Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang hakim agung diduga keras terlibat korupsi saat menyusun nasihat kepada presiden. Seorang terpidana yang terlibat dalam kasus penyelundupan telah mengajukan amnesti, dan sang hakim mengubah rekomendasinya tiga kali. Pertama, agar pidana diringankan. Kedua, lebih besar lagi. Dan ketiga, membebaskan terpidana.
Adegan ini terjadi pada awal 1950-an. Hakim agung tersebut Sutan Malikul Adil. Ia dinonaktifkan, kemudian diperiksa oleh tim beranggotakan tiga hakim agung bentukan Kusumah Atmadja, Ketua MA saat itu. Sayangnya, pendapat tim pemeriksa terpecah. Satu yakin Malikul bersalah, satu percaya dia tidak terlibat, yang ketiga memilih tidak bersikap. Di saat yang sama, Kusumah Atmadja meninggal dan digantikan Mudjono, yang meyakini Malikul tidak bersalah. Pemeriksaan itu pun dihentikan dan Malikul kembali bertugas di Mahkamah Agung.
Ini satu-satunya momen ketika seorang hakim agung hampir dipecat karena tuduhan korupsi. Kasus lainnya diselesaikan melalui pengunduran diri, terutama dengan tekanan. Demikian ditulis Sebastiaan Pompe dalam bukunya, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, terbitan Southeast Asia Program, Universitas Cornell, pada 2005.
Inilah buku yang menelusuri babakan sejarah penting, suasana politik, serta kelembagaan yang menyertainya. Dalam penelusuran Bas—panggilan akrab Sebastiaan Pompe—kecurigaan korupsi mulai merebak di pengadilan dilansir negarawan M. Roem sejak 1950-an. Tahun 1970-an korupsi semakin menjadi-jadi. Tapi baru pada 1980-an pemerintah menjalankan program antikorupsi khusus bagi peradilan. Operasi Tertib berhasil mengungkap beberapa kasus, dan hakim yang bersangkutan dipecat dan sebagian dihukum. Pada saat ini pula istilah mafia peradilan muncul. Petinggi MA sendiri bahkan mengakui korupsi di pengadilan melebihi 50 persen jumlah hakim.
Tapi, baru mulai pertengahan 1980-an korupsi di MA sama parahnya dengan pengadilan tingkat bawahan. Dimulai pada masa kepemimpinan Oemar Seno Adji (1983-92), yang langsung terlibat korupsi, sehingga makin sulit bagi hakim agung untuk menjaga integritas. Bahkan seorang hakim agung di media membenarkan menerima hadiah dari pihak yang beperkara. Namun, pers masih jarang mengekspos korupsi hingga 1980, saat anggota parlemen menyatakan busuknya peradilan. Dan, seperti kita saksikan sendiri, masalah ini berlanjut hingga kini.
Persoalan korupsi hanya bagian kecil dari bahasan buku ini. Buku yang menurut kata pengantar Daniel S. Lev satu dari sedikit analisis mendalam tentang peradilan tertinggi di dunia, terutama dengan latar belakang sejarah dan patologi yang begitu kompleks.
Sesuai dengan judulnya, buku setebal 490 halaman ini membahas dengan lugas runtuhnya MA sebagai institusi hukum tertinggi di Indonesia. Bas mengurai babak penting sejarah MA sejak zaman kolonial hingga 1996 serta pelaksanaan fungsi MA, masalah organisasi MA dan para aktornya (pimpinan MA dan hakim agungnya).
Walau dinilai memiliki perspektif sosiologis-antropologis, Bas menggunakan pisau analisis politik. Untuk khazanah literatur hukum di Indonesia, yang umumnya menafikan politik, buku ini menjadi menonjol. Suka atau tidak, hukum adalah hasil proses politik, dan lembaga hukum tak lepas dari imbas politik pula. Buku ini menggambarkan pergulatan politik menyangkut MA, terutama soal status lembaga dan hakim, perjuangan untuk merebut kekuasaan kehakiman, dan kontrol atas lembaga peradilan.
Bas mengurai pergulatan tak berujung para hakim untuk mencapai status sosial tinggi, yang direfleksikan dengan gaji, jabatan/kedudukan yang lebih tinggi (bahkan dalam soal protokoler), dan dampaknya bagi ”harga diri” hakim maupun lembaga MA. Ini terlihat (dengan foto pula) dari peran pimpinan MA dulu saat mengambil sumpah Presiden Soekarno dibanding sekadar sebagai figuran dalam penyerahan kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie pada 1998.
Demikian pula dengan perjuangan politik untuk melawan pengaruh eksekutif pada MA, yang terlihat dari transplantasi kepemimpinan MA oleh eksekutif mulai Oemar Seno Adji hingga masa Purwoto Gandasubrata (1992). Termasuk pergulatan politik internal MA antara hakim karier dan mereka yang berasal dari militer maupun kejaksaan.
Persoalan kontrol eksekutif terhadap MA juga banyak dibahas. Kewenangan administrasi/manajemen Departemen Kehakiman telah digugat oleh MA sejak 1960-an. Akan tetapi, menurut Bas, dibandingkan dengan dulu, kini persoalan satu-atap ini cuma menjadi simbol belaka dan menjadi alibi permasalahan riil di MA.
Naskah awal buku ini sejatinya adalah disertasi doktoral Bas di Universitas Leiden. Naskah ini tidak banyak perubahan, terlihat sedikit data tambahan pasca-1996 yang menurut Bas sekadar untuk konfirmasi atau verifikasi analisis dan kesimpulan. Selain itu, bagian rekomendasi dihilangkan dan kesimpulan memuat sedikit perkembangan hingga 2003.
Buku ini tidak memberi rekomendasi. Dalam bab kesimpulan, misalnya, Bas hanya memberi beberapa catatan untuk diperhatikan sembari membaca arah perubahan pasca-1996. Baginya, rekomendasi ideal yang akademis dan disusun orang asing tak banyak gunanya bagi perubahan sejati, yang hanya bisa dikerjakan oleh aktor Indonesia, baik di dalam MA maupun masyarakat madani.
Tak lama setelah diuji pada 1996, fotokopi disertasi itu pun beredar di Jakarta dan menjadi acuan perbincangan kalangan hukum reformis. Sejak era reformasi mulai 1998, disertasi ini pun menjadi salah satu bibel bagi penggiat reformasi peradilan di Indonesia. Naskah disertasi itu menuai tidak sedikit kritik di kalangan status quo. Bahkan penerbitan disertasi menjadi buku pun tertunda. Ketua MA mengakui dalam sambutannya, namun, walau pahit, tetap diterima sebagai kenyataan kerja akademis dan sebagai informasi pembaruan peradilan. Memang akhirnya disertasi itu menjadi salah satu referensi dalam penyusunan cetak biru pembaruan peradilan pada 2003 yang disusun oleh MA bersama masyarakat madani.
Cukup sulit untuk mengkritisi buku ini karena luasnya cakupan dan rincinya pembahasan. Juga saya tidak menemukan pembanding yang wajar dari beberapa terbitan setelah 1998. Beberapa hal kecil yang saya temukan, misalnya, buku ini tidak memuat bibliografi sehingga pembaca harus melihat setiap catatan kaki yang jumlahnya banyak.
Rincian kejadian, wawancara, kutipan terasa sangat rinci, sangat membantu pembaca untuk mengerti persoalan, namun juga membuat buku ini bukan bacaan ringan. Juga, beberapa individu yang dikritik (atau dikonfrontasi) dalam buku sekadar membantah. Akibatnya, kadang catatan wawancara yang banyak dan rinci terkesan terlalu senada. Meski demikian, informasi di dalamnya terlalu rinci dan meyakinkan untuk ditolak begitu saja.
Sayang sekali buku ini ditulis dalam bahasa Inggris dan belum tersedia di Indonesia. Agar semakin banyak dapat dibaca oleh orang Indonesia, buku ini wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam sambutannya, Bagir Manan menilai buku ini bukan sekadar bacaan untuk menambah ilmu, tapi juga bahan berguna untuk pembaruan peradilan yang telah disusun dan sedang dijalankan. Semoga dampak pembaruan itu dapat mulai dilihat dan dirasakan publik, mulai dari kasus korupsi yang sedang merundung MA saat ini.
Ibrahim Assegaf, pengamat hukum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo