Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deng deredeng deng deng, yang melawan jadikan dendeng
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deng deredeng deng deng, yang berbeda tembak di dada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIRIK itu dilagukan dengan jenaka. Gerak kelompok vokal asal Yogyakarta, Mlenuk Voice, yang menyanyikannya pun begitu karikatural. Mereka memparodikan ibu-ibu pejabat dalam seragam merah jambu serta bapak-bapak pejabat berseragam cokelat yang mengenakan kaca mata hitam dan menggenggam lightstick. Namun rap cepat yang meluncur dari mulut mereka menyuarakan kepahitan tentang kekerasan dan represi dari masa ke masa.
Garin Nugroho hendak meniru kearifan tradisi pantun dalam pentas teater musikalnya yang ditayangkan daring (online) untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, 8 Desember lalu. Dia menyoroti kisah kelam negeri ini yang seperti tak pernah lepas dari belitan laku-laku oligarki dan korupsi, tapi lewat pentas musikal dengan irama cenderung riang. “Seperti pantun yang sebenarnya berisi nasihat berat tapi karena memakai bahasa olok-olok jadi terasa ringan,” kata Garin lewat wawancara telepon.
Kisah sejarah panjang negeri dituturkan lewat empat pekerja teater yang hendak memanggungkan sebuah cerita di tengah pandemi. Juru Pengarah (Sekar Sari) membuka cerita dengan melantunkan lagu “Ajoen-ajoen” dari album Weerzien Met Indië oleh Wieteke van Dort yang telah disesuaikan liriknya oleh Garin dan diaransemen ulang oleh Taufik Adam. Lamunan Juru Pengarah untuk membangun pentas membuatnya terseret ke periode tatkala jas Belanda dan kebaya umum dikenakan dan revolusi industri baru saja menyentuh Hindia Timur.
Pentas Ayun-Ayun Negeri yang disutradarai Garin Nugroho. Dokumentasi Ayun-Ayun Negeri/Antoni Chris
Juru Pengarah bersama Juru Naskah (Paksi Raras), Juru Dekor (Jamaluddin Latif), dan Juru Musik (Mia Ismi Halida) menyusuri kembali tiap periode penting dalam sejarah Nusantara dan mendiskusikan ciri apa saja yang muncul pada setiap zaman. Mereka tak banyak menemukan kisah romantis meski keindahan Hindia Molek terus digaungkan ke mana-mana. Malah yang tampak adalah kekikiran yang selalu merasuki pihak yang berkuasa sedari masa revolusi industri 1.0. Pada tiap zaman, selalu saja rakyat yang terayun-ayun dan terseret-seret. “Ayun-ayun, para pemimpin, duduk di kursi lupalah diri. Ayun-ayun, baca kembali negeri agar kisah sedih tak terulang lagi,” begitu nyanyian mereka. Gaya keaktoran Jamaluddin Latif tampak lincah dan menyegarkan.
Garin menyusun babak cerita sesuai dengan periodisasi zaman. Napak tilas tiap periode dibedakan dengan tarian, perubahan kostum, dan gaya musik. Dari kebaya dan jas, kostum berubah menjadi gaun polkadot berpotongan lurus pada awal kemerdekaan, lalu gaya retro, hingga jins yang menjadi tren saat mendekati era milenial. Pada tiap zaman, para karakter merenungkan beragam persoalan, seperti upeti, penguasaan tanah, perburuhan, kepemilikan minyak dan tambang, serta kesenjangan kelas.
Naskah Garin banyak menyitir Pramoedya Ananta Toer dan pandangannya tentang dunia modern. Misalnya, “Bagaimana jika Minke masuk ke era reformasi dan menemukan revolusi 4.0?”
Juru Pengarah juga diperlihatkan membaca banyak buku, seperti Max Havelaar, Babad Diponegoro, dan Negara Teater oleh Clifford Geertz. Makin banyak dia membaca, makin lemas tubuhnya. “Aku lelah, negeri ini negeri teater. Membaca sejarah (seperti) membaca kisah yang dipanggungkan berulang-ulang,” ucapnya.
Dialog-dialog bertabur rima itu dituturkan dalam gaya teatrikal. Sering kali tiap adegan dilengkapi dengan isyarat gerak tangan dan tubuh para aktor yang membentuk pola tertentu. Ragam gerak tubuh ala tonil ini memberikan warna pada panggung yang tak diberi banyak ornamen.
Properti utama di atas panggung hanyalah struktur perancah sederhana. Panggung itu hampir selalu terang bermandikan cahaya biru dan merah muda. Papan neon bertulisan judul pertunjukan dalam huruf yang menyala-nyala makin mengingatkan kemiripan set panggung ini dengan pentas Broadway. Begitu pula dengan penari yang muncul beramai-ramai dan bergerak seirama dalam koreografi yang dirancang oleh Mila Rosinta.
Ada juga momen sunyi di atas panggung, boleh jadi untuk memberi kesempatan merenung bahwa yang hendak disampaikan pentas ini sebenarnya adalah keterpurukan yang perlu dipikirkan bersama. Adegan yang paling menyayat adalah tatkala Septina Rosalina Layan meratap pilu membawakan sepenggal syair berjudul “Ne Pandemi Nmaye”.
Garin juga berupaya memasukkan kisah cinta antara Juru Pengarah dan Juru Naskah. Sekar Sari dan Paksi Raras dapat saling mengimbangi. Pada satu adegan, Juru Pengarah dan Juru Naskah menari berdua saling meniru gerakan seperti salah satu adegan Mia dan Sebastian dalam La La Land. Namun plot cerita rasanya tak akan terganggu sekalipun tak ada romansa di antara mereka.
Pentas Ayun-Ayun Negeri yang disutradarai Garin Nugroho. Dokumentasi Ayun-Ayun Negeri/Antoni Chris
Teater Ayun-ayun Negeri menjadi satu lagi contoh siasat seni pertunjukan yang beradaptasi dengan situasi pandemi. Komisi Pemberantasan Korupsi meminta pertunjukan ini dibuat untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia sekaligus pesta pemilihan kepala daerah. Garin menggarap naskah dalam waktu cukup kilat, sekitar tiga minggu. Alih-alih berbicara tentang contoh-contoh korupsi masa kini, Garin mundur jauh untuk melihat revolusi industri dari 1.0 hingga 4.0 yang selalu berakhir dengan rakyat menjadi korban. Meski begitu, muncul juga simbol-simbol kasus masa sekarang, seperti gelas blirik hijau. Dengan gelas serupa itu, penyerang Novel Baswedan menyiramkan air keras dan membuat penyidik KPK itu buta sebagian sejak 2017.
Pementasan direkam selama dua hari. Untuk pengambilan gambar, Garin banyak belajar kepada videografer yang merekam pertunjukannya yang dipentaskan di luar negeri, seperti Opera Jawa dan Princess and the Drums.
Ketika tayang, pertunjukan ini mendekati format film teater karena penonton meminjam mata kamera, tapi atmosfer panggung masih dapat dirasakan. “Problem di tengah pandemi adalah bagaimana panggung dapat dinikmati dengan interaktif,” ujar Garin. “Pentas ini mencoba menjawab bagaimana pertunjukan langsung bermigrasi ke format virtual.”
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo