Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kartono Mohamad mendedikasikan dua pertiga usianya untuk membangun masyarakat Indonesia sehat berkualitas.
Dokter Kartono berjiwa aktivis dan tak segan mengkritik pemerintah.
Kartono Mohamad gigih memperjuangkan pembenahan sistem kesehatan Indonesia.
MAS Ton atau Pak KM—begitu Kartono Mohamad sering disapa—adalah sosok dokter yang langka di negeri ini. Dua pertiga hidupnya yang hampir 81 tahun didedikasikan untuk membangun masyarakat Indonesia sehat berkualitas. Mimpinya tersebut dia geluti dengan menulis ratusan opini yang berisi kritik membangun berbagai kebijakan dan juga kritik terhadap perilaku dokter serta masyarakat. Kakak kandung Goenawan Mohamad—mantan pemimpin redaksi majalah Tempo—ini lebih dikenal sebagai pegiat berbagai elemen kesehatan dan jurnalistik ketimbang sebagai dokter praktik yang laris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 28 April lalu, bangsa Indonesia kehilangan satu tokoh lagi. Di tengah kehebohan banyak dokter yang menjadi korban Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), pejuang dokter yang dua kali memimpin dokter di seluruh Indonesia ini menghadap Ilahi dengan segudang amal bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Mantan aktivis mahasiswa Universitas Indonesia yang lulus Fakultas Kedokteran pada 1964 ini menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menulis dan memimpin berbagai organisasi kesehatan. Selain mendirikan dan memimpin majalah kedokteran Medika, dia membuat ratusan karya tulis dan opini yang menyebar di seantero Bumi Pertiwi. Ia pernah didaulat “bersalah” membentuk “jalan hidup” seorang kolumnis, Jalal, dalam tulisannya di Geotimes. Jalal terkagum-kagum kepada Pak KM dan mengulas kegigihan Pak KM dalam berkontribusi menyehatkan, sebagai hadiah ulang tahun ke-80 pada Juli 2019. Kini mungkin ribuan dokter muda dan ahli kesehatan menjadi pengagum kegigihan Pak KM dalam memperjuangkan pembenahan sistem kesehatan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang koleganya sejak mahasiswa, Doddy Partomiharjo—mantan Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia—menggambarkan Mas Ton yang menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI tahun 1961 sebagai sosok yang galak tapi visioner membentuk “karakter” mahasiswa FKUI yang seimbang. Dalam dua hari, mahasiswa FKUI yang baru masuk harus mampu menjelaskan lirik “buku, pesta, dan cinta”; makna dewa kembar dari lambang Senat; serta bahasa Latin organ tubuh. Mas Ton membentuk karakter mahasiswa FKUI ketika itu yang harus mempunyai kehidupan berimbang dengan beratnya beban belajar. Mas Ton memang aktivis sejak mahasiswa. Ia kemudian menjabat Ketua Dewan Mahasiswa UI pada 1963, sebelum lulus menjadi dokter pada 1964.
Tidak mengherankan jika setelah menyelesaikan ikatan dinasnya di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dengan pangkat mayor, Mas Ton lebih suka berkiprah di berbagai organisasi. Sebagai seorang dokter, ia mulai berkarya di tingkat pengurus cabang. Jiwa aktivis dan keberpihakan kepada kesehatan rakyat membawanya pada inovasi perubahan struktural sistem kedokteran. Ia terpilih dua kali dalam jabatan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yaitu periode 1985-1988 dan 1991-1994. Di masa kepengurusannya, ia tidak segan-segan mengkritik kebijakan pemerintah. Padahal, di era Presiden Soeharto ketika itu, kritik terhadap pemerintah sangat tidak biasa.
Setelah menyelesaikan ikatan dinasnya di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dengan pangkat mayor, Mas Ton lebih suka berkiprah di berbagai organisasi. Sebagai seorang dokter, ia mulai berkarya di tingkat pengurus cabang. Jiwa aktivis dan keberpihakan kepada kesehatan rakyat membawanya pada inovasi perubahan struktural sistem kedokteran.
Di masa kepengurusannya, ia melengkapi IDI dengan kendali layanan kedokteran dengan pembentukan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia dan Badan Pembelaan Anggota IDI. Suatu inovasi keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan dokter yang bersumber dari informasi sangat asimetris dalam layanan kedokteran. Dokter harus memegang kuat etika agar tidak tergoda materialisme yang sangat mudah dilakukan terhadap orang sakit. Dokter juga harus dilindungi dari prejudice masyarakat yang tidak bisa memahami kompleksitas layanan medis. Berbagai inovasi beliau dalam menyeimbangkan kepentingan dokter dan kepentingan masyarakat banyak mewarnai isi Undang-Undang Praktik Kedokteran yang melibatkan unsur masyarakat atau pasien dalam penanganan berbagai kasus sengketa medis.
Kecintaannya dalam berbagai kegiatan menuju visinya mewujudkan rakyat sehat produktif sepanjang hayat dan, di mana pun ia tinggal, terbukti dengan sejumlah jabatan penyehatan rakyat. Ia menjadi tokoh penting dalam Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan AIDS, Koalisi untuk Indonesia Sehat, Gerakan Pengendalian Dampak Tembakau, Bina Antar Budaya, Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia, dan Forum Peduli Kesehatan Rakyat.
Mas Ton tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya ketika puskesmas makin menjadi pusat pengobatan, bukan pusat kesehatan masyarakat. Ketika Undang-Undang Kesehatan lama direvisi, beliau tidak bisa tinggal diam. Beliau sangat aktif mengamati dan mengawal agar Undang-Undang Kesehatan yang baru—Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009—menjadikan investasi kesehatan sebagai investasi sumber daya manusia. Beliau sangat meyakini bahwa negara maju dengan kualitas penduduk yang tinggi harus dimulai dengan sistem kesehatan yang bagus dan egaliter.
Bersama teman-teman Ikatan Alumni FKUI, ia menjadi pendiri sekaligus ketua pertama Perkumpulan Sejarah Kedokteran Indonesia pada 2006. Suatu bukti kuatnya jiwa membenahi dan membangun sistem kesehatan yang kuat. Sejarah dan perbaikan terus-menerus sistem kesehatan saling mendukung. Keinginannya belajar dari masa lalu dan meningkatkan peran dokter dalam membangun negeri, ia menggelar peringatan Seabad Kebangkitan Nasional pada 2008, momen ketika para dokter berperan sangat besar, dengan menghadirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Gedung Stovia Jakarta.
Mas Ton memang tidak pernah memperoleh gelar magister atau doktor bidang kesehatan masyarakat, tapi sepak terjangnya jauh melebihi mereka yang telah meraih gelar tersebut. Hal itu merupakan refleksi dari keberpihakan beliau terhadap kesehatan yang egaliter. Lima tahun terakhir sebelum dirawat, Mas Ton sangat aktif dalam berbagai kegiatan pengendalian konsumsi tembakau. Ia sangat gusar terhadap kenaikan konsumsi rokok di kalangan remaja karena harga rokok yang murah dan makin terjangkau masyarakat Indonesia yang relatif makin kaya. Saya sering berinteraksi dengan Mas Ton dalam urusan pengendalian konsumsi rokok, yang apabila tidak dikendalikan dengan kuat, kualitas bangsa akan sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Meskipun ia berkiprah di berbagai organisasi dan tidak pernah lelah dengan berbagai kegiatan, humor-humor segarnya selalu menyemangati aktivis yang lain.
Mas Ton, engkau sudah mendedikasikan hampir seluruh masa hidupmu setelah menjadi dokter untuk menyehatkan dan meningkatkan kualitas bangsa ini. Engkau kembali ke pangkuan Allah SWT ketika kami harus mengisolasi diri, bekerja atau belajar dari rumah karena Covid-19. Engkau pergi ke tempat peristirahatan terakhir untuk menghadap-Nya tanpa banyak iringan ribuan pengagummu. Namun kami tahu bahwa jutaan doa mengiringmu dan menjadi saksi atas amal baikmu untuk bangsa ini. Semoga Allah SWT memberi tempat terbaik di surga-Nya. Selamat jalan, Mas Ton.
HASBULLAH THABRANY, GURU BESAR FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA (2003-2018), SEKRETARIS JENDERAL PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (1997-2000)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo