Di Paviliun Cendrawasih, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rahmi Hatta tercenung pada suatu sore, Mei, 1981. Matanya berkaca-kaca, menerawang jauh. "Saya terkenang pada Bapak," ujarnya kepada seorang wartawan yang berkunjung. Ia lalu bicara tentang kenangan kepada almarhum suaminya. Mohammad Hatta berangkat ke alam baka pada Juni 1980. Dan Rahmi harus menunggu 18 tahun sebelum waktu kembali menentukan peruntungannya dengan laki-laki kecintaannya itu.
Selasa silam, 13 April, maut menjemputnya. Maka, Rahmi, perempuan beruntung itu, tak perlu lagi menyimpan kenangan apa pun kepada Hatta. Takdir dan nasib telah membawanya pergi ke sebuah tempat yang setiap kenangan tak lagi diperlukan dan setiap pertemuan tak lagi mengenal kata berpisah. Di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, dikelilingi beberapa anak, cucu, dan menantu, dengan tenang dan bahagia, ia mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan.
Siti Rahmiati Hatta lahir di Bandung, 16 Februari 1926. Ia menyelesaikan pendidikan Christelijke Lyceum (setingkat SMA) di kota yang sama. Ia berjumpa dengan Bung Hatta pertama kali pada usia 17 tahun, saat Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari pengasingan. Dua tahun kemudian, Bung Karno menemui Rahmi dan melamarnya untuk Bung Hatta.
Rahmi, yang menilai bakal suaminya sebagai orang serius, hanya menjawab, "Kalau dia melamar seorang wanita, tentunya sudah dipikirnya masak-masak." Rahmi dan Hatta menikah di Megamendung, Bogor, pada 18 November 1945. Perkawinan itu menghasilkan tiga anak, Meuthia, Gemala, dan Halida. Selama 35 tahun, Rahmi mendampingi suaminya dalam senang dan susah. "Tak pernah kami mendengar ibu mengeluh," ujar Halida, putri bungsunya.
Rahmi Hatta punya perhatian mendalam pada pengetahuan dan kesenian, khususnya seni lukis. Di sela-sela mendampingi Bung Hatta, ia menyempatkan diri memperdalam beberapa bahasa asing, sejarah, dan ilmu politik di bawah bimbingan tutor pribadi. Ia aktif di bidang sosial sejak remaja (dalam kepanduan) hingga ia menikah dan menjanda.
Dua orang kawan dekatnya, Ny. Hartini Soekarno dan Ny. Nelly Adam Malik, mengenangnya sebagai "pribadi istimewa yang selalu memperhatikan orang lain." Putrinya, Meuthia Edi Swasono, menyebutnya sebagai ibunda yang "sangat kuat menyimpan segala kesedihan" dan mampu mengurus keluarga dengan baik. Sementara itu, bagi menantunya, Edi Swasono, Rahmi tak ubahnya ibu kandung.
Seluruh kepribadian Rahmi membuat senang mengenangnya dalam ingatan—bukan sekadar "menghormati orang yang pergi." Wartawan Rosihan Anwar menggambarkan Rahmi sebagai wanita pandai, bijaksana, dan mampu mengimbangi Bung Hatta, sehingga perkawinan itu berhasil dan harmonis." Ia juga seorang teman bicara yang mampu menjembatani perbedaan generasi dengan seluruh pengetahuan dan kehalusan budi. Tansri Zulfikar, putra pasangan Meuthia-Edi Swasono, misalnya, bukan hanya meratapi kematian eyang putrinya itu, tapi juga meratapi hilangnya "teman bicara terbaik".
Apa sesungguhnya keistimewaan Rahmi? Ia bukan tokoh gilang-gemilang dalam sejarah. Dia lebih mudah diibaratkan sosok di belakang panggung yang memainkan perannya secara "naif, seorang gadis dari keluarga baik-baik yang—kebetulan— menikahi seorang tokoh terpenting negeri ini, a son of history.
Namun keberanian Rahmi menjalani hidup bukanlah keberanian yang naif. Dengan seluruh kesadaran, ia paham, pengantin yang dinikahinya pada 18 November 1945 itu bukan saja lebih tua 24 tahun, tapi juga memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Hatta, saat itu, sudah menjadi politikus yang matang dan ilmuwan ternama. Sementara itu, Rahmi, remaja 19 tahun itu, merasa dirinya "kurang pintar dan biasa-biasa saja."
Sejarah kemudian menunjukkan betapa gadis remaja dari kalangan atas itu mengambil peran secara mencengangkan, antara lain kesadaran bahwa hidup dengan Bung Hatta bukanlah jalan yang penuh emas dan intan. Hatta, yang sangat bersih, akan lebih memilih merugikan dirinya ketimbang negara.
Suatu ketika, tahun 1950-an, Rahmi ingin membeli sebuah mesin jahit dari tabungan mereka selama bertahun-tahun. Tiba-tiba pemerintah mengumumkan pemotongan uang (Oeang Republik Indonesia). Rahmi mengeluh kenapa Hatta—saat itu menjabat wakil presiden RI—tidak membisikkan hal itu kepadanya.
Suaminya hanya menjawab "Yoeke, rahasia negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga," ujar Hatta. Rahmi, yang kemudian menuliskan ingatan lama itu dalam buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan—sebuah memoar yang diterbitkan pada 1979.
Masa saat Bung Hatta hidup dalam pengasingan di Bangka, tatkala Meuthia masih berusia 21 bulan, adalah salah satu tahap yang berat dalam hidup perkawinan mereka. Dalam surat-menyurat, terlihat betul betapa Hatta mempercayai istrinya ..."Kak Hatta merasa lega menerima surat Yoeke dan dari semulanya juga sudah yakin Yoeke akan sabar dan tahan uji..." antara lain isi surat Hatta bertanggal 11 Januari 1949.
Dan Rahmi bukan hanya mendapat kepercayaan Bung Hatta, keluarganya, dan para handai taulan. Hidup juga mempercayai Rahmi dengan memberinya peran penting dalam sejarah negeri ini sebagai pendamping Bung Hatta. Sebuah kepercayaan yang diterima Rahmi dengan rasa hormat pada kehidupan itu sendiri. Ia tidak pernah meminta lebih dari yang diberikan kepadanya: hidup yang sederhana, bersih, tenang, dan berarti. Dan Rahmi membawa semangat itu hingga akhir hayatnya.
Di pekuburan Tanah Kusir, Rabu pekan lalu, doa dan puji-pujian dideraskan bagi Rahmi Hatta. Gunungan bunga di atas makamnya seperti memercikkan kegembiraan seorang wanita bahagia yang sudah menuntaskan seluruh kewajibannya dengan semestinya. Seorang wanita yang keharumannya tidak pernah layu—seperti halnya setiap "bunga" yang gugur dari pentas sejarah.
Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini