Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARISSA Anita masih mengingat kejadian 23 tahun lalu saat ia berjalan kaki di dekat kompleks sekolah menengah pertamanya di Pulomas, Jakarta Timur. Ketika itu, seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor mendekat ke arahnya dan tiba-tiba mencolek bokongnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadian serupa terulang saat ia duduk di sekolah menengah atas. Seorang kawan lelaki yang sekelas dengannya menabok pantatnya dengan buku. Marissa refleks menghardik temannya itu. "Saya kesal! Saya sebal!" kata Marissa, 37 tahun, saat dihubungi Tempo, Kamis, 10 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktris ini tidak mengalami lagi perundungan seksual secara fisik, tapi masih sering menjadi korban pelecehan verbal. Saat ia berjalan kaki melintasi trotoar atau gang, misalnya, ada lelaki yang sedang nongkrong yang bersiul atau memanggilnya "mbak" dengan maksud menggodanya. Merasa terganggu oleh perlakuan itu, Marissa biasanya langsung melabrak pelakunya.
Ia pun aktif melakukan kampanye melawan perundungan seksual. Marissa ikut bermain dalam teater musikal Belakang Panggung pada awal Maret lalu. Teater tersebut diprakarsai oleh Yayasan Lentera Sintas Indonesia, yang mendukung pemulihan penyintas kekerasan seksual.
Pengalaman menjadi korban juga membuat penyanyi dan aktris Mian Tiara berani bersuara. Seperti Marissa, ia pernah mengalami perundungan seksual lebih dari sekali. Mian menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara berbeda. "Ada yang saya pendam hingga belasan tahun yang berdampak terhadap perilaku saya, bahkan terhadap orang-orang di sekitar saya," ujar Mian, 42 tahun, Kamis, 10 Desember lalu.
Mian Tiara. Instagram.com@Miantiara
Keterlibatannya dalam acara “House of the Unsilenced” pada 2018 menjadi titik balik Mian dalam menyuarakan kisahnya. Sejak itu, ia aktif mengkampanyekan isu perundungan seksual. Ia juga menjangkau para penyintas lain agar merasa nyaman bersuara dan berbagi pengalaman supaya lebih banyak orang memahami isu ini. "Supaya keadilan bagi para penyintas juga ditegakkan dan peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi," ucapnya.
Saat menjadi korban perundungan aktor kawakan pada Januari lalu, misalnya, Mian tak segan membagikan ceritanya lewat media sosial. Selain bertujuan mendapatkan sedikit rasa keadilan, berbagi cerita adalah upayanya memulihkan diri dari trauma.
Perempuan adalah kelompok masyarakat yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Sepanjang 2016-2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat terjadi lebih dari 40 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 42 persennya adalah kekerasan seksual. Selama pandemi Covid-19, Komnas Perempuan mencatat angka kasus kekerasan terhadap perempuan itu melonjak.
Untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu ini, setiap tahun sejak 2001 Komnas Perempuan bersama kelompok masyarakat sipil menggelar "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan". Kegiatan itu berlangsung pada 25 November-10 Desember.
Di Lentera Sintas Indonesia, upaya pemulihan korban telah berlangsung sejak 2011. Dokter Sophia Hage, salah seorang pendiri yayasan, mengatakan mereka rutin menggelar pertemuan tertutup bagi para penyintas untuk berbagi kisah yang mereka alami. "Waktu itu kami melihat belum ada komunitas yang mendukung korban, padahal banyak stigma yang justru menyalahkan mereka," tuturnya.
Sophia Hage. Facebook.com/Sophia Hage
Lentera Sintas juga berfokus mengedukasi para remaja usia SMP dan SMA sejak 2016. Dari hasil survei yayasan ini, perundungan seksual pertama terjadi sebelum usia 17 tahun. Para sukarelawan mendatangi sekolah-sekolah di Jakarta untuk mengenalkan ihwal perundungan seksual dan cara menanganinya. Tahun lalu, mereka mendatangi 90 sekolah.
Sutradara dan komika Ernest Prakasa juga menaruh perhatian khusus pada isu kekerasan seksual. Empat tahun terakhir, ia belajar tentang isu itu dari teman-teman dekatnya, seperti aktris Hannah Al Rashid dan Adinia Wirasti. Hannah adalah penyintas perundungan seksual di ruang publik.
Ernest Prakasa di Jakarta, 9 Januari 2018. TEMPO/STR/Nurdiansah
Lewat akun media sosialnya, Ernest kerap menyuarakan kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan. "Anak sulung saya perempuan dan saya ingin dia tumbuh di masyarakat yang lebih sehat dalam memandang hubungan laki-laki dan perempuan," katanya.
Ernest menilai pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurut dia, pengesahan aturan itu akan menjadi momentum besar untuk mendobrak perspektif patriarkis masyarakat yang telah turun-temurun dan mendarah daging. Selain itu, perlindungan terhadap perempuan bakal memiliki kekuatan hukum yang solid, bukan semata pertimbangan kemanusiaan.
Mian Tiara juga menilai pengesahan RUU PKS sangat mendesak. Menurut dia, banyak penyintas memilih diam karena pada akhirnya mereka tidak bisa memperoleh keadilan, sementara para pelaku merasa bebas mengulangi perbuatannya karena tidak ada sanksi hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo