Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Maaf

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mohon maaf, lahir batin…”. Kartu Lebaran beterbangan, pesan pendek di telepon genggam mondar-mandir. Hari Lebaran adalah hari ketika maaf otomatis dimohon dan secara langsung diberikan.

Tapi maaf bukanlah pemberian.

Memberikan maaf bukanlah menghadiahi, melainkan mengakui yang tak abadi. Ada sebuah sajak Alun Lewis, seorang penyair Welsh yang membisikkan pengakuan itu: di air kolam di hutan itu tampak parasnya sendiri seakan tengggelam, di celah daun-daun yang jatuh terapung:

Forgive this strange inconstancy of soul, The face distorted in a jungle pool That drowns its image in a mort of leaves

Maafkan jiwa ini, katanya, tak ada yang tetap di sana: lihatlah pantulan wajah itu, sesuatu yang tak kekal. Memang dulu seorang anak melihat ke cermin yang disiapkan orang tuanya dan menyangka dirinya sosok yang utuh. Tapi di usia dewasa ia tahu dalam dirinya tersirat ”this strange inconstancy of soul”. Ia subyek yang retak, tak selamanya ajek dan mantap, terdorong niat dan hasrat untuk mencapai yang sempurna, tapi apa daya tangan tak sampai.

Tentu saja, maaf tak semata-mata mengakui yang tak abadi dan tak terjangkau. Maaf (kecuali ”maaf” rutin pada hari Lebaran) jadi tindakan yang berarti bila ia tak dapat diramalkan lebih dulu, bila ia merupakan pilihan yang tegang antara memaafkan dan tak memaafkan, bila yang memaafkan seakan-akan meloncat dari masa lalu yang disakiti ke masa depan yang penuh teka-teki. Artinya, bila ia mendorong dirinya sendiri untuk membuka diri kepada yang ”lain”, memulihkan pertalian dengan yang ”lain”.

”Yang-lain” bisa berarti apa yang tak terduga oleh ukuran lurus kita, yang tak sepenuhnya tercerap kita dengan jelas dan tegas, dan sebab itu tak mudah dinilai dan dihakimi.

Tapi benarkah kita tak mampu menghakimi? Sekelompok orang menangkap tiga murid perempuan SMA Kristen yang kebetulan lewat di tepi hutan Poso, memenggal leher mereka, dan mengirim tiga potong kepala ke tengah kota, agar menimbulkan marah, ngeri, dan onar. Sebelum dan setelah mereka menyembelih anak-anak yang tak berdosa itu, saya bayangkan mereka mengutip sabda yang mereka yakini dan memaklumkan yang mereka anggap luhur, dan berseru: Kami lain! Nilai-nilai kami tak sama dengan nilai-nilai kalian!

Bisakah kita memaafkan mereka, hanya karena mereka berada di luar ukuran kita, dengan nilai-nilai yang tak cocok dengan nilai-nilai kita?

Mungkin ini sebuah pendekatan yang salah. Maaf lahir bukan karena kita harus mengikuti logika perbedaan, melainkan justru karena ada harapan akan titik-titik persamaan.

Dalam riuh-rendah ”politik identitas”, yang berkecamuk tiga dasawarsa yang lalu, pelbagai kelompok memang memproklamasikan diri ”berbeda”. Kaum X, agar dapat diakui kehadirannya, harus menemukan identitas sendiri yang bukan seperti kaum Y. Kaum A, untuk menegaskan kemandiriannya, menuding bahwa norma yang sama—yang universal—hanya sebuah bentuk penjajahan kaum B, dan sebab itu yang universal sebenarnya tak pernah ada.

Gema ”politik identitas” itu masih terus, kecemasan kehilangan ”jati diri” terus berkecamuk. Memang harus diakui: tatanan normatif yang kita terima sering datang dari ”luar”. Tradisi Islam tak mengenal, misalnya, proses peradilan yang berdasarkan praduga tak bersalah, yang mengharuskan ada pembela bagi si tertuduh dan memungkinkannya naik banding. Posisi hegemonik ”Barat”-lah yang menyebabkan norma itu diadopsi di mana-mana.

Tapi benarkah posisi itu menjelaskan segala-galanya, hingga tak ada yang universal yang berarti? Jika masing-masing pihak menegaskan identitas diri sepenuhnya, secara mutlak, bagaimana kita punya nilai-nilai bersama? Bagaimana tuan bisa bilang ”tidak!” kepada para penyembelih anak-anak?

Kini pelbagai keyakinan dapat tempat, semuanya membawakan ”kebenaran” yang dinyatakan berlaku kapan-saja-di-mana-saja. Sementara itu juga orang tambah sadar, atau tambah curiga, bahwa konsensus untuk menerima nilai-nilai yang universal selalu dicapai lewat pergulatan politik.

Bersama Marx dan setelah Marx, kita tak percaya lagi ada fondasi yang ”universal” yang berada di atas sejarah, tak berubah. Kian tampak, yang ”universal” bukan wahyu Tuhan dan hasil kecerdasan, tapi hasil pergulatan dalam ruang dan waktu.

Itu sebabnya setelah Marx, ada Laclau, mengikuti Gramsci: ia mengakui, bahwa apa yang universal memang ditentukan oleh posisi hegemonik dari salah satu suara dalam kehidupan bersama, tapi tak berarti yang universal tak ada. Ada yang salah dalam ”politik identitas”: tak ada identitas yang bisa penuh, tak ada suara sepihak yang sepenuhnya tertutup rapat dari suara pihak lain. Suara B efektif diterima karena ia tak mutlak menampik suara A, karena apa yang ”benar” dan ”adil”—meskipun tak bisa dirumuskan—juga bisa menggerakkan dan menggetarkan pihak ”sana”.

Dalam keadaan itu, tiap suara yang ingin menegakkan satu tata normatif mengaku sebagai inkarnasi dari yang universal. Tapi yang universal selamanya tak terucapkan, terasa jauh tapi dekat, ibarat cakrawala yang membisu. Sebagaimana cakrawala, tiap kali didekati, ia tetap tak terjangkau. Tapi kita tahu ia ada justru dalam ketidakhadirannya.

Walhasil, kita bisa menghakimi para penyembelih anak-anak di hutan Poso. Kita bisa mengatakan bahwa mereka tak bisa pura-pura 100 persen berbeda dari kita. Mereka tahu perbuatan mereka keji. Teror dan provokasi hanya efektif bila dinilai siapa saja, juga oleh kaum yang di seberang sana, sebagai sesuatu yang keji.

Hanya sebuah fantasi yang muluk bila kita melihat diri sendiri (”this strange inconstancy of soul”) sebagai sesuatu yang utuh, kekal, dan mutlak dalam berbeda dari yang lain. Sejarah menunjukkan, manusia mengerti kenapa tangan selalu bisa diulurkan dan maaf datang dengan kearifannya: maaf sebagai pengakuan bahwa tiap pihak, juga atas nama Tuhan yang sempurna dan abadi, tak akan pernah mencapai permusuhan yang sempurna dan abadi.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus