Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Kolase Citra-citra Serangga Ardi

Bertolak dari aneka gambar spesies burung Alfred Russel Wallace, Ardi Gunawan membuat “boneka” dan animasi.

23 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal perupa Ardi Gunawan di Rubanah Underground Hub Jakarta.

  • Pameran berjudul

  • Bertolak dari aneka gambar spesies burung yang dibuat Alfred Russel Wallace.

KESANNYA seperti mask. Bila kita perhatikan dari jarak beberapa langkah, karya yang dipajang di dinding Rubanah Underground Hub, Jakarta, itu sekilas serupa dengan peralatan kostum karnaval seperti topeng parade. Bentuk dan ekspresinya warna-warni. Ada yang seperti memiliki tanduk, kaki-kaki yang menjuntai, ada yang seperti hiasan mahkota. Pendeknya mirip busana atau aksesori fashion untuk pawai atau keperluan pesta masquerade.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, bila kita dekati karya tersebut, segera dugaan itu meleset. Jika karya tersebut adalah topeng, ia terlalu besar untuk dipasang di wajah dan sama sekali tak ada lubang mata atau ikatan ke kepala. Bila karya tersebut adalah kostum atau hiasan pakaian, ia bukan jenis sebuah draperi yang siap pakai. Ia lebih menjurus ke toys. Terbuat dari kapas dan busa, karya tersebut menampilkan suatu bentuk amorf—yang tak bisa kita identifikasi. Namun, bila diperhatikan lebih saksama, dapat kita lihat karya tersebut menggabungkan atau mengkolasekan citra berbagai anatomi bagian tubuh burung dan insek. Kita lihat ada kepala kupu-kupu, paruh burung, sayap-sayap, serangga, dan seperti sungut belalang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran Ardi Gunawan berjudul “Sleazy Environmentalism” ini mengambil tema tentang ekologi. Namun karya Ardi tidak seperti karya kebanyakan perupa lain. Yang ia sodorkan bukan karya berupa kritik lingkungan. Ardi tidak mengangkat problem pencemaran, masalah kelapa sawit, persoalan polusi, soal limbah kimia pabrik-pabrik di sungai, atau pembuatan waduk yang mengganggu hutan dan persawahan rakyat. Secara orisinal ia tertarik pada aneka khazanah spesies burung dan serangga yang pernah didata oleh para naturalis dan penjelajah luar yang melakukan perjalanan di kawasan Nusantara, seperti Alfred Russel Wallace.

Materi dasar semua “toys” dibuat Ardi dari pindaian image, gambar, atau drawing berbagai spesies burung dan serangga yang dibuat Alfred Russel Wallace dalam magnum opus-nya, Malay Archipelago atau Kepulauan Nusantara, buku yang terbit pada 1869. Sebagaimana disebutkan di katalog, gambar yang digunakan Ardi dari image spesies burung crimson oriole atau burung kunyit mas, merpati buah tengkuk hitam, cenderawasih kuning kecil, burung astopia, sampai burung trogon merah. Juga gambar burung-burung paruh sabit hitam betina dari litografi klasik abad ke-19 karya William Hart serta litografi berwarna Elliot’s Bird of Paradise dari keluarga Paradisaeidae karya Joseph Wolf dan Joseph Smit. Selain itu, lukisan cat air riflebird jantan dan burung paruh sabit hitam (black sicklebill) dari Jacques Barraband tahun 1802.

Semua gambar yang dipulung Ardi dari dunia maya itu—ditambah beberapa kupu-kupu yang ia temukan mati di jalanan lalu difoto serta dipindainya—digabung-gabungkan membentuk suatu citra yang tidak mengarah pada sosok makhluk yang jelas. Keasyikan memadukan berbagai pindaian gambar burung, serangga, dan kupu-kupu mati menjadi citra baru yang terlepas dari bentuk dasar aslinya agaknya yang harus dinilai bila kita menakar karya Ardi. Apakah ia mampu memberikan sugesti estetik kepada pengunjung yang menonton? Apakah secara artistik “boneka-boneka”-nya cukup memberikan sensasi yang merangsang atau mengagetkan penglihatan?

Karya yang disodorkan Ardi di Rubanah jelas agak berbeda dengan karya Ardi pada tahun-tahun awal kemunculannya di belantika seni rupa kita. Ardi Gunawan, lulusan Monash University, Australia, muncul saat Biennale Jogja 2008. Saat itu ia menyajikan karya berjudul Relocation for an Occasion. Ardi mengumpulkan bahan dari berbagai studio perupa di Yogyakarta yang sudah dibuang atau dianggap tak berguna. Sampah-sampah dari studio para perupa ini kemudian dikonstruksi menjadi sebuah instalasi besar yang kesannya berupa konstruksi tumpukan kursi atau bangunan kayu/rotan yang hendak roboh. Konstruksi yang doyong seakan-akan sedikit saja bisa menimpa pengunjung yang melintas.

Instalasi berupa karya animasi delapan layar karya Ardi Gunawan.

Karya Ardi saat itu terasa penuh perhitungan arsitektural. Untuk menciptakan suasana dramatik pada instalasinya, Ardi dibantu musikus Wukir Suryadi. Wukir dikenal sebagai musikus eksperimental. Ia banyak membuat instrumen musik sendiri dari berbagai bahan yang terbuang, seperti alat bajak. Kolaborasi mereka terasa cocok.

Dalam pameran di Rubanah ini juga disajikan karya animasi (animated video montage). Ada delapan layar kaca animasi. Sepintas animasinya berbentuk pop—sosok hewan-hewan kartun dalam panorama gunung. Karyanya tidak langsung menyedot dan mengentak mata bila kita tak memperhatikan detailnya. Sama seperti karya “boneka”, semua materi dasar animasi diambil Ardi dari khazanah burung dan botani yang digambar para naturalis kemudian dibuat montase dan didigitalkan. Data gambar Alfred Russel Wallace, seperti gambar katak, belalang, dan insek, misalnya, diolah Ardi.

Selain itu, ilustrasi reptil, burung kakatua, orang utan, primata, tengkorak, dan lukisan-lukisan lanskap Nusantara yang dibuat oleh naturalis Johannes Müller dan Josias Cornelis Rappard. Juga lukisan-lukisan lanskap dan Kebun Raya Bogor abad ke-19 koleksi Tropenmuseum, Belanda, yang diunduhnya secara online. Semua itu dikolasekan, dirakit dengan aneka gambar GIF yang diambil dari Instagram. Salah satu benang merah karya lama Ardi dengan karya barunya, seperti dikatakan kurator Mitha Budhyarto, adalah cara kerja Adi yang memulung. Di Biennale Jogja, ia memulung sampah fisik untuk dijadikan konstruksi arsitektural. Sementara itu, untuk karya animasi, ia memulung konten atau sampah visual GIF di Instagram melalui pencarian kata seperti #hunting, #bugs, dan #birdofparadise.

Tema yang bertolak dari riset para naturalis sesungguhnya jarang disentuh perupa kita. Belum ada yang mengeksplorasi dunia ini untuk dijadikan karya menarik. Padahal data mengenai riset para naturalis banyak tersaji. Disertasi penulis Bandung, Hawe Setiawan, mengenai gambar-gambar naturalis Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung yang telah dibukukan dengan judul Sunda Abad 19: Tafsir atas Ilustrasi-Ilustrasi Junghuhn, misalnya, bisa menjadi data menarik untuk titik tolak sebuah karya seni rupa. Hawe menginventarisasi semua gambar botani yang dibuat Junghuhn saat melakukan ekspedisi di tanah Sunda dan menganalisisnya.

Ardi Gunawan, melalui pameran di Rubanah ini, bisa disebut memelopori sebuah karya yang bertolak dari data para naturalis. Persoalannya, karya Ardi terlalu sederhana. Juga malu-malu. Hingga tak tampak terasa bahwa studinya adalah berdasarkan gambar Alfred Russel Wallace dan para naturalis lain yang menyusuri Nusantara (kecuali apabila kita membaca katalog online). Di ruang pameran sendiri tidak terlintas bahwa karya-karyanya berkaitan dengan riset besar tersebut karena sama sekali tak ada tanda-tanda mengenai hal itu.

Andai saja buku Malay Archipelago dan kopian gambar spesies yang dibuat Wallace (misalnya gambar terkenal katak pohon yang dapat terbang) atau contoh drawing dan kopian buku Rappard dihadirkan di ruangan, tentu suasana kaitan antara karya dan sejarah penelitian para naturalis lebih terasa saat pengunjung masuk ke Rubanah.

Rappard (1824-1898) kita ketahui adalah kolonel Tentara Kerajaan Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/KNIL) yang banyak menghasilkan litografi dan ilustrasi tentang suasana alam Indonesia. Semua karyanya kini disimpan di The Royal Tropical Institute, Amsterdam.

Bila contoh-contoh demikian disajikan, tentu pameran ini akan lain daripada yang lain. Suatu pameran yang mengeksplorasi data sains dan petualangan ilmiah besar. Dengan tidak adanya hal demikian, jangan disalahkan bila ada pengunjung mengira-ngira poin atau gagasan utama pameran Ardi Gunawan adalah tentang topeng atau perlengkapan karnaval.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus