Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Mega Presiden, Amien Oposisi"

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAU rambutnya banyak beruban, Herbert Feith, yang kini 68 tahun, masih bersemangat menjawab setiap pertanyaan. Doktor ilmu politik dari Cornell University Amerika Serikat itu sekarang tengah berada di Jakarta, untuk mengamati persiapan Pemilu 7 Juni 1999. Dosen tamu UGM Yogyakarta itu adalah saksi sejarah pemilu pertama Indonesia yang diselenggarakan pada 1955. Ia waktu itu bekerja sebagai staf di Volunteer Graduate Scheme for Indonesia (1951-1956) di Kementerian Penerangan RI. Dalam kesempatan bersejarah itulah Herb—begitu ia dipanggil—bertemu dengan Prof. George McTurnan Kahin dari Cornell University, seorang pengamat Indonesia terkenal. Herb kemudian diajak Kahin untuk melanjutkan studi di Cornell University mulai September 1957. Pada 1961 ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia—diterbitkan pada 1962. Saat ini Herbert Feith adalah pensiunan guru besar Monash University, Australia, dan sejak dua setengah tahun lalu ia tinggal di Yogya. Edy Budiyarso dari TEMPO mewawancarainya di Jakarta, kemudian R. Fajri melanjutkan wawancara itu di Yogyakarta. Petikan dua wawancara itu.

Bagaimana Anda melihat Pemilu 1955 dan persiapan pemilu mendatang?

Kedua pemilu itu diliputi suasana tegang. Pemilu 1955 diwarnai oleh ketegangan antara Islam dan nasionalis. Perbedaan pendapat tentang dasar negara antara partai Islam dan partai nasionalis meruncing. Konflik itu berkait dengan perang dingin antara kubu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Ketegangan yang lain, munculnya desas-desus usaha peracunan makanan pada akhir masa kampanye, September 1955. Desas-desus itu menyebutkan bahwa pelakunya adalah PKI, Masyumi, PNI, dan Darul Islam. Suasananya tegang bukan main. Ada 600 bungkus makanan yang diduga beracun dikirim ke Lembaga Eijkman untuk diteliti. Ternyata tak satu pun yang betul-betul beracun. Tetapi pada hari pencoblosan, suasana tegang menjadi cair, dan orang-orang berbondong-bondong menuju TPS dengan baju baru. Dari wajah para pemilih tersirat kegembiraan, mereka merasa telah ikut berpartisipasi menentukan arah politik bagi bangsanya.

Sedangkan Pemilu 1999 diwarnai ketegangan akibat kerusuhan di daerah-daerah, seperti Ambon dan Kalimantan Barat. Tapi kerusuhan-kerusuhan itu tidak akan mempengaruhi pelaksanaan pemilu, walaupun krisis ini bisa memunculkan rasa frustrasi masyarakat. Tapi saya tetap optimistis Pemilu mendatang akan berlangsung dengan aman. Apalagi yang sekarang ini dibahas di Komisi Pemilihan Umum tinggal hal-hal yang bersifat teknis.

Apa perbedaan suasana politik antara kedua pemilu itu?

Kesan saya, PAN dan Mega bersaing untuk mengambil lahan tengah. Itu gejala yang tidak terjadi pada 1955. Itu yang bisa kita harapkan dari pemilu yang berjalan baik, yaitu ekstrem kanan atau kiri, Islam atau anti-Islam, tidak begitu berarti. Pada 1955 unsur ideologi lebih penting daripada unsur pemimpin. Sebaliknya, pada Pemilu 1999 unsur pemimpin makin penting. Sekarang ini banyak pemilih membikin perhitungan, lebih baik memilih PAN daripada Partai Bulan Bintang (PBB), walaupun mereka suka PBB. Karena PBB tidak ada kans memenangkan kursi presiden, memberikan suara kepada PBB tidak akan menambah kans seorang yang sungguh-sungguh Islam mengalahkan Mega. Meski mereka tidak begitu tertarik pada Amien Rais, dia lebih baik daripada Mega. Kalau perhitungan semacam itu menjadi penting, itu akan berarti sistem pemilihan Indonesia sudah menjurus ke pola dua partai besar seperti di negeri Anglo Saxon.

Bagaimana situasi keamanan pada Pemilu 1955 ketika pertentangan ideologi cukup tajam?

Suasana sebelum 29 September 1955 sangat tegang. Saya dapat laporan dari banyak daerah, semua orang takut akan terjadi apa-apa. Namun mereka datang dengan pakaian bagus membawa anak-anak, dan bayi pun dibawa. Ketika menunggu pembukaan pemungutan suara masih ada perasaan tegang. Tapi setengah jam sesudahnya ternyata lancar saja, tidak apa-apa. Ada perubahan suasana yang sangat menarik, orang menjadi gembira, bangga, terharu, seperti mereka melakukan sesuatu yang penting pada hari nasional. Pengamat luar negeri banyak memberi pujian. Mengherankan sekali.

Faktor apa yang membuat Pemilu 1955 aman?

Semua partai terwakili dalam panitia pelaksana pemilu. Jadi masing-masing punya kepentingan untuk saling mengawasi. Selain itu faktor preman belum berperan dalam politik Indonesia. Satgas (satuan tugas) belum ada sama sekali, baru ada saat Banser didirikan pada 1964. Pada 1955 memang ada organisasi pemuda yang yang berwatak jagoan, tapi preman dalam arti orang-orang yang dibayar untuk melakukan pemukulan atau intimidasi setahu saya tidak ada. Ada seorang yang dibunuh akibat konflik sengit antara partai-partai besar pada awal 1954. Itu menjadi pelajaran besar, hingga pada saat itu semua orang sadar bahayanya konflik fisik. Satu hal yang memperuncing suasana adalah cara-cara kotor dalam hal pengumpulan dana kampanye. PNI, yang memerintah sampai pada awal Juli 1955, membuat sistem "lisensi istimewa". Menteri Perekonomian Iskak Tjokroadisuryo mengumpulkan dana bagi kampanye PNI dengan cara memberi lisensi bisnis. Itu menjadi kontroversial sekali. Pada waktu itu belum ada istilah money politics, tapi gejalanya sudah ada.

Ada ketakutan dalam setiap pemilu bahwa partai yang menang akan mengubah ideologi negara. Apakah ketakutan semacam itu juga akan muncul pada Pemilu 1999 nanti?

Menurut saya jarak antarkontestan sekarang ini tidak begitu besar. Dilihat dari satu sudut, Golkar lawan partai proreformasi. Partai yang bernapaskan Islam lawan yang bernapaskan nasionalisme. Tapi jaraknya tidak begitu besar. Antara Megawati dan PAN atau PBB, atau Partai Keadilan yang paling murni Islamnya, tidak jauh jaraknya. Partai-partai Islam itu merasa perlu tidak terlalu ekstrem karena takut akan kehilangan suara dan akan menguntungkan Mega. Jadi, sistem pemilihan Indonesia mulai mirip dengan sistem yang dipakai di Inggris, Amerika, Australia, dan Jerman. Di sana, praktis yang bersaing terutama hanya dua partai.

Kalau faktor pemimpin lebih berperan daripada ideologi, apakah berarti pemilu akan lebih aman?

Betul. Mega dan Amien berkepentingan menenteramkan pengikutnya supaya jangan terlalu ekstrem, jangan mencemari nama baik. Tingkah lakunya janganlah seperti tukang pukul, satgasnya jangan terlalu agresif. Mudah-mudahan tekanan mereka mengurangi bahaya konflik fisik di antara massa pendukungnya. Saya kira hal itu akan dibantu dengan adanya macam-macam LSM yang berniat menjadi wasit yang adil, yang akan memberi laporan pada pengawas pemilu.

Anda khawatir dengan satgas-satgas ini?

Satgas itu memang mengkhawatirkan. Saya dengar PAN-pun mengeluarkan uang agak banyak untuk membeli seragam untuk satgasnya. Itu suatu tanda yang buruk. Tokoh-tokoh partai berkepentingan mencegah dampak negatifnya. Adanya LSM seperti KIPP, Unifrel, dan Forum Rektor, mudah-mudahan akan mengurangi konflik fisik.

Bagaimana kekhawatiran sementara orang bahwa pemerintahan Habibie atau Golkar akan melakukan kecurangan?

Kemungkinannya sedikit. Walaupun Golkar akan sangat terpukul jika memperoleh suara sedikit, jika Golkar curang, ongkosnya besar. Habibie pribadi mungkin sudah tak punya kans menjadi presiden lagi, maka ia berharap paling baik kalau mengadakan pemilu yang jujur. Ia bisa turun dengan terhormat (tertawa keras).

Apakah pemilu yang akan datang bisa menghasilkan pemerintahan yang reformatif?

Ya, saya kira begitu. Kemungkinan besar akan terjadi suatu koalisi, seperti yang banyak diharapkan oleh Amien Rais, yang memungkinkan PDI Perjuangan, PAN, PKB, dan semuanya diwakili. Umpamanya hal itu tidak terjadi--karena tidak bisa tercipta kerja sama antara Amien dan Megawati—Megawati mungkin akan menjadi presiden. Dan PAN muncul sebagai faktor penting di dalam oposisi. Itu baik, Indonesia membutuhkan oposisi yang giat dan kuat. Kalau opisisi yang gampang diremehkan seperti pada masa Soeharto, itu tidak sehat. Jika Amien Rais tampil sebagai tokoh oposisi, orang-orang pandai akan memaksa pemerintah beramanah pada rakyat. Kesan saya, pemilu yang akan datang mulai berdampak baik untuk memberdayakan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus