaat mintareja berniat mengundurkan diri dari pemerintahan dan politik sesudah pemilu 1977. dalam tajuk koran gala bandung, menyatakan menteri ini suka aneh-aneh, ia menganjurkan hidup sederhana.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNDUR diri itu banyak ragamnya. Ada yang karena memang sudah kepepet, seperti tikus tersudut. Maunya terus, tapi mati langkah, seperti halnya Richard Nixon itu. Andaikata kedua wartawan Bob Woodward dan Carl Bernstein dari The Washington Post sedikit ogah-ogahan menguber latar belakang berita pencurian di markas besar Partai Demokrat tanggal 17 Juni 1972 itu, atau menganggapnya maling biasa, Nixon pastilah ingin tetap di korsi. Dan pastilah tidak bakalan terbit buku The Final Days tulisan kedua wartawan itu, yang menutup kisahnya dengan kalimat: "Nixon, sang nyonya, Ed dan Tricia menghampiri helikopter yang sudah siap menunggu. Nixon paling belakangan naik ke pesawat. Dia membalik, melempar senyum, menunjukkan tanda jempol kepada puterinya Julie, yang tegak terpaku digandeng suaminya, David. Julie pun membalas tanda jempol, memaksa sebuah senyum. Begitu helikopter terangkat naik, kepala Julie tergolek di bahu David, matanya pejam. Gerald Ford masih berdiri agak sebentar, kemudian sambil menggenggam tangan isterinya berjalan masuk ke Gedung Putih . . . ". Ada niat undur diri yang urung, seperti menimpa Fidel Castro. Kalau saja Kuba tidak korup, kalau saja modal AS tidak sebesar $ 1,2 miliar yang praktis menguasai negeri, kalau saja 71,1% tanah pertanian tidak dimiliki oleh tuan tanah dan tani kaya, kalau saja pengangguran tidak mencapai 25%, kalau saja tempat hiburan dan judi tidak bermunculan di mana-mana, kalau saja AS tidak buka pangkalan angkatan laut di Guantanamo, barangkali Fidel tidak meninggalkan kantor pengacaranya dan masuk hutan. Tapi, biarpun kemenangan demi kemenangan direbutnya, biarpun orang-orang revolusioner penuh sesak mendukungnya di pegunungan Sierra Maestra, dia pernah berangan-angan: Apabila Batista sudah jatuh terguling, apabila Habana sudah terebut, dia akan undur diri selaku pemimpin, pulang kampung di tepi ngarai, mengamati batang tebu yang meliuk-liuk dipukul angin, menjadi penyair! Barangkali sesudah difikir-fikir, ketimbang jadi penyair mendingan jadi Perdana Menteri, berhubung penyair tidak punya kantor, ditilik dari jarak jauh tak ubahnya seperti penganggur biasa, Fidel pun mengurungkan niat undur dirinya, dan menjadi Perdana Menteri hingga hari ini. GAMAL 9 Juni 1967 Presiden Gamal Abd. asser pidato radio, antara lain: "Saya sudah mengambil keputusan berhenti dari semua jabatan dan kegiatan politik. Saya kepingin kembali kepada massa, bekerja bersama mereka, sebagai warganegara biasa. Kaum imperialis selalu membayangkan, Camal Abd. Nasser lah musuh mereka. Ini keliru besar. Saya ingin menandaskan di sini, musuh mereka adalah seantero dunia Arab bukan Camal semata-mata. Aspirasi persatuan Arab lahir sebelum ada Gamal dan tetap hidup terus sesudah Gamal tiada. Saya sekedar perabot pelaksana keinginan rakyat, dan samasekali bukan penciptanya. Maka dari itu, berdasarkan pasal 110 konstitusi sementara yang disahkan bulan Maret 1964, saya mempercayakan kepemimpinan negara kepada sahabat serta saudara saya Zakariya Muhiedin" Mundurkah Gamal? Tidak, sampai malaikatulmaut menjemputnya. Penggantinya, Anwar Sadat, sesudah diguncang oleh demonstrasi mahasiswa-buruh yang dahsyat, seraya menuduh Khalid Muhiedin- saudara Zakariya -- selaku biang keladi, dan seraya memburuk-burukkan Gamal Abd. Nasser bilang juga kepingin undur diri. Berani taruhan, dia akan tetap ada di istana sampai keadaan memaksanya. Begitu ada di negeri orang, begitu pula ada di negeri awak. Tatkala Pemilu sudah di ambang pintu, tatkala penduduk sudah hampir diperbolehkan berdemam-demam, pecahlah kabar keinginan undur diri H. Moh. Syafaat Mintaredja SH dari gelanggang pemerintahan dan politik sesudah Pemilu 1977. Mendengar ini ada yang terbelalak, ada yang berlinangan pelupuk matanya, ada yang mendehem-dehem, ada yang mengangguk-angguk, ada yang menggeleng-geleng, dan ada pula yang bertanya-tanya, model niat undur diri yang macam mana pula ini. Dan ada pula yang sempat membalik-balik buku kecil karangan beliau yang judulnya panjang Rasionalisme versus Iman, Iman nmu dan Amal, khusus bab yang berkepala "Hidup Di Dunia Ini Sebagai Sandiwara". Mengapa? YAAAH . . . Karena di situ tercetak amat jelas betapa beliau itu sungguh mati tidak ada ambisi jadi Menteri, atau terus-terusan jadi Menteri. Bunyi persisnya begini: "Sekarang, bagaimana rasanya jadi penggede, jadi Menteri? Sungguh Allah Swt saksinya, penulis pernah mohon pertimbangan atasan, agar diperkenankan bebas dari tugas, karena beban terlalu berat, tanggung jawab kepada Tuhan juga begitu, supaya bisalah mendidik anak-anak yang sudah besar jadi soleh. Apa kata atasan? Yaaah, tanggung jawab dan kesulitan itu sama-sama kita alami. Saya maupun isteri tiap malam sampai jam 2, 3 jadi penjaga tilpun. Baru saja tidur sudah kriiing, kriiiing. Anak lelaki hampir tiap malam dapat tilpun dari penyanyi atau bintang film". Rupanya, sang nasib masih begitu sadis tetap menjerat beliau di korsi Menteri, sampai-sampai merasa perlu bikin maklumat undur diri berulang kali, berendah-rendah mengaku ibarat "ketimun bungkuk" di dalam tidak mencukupi kabinet, di luar tidak mengurangikabinet. Mengharukan. Yang tidak terharu pun ada juga, seperti bunyi tajuk koran Gala Bandung, yang mencatat Menteri Mintaredja ini suka aneh-aneh. Misalnya waktu beliau menganjurkan penduduk Priangan Timur hidup sederhana, bulan Juni tahun lalu. Tirulah Cina itu, petuahnya. Kalau dia potong ayam, tidaklah ditelan sekaligus, melainkan cicil sedikit-sedikit buat sebulan. Hari ini pahanya, besok sayapnya, lusa cakarnya, minggu depan pantatnya, baru kemudian patuknya. Dan jangan makan nasi! Ambil segenggam beras, cemplungkan ke dalam baskom, godok jadi bubur. Seliter beras bisa jadi seember bubur. Ini namanya baru hemat. Berpakaian pun jangan semau-maunya. Tak usah berkemeja, pakai singlet saja cukup. Tampak seperti orang kegerahan tak jadi apa, lmalama juga biasa. Bukankah harga sehelai kemeja sama dengan selusin singlet? Para hadirin terheran-heran mendengar nasehat yang luar biasa ini, tapi sesudah itu kehidupan berjalan sebagaimana biasa. Yang punya beras makan nasi, yang tidak punya beras busung lapar. Yang beruang cukup pakai kemeja, yang tak beruang telanjang saja. Yang mampu sembelih ayam dan bikin licin tandas sekali pukul, yang tidak mampu cukup tersuruk-suruk membujuk belut muncul dari liangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus