Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perenang paralimpik Laura Aurelia Dinda pernah depresi sampai ingin bunuh diri setelah terpeleset jatuh di kamar mandi.
Semula Dinda menolak disebut difabel.
Saat pertama kali mengikuti lomba tingkat ASEAN, Dinda memecahkan rekor.
WAJAH Laura Aurelia Dinda tampak sumringah saat membeberkan daftar rasa syukur yang menggembirakan di hatinya. “Gara-gara kejadian itu, aku menang lomba tingkat nasional dan internasional, jadi brand ambassador dan bintang iklan,” kata Dinda, lalu tersenyum, Ahad, 6 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, perenang putri Paralimpiade yang menyumbangkan dua emas ASEAN Para Games 2017 bagi Indonesia tersebut diundang menjadi pembicara dalam acara daring (online) “Belajar Bersama Manda” untuk berbagi inspirasi dengan para remaja. “Sekarang pekerjaanku juga jadi pengisi acara,” tuturnya kepada Tempo lewat Zoom, Kamis, 10 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula Dinda adalah atlet renang normal. Hidupnya berubah drastis setelah ia terpeleset di kamar mandi mes atlet di Semarang, lima tahun lalu. Dinda, yang saat itu masih duduk di kelas II sekolah menengah atas, sedang mengikuti Pekan Olahraga Pelajar 2015. Ia jatuh terduduk dengan keras hingga membuatnya menangis kesakitan. Rasa nyeri itu sudah tak terasa keesokan harinya. Dinda bisa bertanding dan membawa pulang medali perunggu. Dia tak menyangka itu hari terakhir ia bisa berlomba dengan kondisi tubuh normal.
Efek jatuh tersebut baru ia rasakan sebulan kemudian. Saat itu Dinda sedang duduk berselonjor. Ketika berusaha menggapai telepon seluler di dekatnya, ia mendengar bunyi krek. Tak lama kemudian, ia menjerit karena merasakan nyeri luar biasa di paha kanan. Dinda diboyong ke rumah sakit setelah tak kuat menanggung sakit.
Dokter unit gawat darurat yang memeriksa Dinda tak menemukan masalah di paha kanannya. Menurut sang dokter, Dinda bereaksi berlebihan. Ibu Dinda, Ni Wayan Luh Mahendra, yang tak pernah melihat anaknya kesakitan seperti itu, meminta dokter menggunakan roentgen. Namun hasilnya tetap nihil. “Tuh, kan, anaknya saja yang lebai,” ucap Dinda mengingat omongan dokter tersebut.
Wayan berkukuh ada yang salah dengan tubuh anaknya. Ia meminta Dinda dirawat inap. Dokter yang tak kunjung menemukan penyebab nyeri itu malah menuding Dinda hanya mencari perhatian. Mereka baru menemukan bahwa tulang belakang Dinda remuk pada hari ketiga perawatan. Patahan tulang itu menjepit saraf. Inilah yang memicu rasa nyeri di paha kanan Dinda. Sejak saat itu, selama berbulan-bulan ia hanya bisa terbaring di tempat tidur.
***
ORANG tua Dinda memintanya berlatih renang sejak dia masih bocah karena penyakit yang ia derita. Ketika itu Dinda, yang tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, sering sakit pilek, batuk, dan sesak napas akibat menghirup asap kebakaran hutan. Menurut dokter yang mengobati, renang bisa memulihkan kondisi fisik Dinda. “Daripada minum obat terus, lebih baik renang saja,” kata Wayan Luh Mahendra menirukan ucapan dokter itu.
Wayan dan David Haliyanto, ayah Dinda, mulai mempraktikkan saran dokter itu ketika mereka pindah ke Bogor, Jawa Barat. Saat itu Dinda duduk di kelas II sekolah dasar. Mereka mulai membawa Dinda ke kolam renang, tapi Dinda kecil masih ogah nyemplung. Ia baru tertarik berenang setelah melihat kawannya yang tak berprestasi di kelas ternyata menjuarai kompetisi renang. Dinda, yang merupakan juara kelas, tak mau kalah oleh temannya tersebut.
Dinda kemudian ikut les renang. Setelah beberapa kali latihan, ia diikutkan dalam lomba dan meraih tempat ketiga. “Waktu itu Dinda aslinya nomor empat, tapi ada salah satu juara yang didiskualifikasi. Dia akhirnya naik jadi juara ketiga. Senangnya minta ampun,” tutur Wayan. Pengalaman itu membuat Dinda makin bersemangat belajar berenang.
Orang tua Dinda kemudian memindahkannya ke Cimahi, Kabupaten Bandung, agar bisa masuk ke klub renang bonafide di Kota Bandung. Tiga kali dalam sepekan, Dinda bangun sekitar pukul 03.00 untuk berangkat latihan pagi. Ia diboncengkan ibunya dengan sepeda motor menuju kolam di daerah Kota Bandung. “Kadang, kalau saya belum bangun, hidung saya ditowel-towel sama dia,” ujar Wayan.
Selepas latihan, Dinda pulang ke Cimahi untuk bersekolah dan mengikuti les. Sorenya, ia kembali ke Kota Bandung untuk belajar berenang. Rutintitas itu dilakoninya bertahun-tahun. Ia menjadi perenang wanita terbaik nomor jarak jauh dan menjuarai berbagai perlombaan.
Meski Dinda berkali-kali menjuarai pertandingan, orang tuanya menuntut anak tunggal itu tetap bisa mendapatkan peringkat di kelas. Waktunya disibukkan dengan sekolah, les, dan latihan renang. Kalau sudah kelelahan, dia meminta ibunya membacakan materi pelajaran sekolah yang belum ia pahami. Keluarga Dinda pindah ke Solo, Jawa Tengah, saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Dengan berbagai lomba yang Dinda menangi, dia sudah merancang rencana masuk ke Jurusan Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menggunakan jalur prestasi selepas lulus SMA. Namun angan-angan itu pupus seusai tragedi jatuh dari kamar mandi tersebut. Keyakinannya bisa pulih seperti sedia kala ambrol setelah berbulan-bulan terapi yang ia lakoni tak membuahkan hasil. Bayangan masa depan yang telah ia rencanakan buyar.
Dinda, yang terbiasa aktif sepanjang hari, hanya bisa terbaring di tempat tidur. Untuk ke kamar kecil dan mengambil makanan pun ia harus meminta bantuan orang lain. “Aku capek, merasa enggak berdaya,” ucapnya.
Kondisi itu membuat ia marah. Ia sering mengamuk dengan melempar barang dan mengomel sepanjang hari, termasuk mengusir kawan-kawannya yang datang menjenguk. Ia sebal dengan nasihat agar ia tetap bersemangat. “Mereka itu enggak tahu apa yang aku rasakan,” tuturnya. Dinda hanya mau menerima kawan yang lebih banyak mengajak ia bercanda dan menceritakan hal-hal menarik yang terjadi di sekolah.
Melihat anaknya uring-uringan, Wayan memilih diam. Ia mendengarkan semua omelan Dinda dan membiarkannya membanting barang. Ketika luapan emosi itu mereda, ia baru mengelus Dinda, mengajaknya makan, atau menonton televisi.
Keadaan itu rupanya memicu munculnya emosi yang sudah lama ia pendam. Bertahun-tahun Dinda menanggung stres karena ditargetkan menjadi juara dalam perlombaan renang dan mendapatkan peringkat di sekolah. “Aku dari kecil hidup dengan tekanan yang tinggi banget,” katanya. Dalam kondisi depresi dan cemas memikirkan masa depannya itu, Dinda berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Sang ibu, yang khawatir, menyingkirkan semua gunting dan pisau dari jangkauan Dinda.
Kabar kecelakaan Dinda tersebut terdengar oleh kawan-kawan penyandang disabilitas. Mereka mengajak ia kembali berenang. Dinda akhirnya mau karena ingin menemukan kembali dirinya yang lama. Pelan-pelan ia juga belajar menerima kondisinya. “Aku sedih dan marah dengan kondisiku. Tapi aku enggak bisa maju kalau enggak move on,” ucapnya.
Menjadi atlet Paralimpiade, Dinda menyabet medali emas di hampir semua perlombaan yang ia ikuti. Dia bahkan memecahkan rekor perenang Thailand, Thongbai Chaisawas, yang bertahan sejak 2011, saat ia pertama kali bertanding di tingkat ASEAN.
Mimpinya masuk Jurusan Psikologi UGM pun terwujud. Ia kini tengah menyusun skripsi. Sambil kuliah, ia belajar untuk makin memahami emosinya. Dinda juga meminta bantuan profesional. Psikolog yang Dinda datangi menyarankan dia belajar menurunkan kecemasannya. Psikolog itu meminta Dinda hanya berfokus pada hal-hal yang bisa ia kendalikan. “Kontrollah apa yang bisa dikontrol. Di luar itu, ya sudah,” ujarnya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo