Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aditya Novali menggelar pameran tunggal di Museum Tumurun, Solo, 26 Maret-26 September 2022.
Menampilkan enam karya lama dan baru.
Dipengaruhi latar belakangnya sebagai arsitek.
SEBUAH toko bangunan dadakan berdiri di sudut ruang pameran di lantai dua Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah. Jika lazimnya toko bangunan hanya menjual batu bata berukuran standar, toko ini tidak demikian. Toko tersebut menawarkan jenis material itu dalam beragam ukuran. Di depan toko, terpajang batu bata jumbo dengan label “extra edition” yang berukuran sekitar 120 x 15 x 60 sentimeter. Ada pula batu bata yang sangat mini. Ukurannya hanya sebesar penghapus. Material tersebut ditawarkan dengan diskon 90 persen. Batu bata berbentuk bengkok pun dijual di sana. Toko seluas 12,5 meter persegi ini makin nyeleneh karena menjual meteran dengan angka yang tidak komplet. Toko absurd ini adalah karya instalasi Aditya Novali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya itu menjadi bagian pameran tunggalnya yang bertajuk “WHY” di Museum Tumurun, 26 Maret-26 September 2022. Seni instalasi yang diberi nama NGACO: Solution for Nation ini menarik perhatian pengunjung museum karena out of the box dan cenderung satire. Dalam konteks Indonesia, NGACO seperti memotret tindak culas pelaku usaha ataupun pemerintah yang memainkan presisi bahan bangunan hingga berujung korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu keselamatan kerja turut diangkat dengan menjejerkan helm pengaman yang retak dan berlubang di toko bangunan fiktif tersebut. NGACO juga seperti sindiran halus atas sulitnya masyarakat mengakses rumah murah yang berkualitas serta berkurangnya ruang publik yang layak. Namun karya yang pernah dipamerkan di Mori Art Museum and The National Art Center, Tokyo, pada 2017 ini ternyata tak hanya menyoroti sisi kelam Indonesia. “Wajar saja bila orang berpikir ke sana (korupsi infrastruktur, isu keselamatan kerja, dan problem perumahan). Itu sudah seperti ada di alam bawah sadar kita kalau bicara tentang Indonesia. Namun realitas yang kacau-balau dan serba tidak standar ini kadang bikin kita lebih kuat dan adaptif,” ujar Aditya Novali saat berbincang dengan Tempo, Rabu, 20 April lalu.
Significant Other: Her and His World(s) karya Aditya Novali. Dok. Museum Tumurun/Aditya Novali
Embrio NGACO: Solution for Nation muncul pada 2014, saat karya itu mulai dipamerkan di Ark Galerie, Yogyakarta. Namun ketika itu konsep ataupun material yang disajikan Aditya Novali belum sekompleks sekarang. Karya NGACO yang ditampilkan di Solo adalah generasi ketiga. Aditya mengakui latar belakangnya sebagai arsitek cukup mempengaruhinya dalam berkarya.
Lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ini banyak menyelami ruang, bentuk, dan struktur. Rasio dan perhitungan yang detail juga kentara pada karya seniman asal Solo itu. “Masa kecil saya sebenarnya lekat dengan dunia seni. Saat usia taman kanak-kanak, saya sering ikut lomba melukis, saat sekolah dasar giliran jadi dalang wayang kulit. Keputusan banting setir ke dunia arsitektur saat kuliah sebenarnya mengalir saja. Saya pikir pilihan ini enggak salah juga. Dengan latar belakang itu, saya lebih mudah berpikir teknis, sistematis,” ucap peraih gelar master bidang desain konseptual dari Design Academy Eindhoven, Belanda, ini.
Setelah bermain-main dengan rasionalitas dalam NGACO, Aditya Novali melanjutkannya dalam Significant Other: Her and His World(s). Karya ini menggambarkan hubungan Aditya dengan adik perempuannya, Ade, 36 tahun, yang memiliki kebutuhan khusus karena menyandang down syndrome. Aditya menggunakan teknologi augmented reality sebagai media untuk menampilkan karyanya bersama sang adik.
Via aplikasi Artivive, pengunjung bisa menyelami ribuan koleksi gambar Ade dengan mengarahkan telepon seluler pintar ke karya bermedia cat di atas kaca akrilik (plexiglass) yang dibikin Aditya Novali. “Awalnya saya ingin menampilkan langsung koleksi gambar adik. Namun adik saya ternyata sangat protektif terhadap karyanya. Gambar-gambar tidak boleh ada yang dibawa keluar, harus tersimpan rapi di lemari,” tuturnya. Pada akhirnya, masalah yang sangat manusiawi ini justru bisa dipecahkan dengan teknologi.
Selain menampilkan NGACO dan Significant Other, Aditya membawa enam karya dalam “WHY”, yakni Conversation Unknown, Painting Sense, Caprice, When I Search…, Tea: One Ceremony, dan Structures of Representation. Deretan karya seri itu mewakili perjalanan artistiknya satu dekade terakhir. Aditya mengaku senang bisa menggelar pameran tunggal di Solo, kampung halamannya. Selama ini seniman 42 tahun itu memang lebih dikenal di Jakarta dan luar negeri. Karyanya berlanglang ke belasan negara di empat benua sejak ia meniti karier sebagai seniman pada 1990-an.
Sejumlah pengunjung berfoto di antara karya Aditya Novali dalam pameran tunggal bertajuk WHY di Museum Tumurun, 20 April 2022. TEMPO/Chrisna Chanis Cara
Di Solo, dia membawa beberapa karya yang belum pernah ditampilkan, yakni Caprice, NGACO (generasi ketiga) dan Structures of Representation. Suasana pameran tunggal Aditya di Museum Tumurun cukup intim dan nyaman. Pengelola museum membatasi jumlah pengunjung per sesi maksimal 40 orang. Ada tiga sesi per hari dengan durasi kunjungan masing-masing satu jam.
Seorang pengunjung, Cendikiawati, 54 tahun, sengaja datang jauh-jauh dari Surabaya bersama suaminya untuk menyaksikan “WHY”. Dia mulai mengenal karya Aditya ketika sang seniman berpameran di Singapura. Saat itu dia langsung kepincut karya bertajuk The Wall: Asian (Un)real Estate Project yang mengkritik perumahan dan problem sosial di dalamnya. “Jarang sekali seseorang dengan latar belakang arsitek terjun penuh ke dunia seni. Jika ada pun sisi emosionalnya lebih kuat, karyanya sulit dicerna. Saya melihat kekhasan pola pikir arsitektur sangat memperkaya konsep karya seni seorang Aditya Novali,” katanya.
Pengunjung lain, Natalia Kristiani, 22 tahun, merasa tercerahkan setelah melihat karya-karya Aditya. Dia paling terkesan pada Structures of Representation, karya bermedia 21 batang seng persegi panjang berbalut kanvas yang dapat diputar. “Ada nilai seni yang tak terduga ketika kita membolak-balik karya itu. Gambar random pun bisa memiliki makna,” ujar mahasiswa perguruan tinggi di Solo tersebut.
Pemilik Museum Tumurun, Iwan Kurniawan Lukminto, memandang Aditya Novali sebagai salah satu seniman serba bisa karena mampu bermain di banyak media. Iwan memuji tekad Aditya yang terus bereksperimen dengan media baru sehingga karya seninya tidak berjalan di tempat. “Tantangan terbesar seorang seniman adalah dirinya sendiri. Bagaimana mereka bisa keluar dari zona nyaman untuk terus menciptakan karya baru dengan pemikiran, konsep, teknik, dan media yang berbeda tanpa meninggalkan identitasnya,” ucap Wakil Direktur Utama Sritex itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo