Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Di Antara Ruang dan Iklim

Sebuah buku arsitektur tropis kontemporer memuat desain rumah di Asia Selatan. Eksplorasi bahan dan bentuk yang variatif.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah rumah untuk berakhir pekan di Alibag, Maharashtra, India. Arsitek India Rahul Mehrotra sengaja mendesain rumah buat para pembuat film. Dinding bangunannya terbuat dari batu, atap bagian depan mengingatkan kita pada piring terbang yang melayang. Di tengah bangunan itu terdapat lorong memanjang yang di sisi kiri-kanannya diberi semacam jendela—pengatur sirkulasi udara agar ruangan itu sejuk.

Sulit memastikan apa bentuk rumah itu. Kepada Tempo, Amanda Achmadi, dosen di Universitas Tongji, Shanghai, memuji karya itu. Karya-karya arsitek India, Mehrotra atau Anura Ratnavibushana, misalnya, tidak dapat dikategorikan dalam bentuk modern, tradisional, geometris modern, atau ornamental figuratif ala vernacular. ”Bentuknya sangat menarik. Modern tapi tidak berarti kotak dan kebarat-baratan. Plastis tapi tetap berskala manusiawi,” kata Amanda Achmadi.

New Directions in Tropical Asian Architecture, buku yang dicetak luks setebal 240 halaman, menunjukkan perkembangan itu. Ditulis Philip Goad (Australia), Anoma Pieris (Australia), dan Amanda Achmadi (Shanghai), diterbitkan Pesaro Publishing, Sydney, Australia, buku ini menampilkan karya arsitek dari India, Indonesia, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand.

Berbeda dengan rekan dari India, arsitek Thailand, Kanika R’Kul, masih setia pada tradisi. ”Dia berusaha melahirkan interpretasi dan abstraksi bentuk baru dari tipologi rumah tradisi Thailand,” Amanda memaparkan. Dia menciptakan nuansa urban di tengah kompleks rumah yang dihuni beberapa keluarga. Atapnya berbentuk kerucut, lancip menjulang ke atas dengan kisi-kisi kayu.

Bagaimana dengan para arsitek Indonesia? Ada karya dua arsitek Indonesia: Eko Agus Prawoto (dosen Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta) dan Andra Martin Architect (AMA) dari Jakarta. Eko Prawoto menampilkan empat desain: rumah tinggal keluarga Jeannie dan Lantip di Yogyakarta; Gereja Kristen di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah; rumah tinggal keluarga Butet Kertarejasa; dan rumah tinggal seniman Nindityo dan Mella Jaarsma di Yogyakarta.

Menurut para penulis, karya Eko kreatif dan inovatif. Rata-rata berada di tengah kampung kota, di tengah kawasan suburban, atau di tengah kampung pinggiran Kota Yogyakarta. Para klien Eko yang kebanyakan seniman menuntut abstraksi ruang dan bangunan dengan kreativitas dan keinovatifan tinggi. Eko mengerjakan secara cermat dengan mengandalkan tukang kayu lokal.

Rumah Butet Kertarejasa, misalnya, diwarnai aksen barang bekas. Dari luar, rumah itu tampak biasa. Tapi, begitu memasuki ruang tamu, nuansa tradisional dan kuno mulai terasa. Ada gebyog jati tua atau daun pintu jati utuh tanpa sambungan. Pernak-pernik penghiasnya pun istimewa. Ada handel pintu ukiran dari Uzbekistan, atau lesung (tempat menumbuk padi) panjang yang dijadikan sandaran pot bunga.

Eko mengakui, karya-karyanya itu banyak memanfaatkan barang bekas. ”Dengan konsep modern, saya selalu memanfaatkan material dan tenaga lokal. Saya hanya ingin memperpanjang local knowledge lewat arsitektur,” tutur Eko.

Desain yang berbeda bisa dilihat dari empat karya AMA, yaitu Le Bo Ye Graphic Design, Gedung Dua8 Museum Etnologi di Jakarta, rumah di Cipete, dan Galeri Ramzy & Fiori Beauty Salon. Semua bangunan itu lokasinya di Jakarta Selatan. Dari berbagai bangunan itu tampak sekali AMA berhasil mendobrak dominasi arsitektur komersial ibu kota yang sudah kehilangan karakter.

Arsitek ini memperkenalkan rasa ruang dan karakter tektonik bagi kaum urban di Jakarta. Seperti diketahui, sejauh ini mereka lebih akrab dengan arsitektur simbol status ala Amerika, yang menggunakan lantai marmer dan gemerlapnya stainless steel. Atau ala Romawi dengan kolom-kolom doriknya.

AMA mendobrak semua itu dan menawarkan kenyamanan ruang tropis tanpa dinginnya AC, bangunan publik yang fungsional, juga bangunan yang sangat tektonik.

Lihat saja Le Bo Ye Graphic Design dengan kisi-kisi kayunya yang sangat tektonik, atau Gedung Dua8 yang tanpa pagar dan sangat fungsional sebagai tempat publik. ”Saya ingin ada unsur kontemporer dalam tiap desain saya,” tutur Andra.

AMA memang hanya membentuk ulang gedung museum itu. Tentunya, bangunan publik itu menjadi fungsional dan sangat menarik dari sebelumnya. Misalnya dengan memberi kaca transparan di setiap belokan jalan. Sekilas bangunan itu terbuat dari beton, tapi sebetulnya terbuat dari struktur ringan yang dilapis. Atapnya terbuat dari metal, di antara atap dan badan bangunan diberi celah untuk ventilasi udara.

Konsep AMA berbeda dengan karya arsitek Malaysia, Cheong Yew Kuan. Arsitek yang cukup lama tinggal di Bali ini banyak menerapkan arsitektur Bali. Tengoklah Begawan Giri Resort di dekat Ubud, Bali, atau Hardy House. Dia menggunakan atap alang-alang dari yang berbentuk limasan sampai melengkung. Arsitek ini memadukan indahnya suasana alam dengan bangunan yang didominasi kayu.

Menurut Amanda, para arsitek yang terpilih dalam buku ini adalah arsitek yang memiliki bahasa arsitektur yang sangat beragam. ”Kami tidak ingin mengajukan sebuah tren arsitektur Asia baru, tapi kami ingin memaparkan betapa banyak kemungkinan dan potensi penjelajahan desain arsitektur yang diajukan di kawasan ini, yang secara kasar memiliki kesamaan tantangan iklim, latar belakang sejarah politik, dan perkembangan ekonomi,” tutur doktor lulusan Universitas Melbourne, Australia, ini.

Arsitek Cheong Yew Kuan, Kanika Ratanapridakul, Rahul Mehrotra, Eko Prawoto, dan Kevin Low banyak memasukkan bahan material tradisional, menginginkan ketahanan dari hegemoni kaca dan panel-panel ringan untuk menutupi kerangka beton, dan cenderung banyak menambah detail. Sebaliknya, arsitek WOHA, SCDA, W dan Kerry Hill, yang bermarkas di Singapura, banyak menggunakan bebatuan, beton, dan pembentukan permukaan.

Untuk memperkaya isi buku itu, Anoma Pieries menuliskan peta dimensi sejarah perkembangan arsitektur di Asia tropis. Dia mengupas keterkaitan penjelajahan arsitektur tropis dengan pencarian identitas sepanjang sejarah politik dan budaya abad ke-20. Juga, konsekuensi politik identitas kolonial hingga imaji orientalisme perkembangan dan pendefinisian arsitektur tropis di Malaysia, Singapura, India, Sri Lanka, dan Indonesia.

Proses pemilihan para arsitek itu, menurut Amanda, melalui studi media yang diambil dari beberapa jurnal profesi, dan komunikasi dengan para pengamat arsitektur Asia. Untuk Indonesia, Amanda lebih mengandalkan komunikasi dengan pengamat arsitektur lokal karena sangat terbatasnya media arsitektur yang ada. Enam kandidat yang diajukan, masing-masing diminta mengirim lima sampai enam karya dengan skala dan fungsi yang beragam.

Sesungguhnya ketiga penulis ingin mengangkat berbagai karya arsitektur publik. Tetapi arsitek Indonesia sangat sedikit yang berperan dalam bangunan publik. Hampir semua proyek strategis dikerjakan departemen terkait, tanpa melewati proses kompetisi desain. ”Ini sangat memprihatinkan. Karena, sesungguhnya ini sangat strategis untuk mengaktualkan peran arsitektur Indonesia,” Amanda menjelaskan.

L.N. Idayanie, Heru C.N. (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus