Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegiat dan pejuang reforma agraria Gunawan Wiradi meninggal pada 30 November 2020.
Bagi Gunawan Wiradi, tugas ilmuwan dan intelektual bukanlah di pucuk menara gading dan ruang-ruang wangi.
Tugas peneliti bukan semata memproduksi pengetahuan yang baik, tapi juga melekat panggilan moral.
SORE itu gerimis tak henti-hentinya turun. Untuk kesekian kalinya telepon berdering, tanda update kondisi Gunawan Wiradi yang sedang dirawat di Rumah Sakit Mulia, Jalan Raya Pajajaran, Bogor, Jawa Barat. “Mas, mobil ambulans sudah dapat,” kata seorang pegiat Sajogyo Institute. Alhamdulillah, rencana memindahkan Pak Wiradi ke Bogor Senior Hospital yang fasilitasnya lebih lengkap akan segera kami lakukan. Saya bersiap diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum lima menit berselang, telepon berdering lagi, mengabarkan Pak GWR—demikian ia biasa disapa—berpulang ke hadirat Ilahi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Hari itu Senin, 30 November 2020, sekitar pukul 19.35 WIB. Diniharinya, kami mengiringi jenazah Pak GWR ke persemayaman terakhir di Pasarean Ageng Manang, Desa Manang, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, tempat terakhir yang sejak jauh hari dia wasiatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya mengenal Pak GWR sejak bergiat di Sajogyo Institute pada 2007. Saya termasuk generasi cucu atau mungkin cicit. Saat itu dua guru agraria-perdesaan “Mazhab Bogor”, yakni Profesor Sajogyo dan Profesor Sediono M.P. Tjondronegoro, masih sehat. Hanya Profesor Pudjiwati Sajogyo yang telah wafat. Memahami bingkai pemikiran dan legacy keilmuan Pak GWR yang populer sebagai tokoh pemikir dan pejuang reforma agraria Indonesia, lingkar epistemic community-nya di kelompok “Mazhab Bogor” ini sulit dilepaskan.
Mereka dikenal sebagai peletak dasar keilmuan sosiologi perdesaan dan studi agraria di Indonesia yang setia kepada tradisi ilmu sosial kritis. Fokus utamanya pada persoalan dinamika kelompok terlemah dan termiskin di perdesaan. Prinsip dasarnya: ilmu tidak pernah bebas nilai. Sebab, ilmu bukanlah prevalence, melainkan mandat moral untuk diabdikan; membela dan berpihak kepada yang tertindas. Tujuan akhirnya: transformasi sosial dengan cara memanusiakan manusia; menaikkan derajat, harkat-martabat kemanusiaan, khususnya kelompok lapis sosial termiskin di perdesaan, perempuan dan laki-laki—akibat dari ragam relasi kuasa struktural ekonomi-politik, lokal, nasional-global yang timpang. “Sosialisme Kerakyatan” menjadi roh dasar keilmuan dan panggilan moral mereka. Watak dasarnya tak boleh ada praktik “pengisapan dan penindasan” manusia atas manusia lain.
Karakter keteladanan hidup dari Pak GWR dan para guru agraria-perdesaan “Mazhab Bogor” hampir serupa, yakni melakoni “zuhud kecendekiawanan”, berjuang di jalan sunyi, jauh dari gemerlap “selebritas” panggung kekuasaan dan gelimang harta benda duniawi. Tugas para ilmuwan dan intelektual bagi mereka bukanlah di pucuk “menara gading” dan ruang-ruang wangi, melainkan bergulat nyata selaras dengan napas dan derita kehidupan rakyat yang dibelanya; bukan memakai “mata helikopter”, melainkan “mata cacing” yang melekat pada tanah yang digumulinya. Wajar jika Pak GWR dan para guru “Mazhab Bogor” lain memenuhi syarat intelektual organik dan “scholar-activist”. Satu kakinya kuat dalam tradisi akademik, di kaki yang lain mereka tetap terlibat nyata dalam aktivisme gerakan sosial di Indonesia, meski dengan derajat yang berbeda-beda.
Suatu saat, saya mendapat pertanyaan sulit. Bagaimana menjelaskan “riset yang berpihak”? Bukankah itu melanggar prinsip “obyektivitas”? Model riset ini dikembangkan Sajogyo Institute bersumber dari tradisi “kaji tindak” (action research). Saya bertanya kepada Pak GWR dan mendapat jawaban, “Memang ada ilmu pengetahuan yang benar-benar obyektif (khususnya tradisi ilmu sosial humaniora)? Ia melanjutkan, “Dalam riset, yang ‘obyektif’ itu metode dan metodologi, tapi tidak dalam sikap moral.”
Saya jadi paham jika Pak GWR mengulang-ulang beda makna profesional dengan vokasional. Menurut dia, pada istilah profesional melekat arti bayaran. Maka, jika petinju profesional sama dengan petinju bayaran, peneliti profesional sama dengan peneliti bayaran, dan seterusnya. Lalu apa itu vokasional? Menurut dia, vokasional adalah suatu sikap yang di dalamnya melekat panggilan moral. Maka menjadi peneliti dengan prinsip vokasional tidak semata bertugas memproduksi pengetahuan yang baik, tapi juga terikat tanya di dalamnya, riset itu untuk siapa? Dalam puluhan buku dan ratusan karya ilmiahnya, terdapat benang merah yang sama: vokasionalisme, sikap dan panggilan moral-intelektual yang selalu berpihak pada mereka yang dikalahkan.
Dalam surat wasiat yang ditulis pada Februari 2016, disebutkan Pak GWR lahir dari keluarga bangsawan Solo, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1932. Ayahnya bernama R. Pujo Sastro Supodo dan ibunya bernama R. Ayu Sumirah. Ia bungsu dari sebelas bersaudara. Ayahnya meninggal saat ia berumur tiga tahun. Maka ibunya hidup sendiri sebagai single parent menanggung seluruh beban keluarga. Inilah penyebab Pak GWR hidup ngenger (dititipkan) ke sanak saudara, fase penempaan hidup yang membentuk pribadi tangguh, ulet, dan tahan banting.
Pada 1953, ia lulus sekolah menengah atas. Dengan beasiswa pemerintah, ia diterima di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (Institut Pertanian Bogor). Ia lalu mendapatkan beasiswa magister di School of Comparative Social Sciences di University Sains Malaysia pada 1975 dan merampungkan tesis berjudul “Rural Development and Rural Institution: A Study of Institutional Change in Java”. Kisah hidupnya disusun apik oleh Surya Saluang dalam buku GWR Jali Merah: Dari berbagai tuturan biografis Gunawan Wiradi (Obor, 2019). Jatuh-bangun dan keloro-loro hidupnya menjadi cambuk sekaligus pembentuk nilai idealisme, kesederhanaan, kerendahan hati, dan sikap empati hingga akhir hayatnya.
Pada saat terjadi huru-hara politik 1965, Pak GWR adalah satu dari sebelas dosen yang “disingkirkan” dari IPB, meski keterlibatannya tak terbukti. Profesor Sajogyo adalah sahabat yang mengulurkan tangan, menolongnya. Namun akhirnya sejarah mencatat karya dan prestasi akademik yang otoritatif di bidang agraria menjadi dasar pengakuan IPB untuk memberikan gelar doctor honoris causa bidang sosiologi perdesaan dengan fokus kajian agraria (2009). Integritas ilmiah dan konsistensinya sebagai pejuang reforma agraria menjadikan dia diakui oleh “kawan” ataupun “lawan” hingga akhir hayatnya.
Bagi dia, dunia boleh berubah, tapi perubahan itu tidak harus membuat manusia tercabut dari akar jati diri sendiri. “Sungai” adalah sumbu falsafah konsistensinya. Ia berujar, “Saya itu ibarat sungai, bukan sumur. Tak perlu ditimba, saya akan mengalirkan yang saya punya. Sebab, dengan mengalir ke lautan, sungai itu setia kepada sumbernya.”
Dalam salah satu tulisan “terakhirnya” (15 Mei 2020) yang berjudul “Renungan Seorang Lansia: Kondisi Poleksosbud Indonesia Sejak Beberapa Dasa Warsa Terakhir”, Pak GWR gundah. Menurut dia, “Republik ini makin menjauh (kadang dipakai diksi ‘menyeleweng’) dari jiwa Proklamasi.” Lalu apa yang harus dilakukan sekarang? Ia meminta respons dari kolega dan para muridnya, termasuk saya. Namun semua jawaban belum melegakan kegundahannya. Biarlah saya kutip kegundahan itu sebagai penutup obituari ini: “Tapi apakah itu berarti sebenarnya Revolusi belum selesai? Jika begitu, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara menyelesaikannya? Sementara itu, sekarang ini, bicara soal Revolusi saja terasa sudah ditabukan, karena mungkin diasosiasikan dengan kemungkinan menjadi terorisme. Teori-teori tentang Revolusi agaknya perlu dipelajari kembali. Sebab, tidak ada Revolusi yang berhasil tanpa teori Revolusi. Benarkah?”
Selamat jalan, Pak Gun. Terima kasih atas teladanmu. Kami akan meneruskan legacy-mu, membuat urip menjadi urup dan murupi. Amin.
EKO CAHYONO, “SANTRI” GUNAWAN WIRADI, PEGIAT DAN PENELITI SAJOGYO INSTITUTE
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo