Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buat Apa Lagi Utang JPS

Pencairan bantuan Bank Dunia US$ 600 juta untuk JPS ditunda sampai sistem pengawasan program ini jelas. Kenapa utang tidak sekalian dibatalkan?

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARTIKEL ini sesungguhnya bisa diberi judul memelas: kasihan pemerintah Indonesia. Bayangkan, dalam dua pekan terakhir ini saja muncul dua kasus (dugaan) korupsi yang mencoreng muka. Belum lagi kasus saham gratis perusahaan telekomunikasi KPN Belanda untuk kroni Cendana terungkap, muncul borok baru, yaitu lima perusahaan kontraktor Jepang dikabarkan menyuap para pejabat pajak di negeri ini. Itu memang warisan Orde Baru. Tapi pemerintahan Habibie juga tak kurang "malang": pekan lalu Bank Dunia menunda pencairan bantuan US$ 600 juta, yang bakal dibelanjakan untuk proyek Jaring Pengaman Sosial (JPS). Selama prosedur JPS masih compang-camping, maaf saja, utang tetap belum bisa cair. Ada dugaan Bank Dunia khawatir dana JPS akan ikut dipakai "main" dalam pemilu mendatang. Memang, penundaan utang US$ 600 juta tadi tidak terlalu berpengaruh pada kemampuan belanja negara. Meskipun pengeluaran JPS masuk dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), berbagai indikator moneter penting masih tergolong aman. Cadangan devisa bersih hampir US$ 16 miliar. Sedangkan target cadangan devisa minimal yang ditetapkan International Monetary Fund (IMF) hanya sekitar US$ 12 miliar. Aman, kan? Kondisi keuangan pemerintah guna menstabilkan rupiah juga tak bakal terganggu. Menurut Lin Che Wei, analis Socgen Equities di Jakarta, pasar rupiah masih akan stabil sampai pemilu mendatang. "Jadi tak perlu intervensi besar-besaran," katanya. Boediono, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), juga menganggap penundaan bantuan JPS dari Bank Dunia tak cukup berarti. "US$ 600 juta itu jumlah kecil. Tidak terlalu mengganggu," katanya. Memang, untuk tahun anggaran 1999/2000, total kucuran utang luar negeri mencapai US$ 9 miliar. Jumlah itu pun belum termasuk paket krisis ekonomi dari IMF. Utang ditunda tak jadi soal. Anggaran RI yang bertiang utang masih dianggap aman. Tapi soalnya tak sekadar amannya posisi anggaran. Tindakan Bank Dunia menunda utang JPS itu membuat citra Indonesia makin babak-belur. Langkah Bank Dunia seperti mengiringi hasil survei mutakhir PERC (Political and Economic Risk Consultancy), lembaga konsultasi independen. Lembaga yang berbasis di Hong Kong itu mewawancarai 450 pengusaha asing di 12 negara Asia. Sepanjang kuartal pertama 1999, PERC menempatkan Indonesia di peringkat teratas, juara korupsi dan penganut kroniisme di Asia, mengalahkan India dan Cina, yang selama ini bersaing ketat memperebutkan posisi paling korup. Entah medali apa yang akan diterima pemerintah Indonesia. Yang pasti, terbongkarnya berbagai kasus suap, peringkat dari PERC, plus sikap Bank Dunia kian nyata menunjukkan loyonya kemampuan pengawasan pemerintah. Dana JPS, yang bercita-cita mengurangi dampak krisis pada rakyat miskin, ternyata bolong di berbagai sektor. Menurut Andrea Silverman, Koordinator Pembangunan Sosial Bank Dunia, salah sasaran, penyalahgunaan, dan tak adanya transparansi menjadi inti dari berbagai laporan evaluasi JPS. Itulah sebabnya, Bank Dunia minta Bappenas, pintu pertama uang JPS, merancang perbaikan mekanisme program JPS. "Dana tak akan cair kalau sistem JPS masih belum diperbaiki," kata Silverman sambil menekankan bahwa penundaan ini tak ada kaitannya dengan jadwal pemilu. Selama program JPS belum jelas juntrungannya, meskipun pemilu sudah usai, duit belum bisa cair. Namun, bagi Adrian Panggabean, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, penundaan pencairan utang ini juga menyulut kecurigaan. Saat komitmen bantuan diteken, mestinya Bank Dunia sudah tahu bahwa banyak yang tidak beres dalam pelaksanaan JPS. Kemampuan kontrol pemerintah sama sekali lemah. Adrian yakin, lembaga donor kelas dunia ini masih berperilaku sama, punya kepentingan untuk mencekoki negara berkembang dengan utang. Maklum, setiap penyaluran utang mendatangkan poin prestasi dan imbalan memuaskan bagi pejabat Bank Dunia. "Tak peduli apakah negara pengutang sanggup mengelola utang dengan efektif," kata Adrian. Maka tak aneh bila kebocoran bantuan Bank Dunia selama ini bisa begitu tinggi, mencapai US$ 10 miliar (hampir Rp 90 triliun) atau 30 persen total bantuan.Belum lagi bila dipertimbangkan praktek suap para kontraktor yang mengerjakan proyek bantuan internasional. Yang upetinya paling besar, itulah yang bisa mendapatkan proyek. Tak jarang, utang digunakan untuk mengongkosi proyek-proyek yang kurang atau sama sekali tak bermutu. Alhasil, negara pengutang semakin dalam terjerat dalam pusaran utang. Bisa ditebak, kini Bank Dunia sedang mencoba mencuci muka dan memperbaiki kinerja. Lembaga keuangan dunia ini baru saja mengganti Kepala Perwakilan Indonesia, Dennis de Tray, dengan Mark Baird. Dan pejabat baru ini sudah mengirim pesan: "Kami sekarang lain, lo. Sudah lebih selektif dan tak gampang kongkalikong." Mudah-mudahan saja, pesan ini bisa tepat sasaran dan membuat pemerintah Indonesia tak gampang-gampang "memainkan" dana besar itu. Adrian, yang juga bekerja di United Nations Development Program (UNDP), sebenarnya lebih senang jika Indonesia bebas utang. Ia menilai lebih baik bila Bank Dunia membatalkan utang US$ 600 juta tersebut. Adrian menunjuk berbagai bukti, seperti perilaku korup pejabat dan pengusaha di sini yang masih kental. Tiga puluh dua tahun budaya korupsi ala Orde Baru tak gampang terhapus hanya dalam hitungan bulan. Tim investigasi Bappenas, misalnya, menemukan bukti aparat Pemda Cirebon yang menyunat uang JPS. Penyimpangan serupa juga terjadi di beberapa daerah. Nah, sebelum penyelewengan berkembang makin parah, "Batalkan saja utang itu," kata Adrian. Apalagi, menurut berbagai penelitian, antara lain oleh Lea Jellinek, antropolog dari Australia, JPS terbukti kurang berkhasiat bagi masyarakat. Malahan, kucuran JPS berpotensi memandulkan daya kemandirian masyarakat desa, yang tadinya tangguh menghadapi krisis. Di kota, JPS juga tak kena sasaran. Masyarakat miskin, yang sebagian besar tak punya kartu tanda penduduk (KTP), tak bisa menikmati payung JPS cuma karena persoalan administratif. "Kami dianggap warga liar," kata Arifin, warga yang tinggal di bedeng kumuh kawasan Gandaria, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Padahal kondisi kawasan bedeng tempat bernaung 17 kepala keluarga itu cukup memprihatinkan. Rumah terbuat dari papan tripleks yang ditempel-tempel sebisanya. Sementara itu, berbagai pemukiman yang relatif bebas warga miskin juga kebagian jatah JPS. Tentu saja, warga kebingungan memanfaatkan dana JPS. Di Kelapa Gading, Jakarta Timur, misalnya, uang JPS digunakan untuk membangun lapangan sepak bola. Berbagai keajaiban inilah yang membuat Masyarakat Miskin Kota (UPC), LSM yang dipimpin Wardah Hafidz, menyikapi JPS dengan tegas. "Stop JPS," ujar Wardah. Dalam sudut pandang yang lain, Adrian juga memandang penting pembatalan utang US$ 600 juta. Sebab, tanpa sasaran terarah dan kejelasan program, uang yang dihamburkan melalui JPS jadi sia-sia. Padahal, utang tetap harus dibayar. Ujungnya, utang JPS—dan semua utang pemerintah yang lain—akan memicu intertemporal equality atau ketidakadilan antargenerasi. Masih mending kalau utang itu digunakan dengan baik dan benar, sehingga manfaat utang nyata dirasakan. Kalau tidak? "Generasi mendatang cuma terbebani cicilan utang," kata Adrian. Nah, penundaan utang dari Bank Dunia ini mestinya jadi momentum penting. Melalui kasus ini, menurut Adrian, masyarakat bisa mulai merintis cara yang lebih baik. Permintaan utang luar negeri harus diputuskan secara kritis lewat debat publik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, yang wajib membayar utang juga rakyat. Singkatnya, jangan percaya bongkokan pada pemerintah. Apa Anda semua rela menyaksikan bayi-bayi lahir yang langsung menanggung beban utang warisan kakek-kakeknya? Mardiyah Chamim, Hani Pudjiarti, Mustafa Ismail, Wens Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus