Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cannes, Timbuktu, dan Suriah

Film-film dunia Islam begitu menonjol dalam Festival Cannes 2014.

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Cannes, Timbuktu, dan Suriah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sama sekali tak menggebu-gebu. Sutradara Turki, Nuri Bilge Ceylan, begitu tenang ketika menyampaikan pidato kemenangannya. Di podium kaca, Ceylan meletakkan Palme d'Or yang baru saja dia terima dari sutradara Quentin Tarantino dan aktris Uma Thurman. Di sisi kiri panggung, duduk sembilan juri yang memilih Winter Sleep karya Ceylan sebagai film terbaik Festival Cannes 2014.

Dari balik kacamatanya, Ceylan memandang sekitar 2.300 hadirin di Gedung Lumiere, tempat acara puncak Festival Film Cannes 2014 berlangsung pada Sabtu dua pekan lalu. "Kemenangan ini saya persembahkan bagi kaum muda Turki yang sebagian tewas dalam kejadian tahun lalu," katanya dalam nada rendah.

Anak-anak muda yang dimaksud Ceylan tewas dalam gelombang demonstrasi di Lapangan Taksim Gezi pada 2013 untuk memperjuangkan reformasi politik di Turki.

Winter Sleep atau judul aslinya Kis Uykusu adalah satu dari sejumlah film yang datang dari atau berbicara tentang "dunia Islam"-yang masuk seleksi resmi Cannes 2014. Di kategori Kompetisi, selain Kis Uykusu, ada dua film lain: Timbuktu karya Abderrahmane Sissako, tentang merajalelanya kaum radikal di Timbuktu, sebuah kota di Mali, Afrika Barat, dan The Search karya Michel Hazanavicius, tentang Chechnya semasa perang melawan Rusia.

Di kategori Seance Speciales, pemutaran khusus, terdapat film Eau Argentee, Sirie Auto-Portrait (Silvered Water, Syria Self-Portrait) karya Usamah Muhammad atau Ossama Mohammad dan Wiam Simav Bedirxan; dan Les Ponts de Sarajevo karya delapan sutradara Eropa, termasuk sutradara Bosnia, Aida Begic, dan empu sinema Nouvelle Vague Prancis, Jean-Luc Godard.

Dilihat lebih jauh lagi, keterlibatan sineas dari dunia Islam juga tampak pada dewan juri Cannes 2014 di berbagai kategori. Aktris Leila Hatami, misalnya, merupakan juri di Kompetisi, dan empu Abbas Kiarostami Ketua Dewan Juri Film Pendek dan Cinefondation.

Yang menarik, semua film dari atau tentang dunia Islam di Cannes 2014 ini menampilkan keberagaman total. Winter Sleep merupakan sebuah drama pelik di tengah desa wisata di Anatolia. The Search eksplisit membicarakan penderitaan rakyat sipil Chechnya korban kebrutalan tentara Rusia di sana. Adapun Timbuktu berkisah tentang merajalelanya kelompok fundamentalis yang memaksakan syariah versi mereka. Silvered Water adalah film dokumenter tentang perang saudara di Suriah.

l l l

Winter Sleep mungkin film yang dalam beberapa hal agak mirip dengan film Indonesia masa lampau. Hampir tak ada yang berpakaian dengan identitas keislaman eksklusif, seperti jilbab, sorban, dan kopiah. Tak ada orang yang sebentar-sebentar berdoa atau membaca ayat suci. Satu-satunya identitas keislaman yang agak kerap terdengar hanyalah ucapan salam.

Winter Sleep-mungkin tanpa disadari-menggambarkan dunia Islam sebagai masyarakat biasa saja sebagaimana masyarakat dunia lain. Normal, wajar. Ada ibu-ibu berkerudung, tapi itu bukan ciri eksklusif masyarakat tersebut. Tak pelak, Winter Sleep merupakan film yang sangat tepat untuk berbicara kepada dunia bahwa masyarakat Islam bisa sangat "biasa".

Berlatar sebuah lokasi wisata di kawasan Anatolia, Turki, cerita Winter Sleep bertumpu pada suami-istri Aydin (Haluk Bilginer), pensiunan aktor paruh baya yang telah masuk masa mapan, dan Nihal (Melisa Sozen), perempuan muda yang masih penuh semangat. Aydin, yang di berbagai adegan digambarkan sebagai seorang yang kini menjadi penulis lepas di koran lokal, ternyata adalah tuan tanah di situ. Dengan cerdas Ceylan menjalin kesaling-terhubungan yang tak terduga. Yang menakjubkan, sebagian besar persoalan dibongkar melalui percakapan-percakapan panjang di ruang kecil, yang minim aksi. Dengan aktor yang sebagian besar berdialog sembari duduk atau berdiri di tempat yang sama selama belasan menit.

Itu tentu sangat berisiko, lebih-lebih durasi film ini dua kali lipat dibanding film di bioskop kebanyakan: 3 jam 16 menit. Tapi Winter Sleep sama sekali jauh dari membosankan. Ketua juri, sutradara perempuan Selandia Baru peraih Palme d'Or 1993, Jane Campion, mengatakan sempat cemas bakal beberapa kali pergi ke toiletmengetahui panjangnya film ini. "Ternyata saya malah bisa bertahan beberapa jam lagi. Film itu begitu indah. Saya melihat diri saya sendiri dalam setiap tokoh," ucap Campion.

Adapun Timbuktu karya sutradara Mauritania, Abderrahmanne Sissako, merupakan film yang penuh ayat dan ajaran. Tapi itu karena menggambarkan kebrutalan di Timbuktu, saat kaum radikal Islam menguasai kawasan di Mali, yang penuh situs dilindungi itu.

Sissako tergerak membuat film ini setelah mengetahui tewasnya satu pasangan di Aguelhok, kota kecil di utara Mali, pada Juli 2012. "Tapi bukan cuma kejadian itu (yang melukai saya), lebih-lebih fakta bahwa pada zaman smartphone dan Internet ini dunia tak ada yang membicarakannya," kata Sissako saat jumpa pers.

Timbuktu disusun dalam sketsa-sketsa kecil, yang pada titik tertentu saling berhubungan. Percakapan berlangsung dalam bahasa Arab, Tourage, Prancis, dan bahkan Inggris. Ada petugas penguasa baru yang berkeliling desa dengan sepeda motor, mengumumkan dengan pelantang suara apa saja yang dilarang: musik, sepak bola, dan lain-lain. Juga kewajiban yang mesti dipenuhi warga.

Ada beberapa adegan yang mengguncang. Seorang anak perempuan ditangkap saat menggunakan telepon-karena bertelepon dengan yang bukan muhrim. Sekelompok anak muda, lelaki-perempuan, menyanyikan lagu tradisional yang begitu indah-diiringi gitar tradisional Mali-ditangkap. Yang lebih mengguncang, si gadis penyanyi yang dihukum 20 kali cambuk karena menyanyi dan 20 kali cambuk karena berada bersama non-muhrim di ruang tertutup. Tanpa dramatisasi, adegan pencambukan berlangsung.

Berbagai sketsa peristiwa dalam Timbuktu, yang hampir semuanya berdasarkan kisah nyata, dimainkan oleh sebagian besar orang biasa. Pengambilan gambar tidak berlangsung di Timbuktu, melainkan di kota tua Oualata di Mauritania tenggara. "Ini kota yang sangat mirip dengan Timbuktu," kata Nicolas Napitulu, keturunan Indonesia-Prancis yang menjadi salah satu asisten sutradara Timbuktu. Oualata sebetulnya merupakan kota yang memiliki peradaban lebih awal ketimbang Timbuktu. Kota itu salah satu pusat Islam tertua di Afrika.

l l l

Di luar Kompetisi, di seleksi resmi Cannes juga terdapat Silvered Water: Syria Self-Portrait, film dokumenter karya Usamah Muhammad (Ossama Mohammad) dan Wiam Simav Bedirxan, tentang perang saudara di Suriah. Film ini diputar di Seance Speciale-pemutaran khusus Non-Kompetisi.

Bukan untuk pertama kalinya Usamah Muhammad masuk Festival Cannes. Pada 2002, karyanya, Sunduq al-Dunya (The Box of Life), masuk seleksi Un Certain Regard. Namun, sejak 2010, sineas Suriah ini jadi pengungsi politik di Prancis. Dari hari ke hari Usamah mengikuti perkembangan Suriah lewat YouTube. Dia merasa bersalah dan jadi pengecut karena menyelamatkan diri ke Prancis, menghindari risiko kehancuran sebagaimana dialami ribuan warga Suriah lain.

Dalam perasaan bersalah itu, suatu hari ia dihubungi Wiam Simav Bedirxan, perempuan Kurdi guru taman kanak-kanak di Homs-kota di barat Suriah yang hancur lebur. Di ruang chatting Internet, Simav bertanya apa yang akan difilmkan Usamah jika saat itu ia berada di Homs dan bukan di Paris. Jadilah proyek ini: hasil mengamati YouTube dan ber-chatting dengan Simav-bahasa Kurdi yang artinya air keperakan, yang dijadikan judul film ini.

Begitulah, Silvered Water merupakan karya bersama Usamah, Simav, dan-kata Usamah pada awal film-"1001 youtubers". Tentu 1001 adalah angka simbolik, mengacu pada dongeng klasik Arab Kisah 1001 Malam. Potongan-potongan gambar dalam film itu memperlihatkan kekejaman tentara Bashar al-Assad terhadap warga sipil Suriah. Ada pemuda yang disiksa habis-habisan, ditelanjangi, diinjak-injak, diharuskan menciumi foto Bashar al-Assad, disodomi dengan kayu.

Dari sekian banyak potongan gambar, ada dua yang berulang kali dipasang di beberapa bagian Silvered Water, yakni pemotongan ari-ari bayi yang baru lahir, dan seorang anak muda yang ditelanjangi dan disiksa. Gambar pemotongan ari-ari seperti ritual tentang hidup yang baru dimulai, yang ternyata cuma harapan kosong di Suriah.

Ging Ginanjar (Cannes)


Ateis di Tengah Ayatullah

Iranien atau Iranian, orang Iran, adalah film dokumenter yang diupayakan seorang ateis dari Iran bernama Mehran Tamadon. Gagasannya adalah melakukan suatu eksperimen tentang ruang hidup bersama antara dirinya sebagai seorang ateis dan beberapa orang saleh.

Dia mempertanyakan mengapa orang semacam dia seakan-akan tak punya hak. "Saya juga orang Iran, mengapa tak ada yang disebut ruang bersama dalam kehidupan di Iran?"

Eksperimen itu dilakukan Tamadon di rumah keluarganya di sebuah desa di luar Teheran. Secara periodik Tamadon, yang bermukim di Paris bersama istrinya, perempuan Prancis, dan tiga anaknya, datang dan tinggal di rumah berkebun luas itu.

Mehran Tamadon meyakinkan empat pemuka agama untuk melakukan eksperimen itu. Selama dua hari, Ali Khosh-Chasm, Morteza Babai, Rouhallah Sheykh ol Eslam, dan Ahmad Jokar tinggal bersamanya di rumah itu. Mereka berbicara, berdebat, merumuskan kepentingan bersama-juga masak dan makan tentunya.

Mehran Tamadon lahir di Teheran pada 1972. Ia baru berumur tujuh tahun ketika revolusi Islam Iran yang dipimpin Khomeini meletus. Sejak 1984, ia hidup di Prancis-memegang dwikewarganegaraan. Iranian merupakan karya kedua Tamadon. Karya pertamanya, Bassidji (2009), mengenai paramiliter Iran, Basij.

Kepada keempat tamunya pembela Republik Islam Iran yang alim itu, Tamadon blakblakan mengaku sebagai seorang ateis sejati. Begitu orang-orang itu datang, sudah langsung terlontar ledekan kepada dirinya. "Di mana masjid di sini?" Seterusnya adegan-adegan berpusat di ruang tengah. Di atas karpet Persia yang tampak nyaman, keempat ulama itu duduk berdebat melawan Mehran Tamadon. Topik debat pertama seputar sistem sekuler versus sistem Islam Iran. Dalam sistem sekuler, kata Tamadon, orang ateis seperti dirinya berhak mendapat tempat. Begitu juga orang alim seperti keempat tamunya.

Tapi percakapan paling dominan adalah tentang peran perempuan: hak perempuan untuk berjilbab atau tidak berjilbab. Percakapan berlangsung santai, penuh gelak tawa. Namun semua pihak kukuh. Tiba saatnya waktu salat, keempatnya salat, didahului azan. Sedangkan Tamadon memisahkan diri.

Tatkala jam makan, mereka masak bersama. Kaum bersorban itu ikut memotong bumbu dan daging, memasangnya di batang pemanggang, menyiapkan api, dan menyate daging yang mereka siapkan. Tatkala menunggu satenya matang, mendadak salah satu ulama itu berkata, "Laki-laki itu sangat cepat terbangkitkan secara seksual, itu alamiah. Kalau perempuan tidak," katanya. Bagian yang lucu adalah ketika Tamadon diajari wudu dan diajak salat. Tamadon sang ateis tak bisa menolak. Ia mengikuti semuanya. Tapi Tamadon tampak santai. Seusai salat, ia menanyakan soal rakaat, tentang tata cara salat yang lebih detail.

Iranian, bisa diduga, tidak diakui sebagai produksi Iran. Secara resmi pemutaran Iranian di Marche du Film di Cannes dilakukan atas nama Doc & Film International, Prancis.

Ging Ginanjar (Cannes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus