Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menolak Teror dan Fatwa

Dunia internasional kerap gagal mengakui perjuangan muslim menentang ekstremisme. Buku ini mencatat kegigihan itu.

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Menolak Teror dan Fatwa
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Your Fatwa Does Not Apply Here: Untold Stories from the Fight against Muslim Fundamentalism
Penulis: Karima Bennoune
Penerbit: New York: Norton, 2013
Tebal: 402 halaman

Jika semuanya sudah mereka bunuh, masih adakah nanti muslim yang tersisa?" Itu pertanyaan retoris Djingarey Maiga, muslim pegiat hak-hak asasi manusia dan aktivis perempuan di Mali, yang marah melihat teror yang ditebar kalangan muslim ekstremis di negaranya beberapa tahun terakhir. Maiga terus bersuara keras menentang teror-teror itu, meski beberapa koleganya terbunuh.

Kalau Maiga di Mali, di Afganistan ada Syed Ahmad Hosaini, ulama Syiah yang kini bekerja mengajarkan hak-hak kaum perempuan. "Dengan sorban dan jenggot putihnya yang panjang, dia tidak tampak seperti bayangan banyak orang mengenai sosok pegiat hak-hak kaum perempuan," tulis Karima Bennoune tentangnya. Sebelumnya, mantan mujahid ini bekerja membantu keluarga pengungsi Afganistan di Iran.

Meski hati-hati agar tidak sembarang generalisasi, Bennoune menulis dengan narasi yang lancar dan mudah dicerna. Dalam banyak kesempatan, dia membiarkan sumbernya berbicara sendiri dengan banyak kutipan langsung. Emosinya kadang tak tersembunyikan. Inilah yang membetot minat saya untuk terus mengikuti subyek-subyeknya.

Judul buku ini diilhami jawaban murid-murid Bulha Shah, seorang sufi di India, ketika mereka menentang teror kaum fundamentalis yang memandang tarian dan nyanyian sufi mereka haram. "Fatwa kalian tidak berlaku di sini," kata mereka.

Jika sempat membaca mengenai Boko Haram, kelompok ekstremis yang baru-baru ini menculik anak-anak perempuan, Anda semestinya sudah punya gambaran mengenai kelompok ekstremis yang ditentang Peerzada, Hosaini, murid-murid sufi di atas, dan sejumlah nama yang berbagi cerita di buku ini. Atas nama kemurnian Islam, mereka menggunakan kekerasan untuk menerapkan syariah versi mereka dan menegakkan negara Islam. Bagi Bennoune, mereka adalah gerakan politik sayap kanan, seperti fasisme di Eropa dulu, yang memanipulasi agama untuk kepentingan meraih kekuasaan.

Bennoune, kini guru besar hukum di University of California di Davis, Amerika Serikat, lahir di Aljazair. Sebagai anak intelektual publik yang pada 1990-an memilih tetap tinggal di negaranya sambil menentang ancaman kalangan ekstremis, Bennoune sudah lama merasakan teror itu. Ketika suatu hari pintu rumah mereka diketuk, Bennoune kecil lari ke dapur untuk mengambil pisau. "Saya mungkin tak bisa membela ayah saya dengan pisau dapur, tapi itulah yang saya lakukan kala itu," ujarnya di halaman pembuka buku ini.

Sayangnya, upaya yang dilakukan orang-orang seperti ayahnya itu tak banyak memperoleh perhatian dan dukungan. Padahal, "Perjuangan mayoritas muslim menentang ekstremisme adalah salah satu perjuangan HAM yang paling penting di dunia, tapi juga yang paling diabaikan."

Dalam analisisnya, ini terjadi karena dua sebab. Pertama, banyak pihak di Barat yang memandang kaum muslim sebagai ekstremis, karena Islam pada pokoknya mengajarkan ekstremisme. Islamofobia bermula dari pandangan ini, baik yang dikatakan secara terbuka maupun tidak. Yang kedua, terutama di kalangan yang disebutnya "kiri", banyak pihak yang tidak mampu atau mau mengakui ancaman ekstremisme ini. Seperti Islamofobia, pandangan ini juga membuat loyo perlawanan menentang ekstremisme.

Bennoune mengajak kita melampaui dua stereotipe itu. Ia yakin kelompok yang berada di tengah itu banyak-Sunni atau Syiah, taat atau kurang taat. Dengan mengakui peran mereka, kita juga sedang memberi dorongan kepada mereka sambil menyebarluaskan pesan-pesan mereka.

Membaca buku ini di Jakarta, saya bersyukur tapi juga khawatir. Ancaman ekstremisme di Indonesia tidak (atau belum?) semengerikan di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Tapi sudah banyak laporan media massa dan studi ilmiah mengenai gejala "Pakistanisasi Indonesia", yang memperlihatkan menguatnya ancaman itu. Seperti ujaran kebencian (hate speech), sambil mengkafirkan kelompok tertentu, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang disampaikan di forum-forum pengajian, bahkan khotbah Jumat.

Buku ini sangat penting dibaca. Pertama untuk menunjukkan betapa berbahayanya ancaman ekstremisme Islam itu. Tapi, yang lebih penting, kedua, untuk melakukan sesuatu agar ancaman seperti itu bisa diatasi secara cepat dan tepat.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, dan pengajar Paramadina Graduate School, Jakarta).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus