Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sedikit pun bonus pelayanan diberikan Suparjo kepada pelanggannya, Jumat sore dua pekan lalu. Bahkan kembalian Rp 600 pun tak diberikannya. "Enggak ada uang kecil, Mas," ujar petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, itu.
Pelanggan bersepeda motor yang hanya membeli premium tiga liter lebih sedikit itu tak pula langsung protes. Paling-paling cuma menggerutu. "Uang kecil sih, tapi berapa puluh orang sehari yang tak dapat kembalian," ujar laki-laki 30-an itu sambil mengunci tutup tangki bensin dan memasang kembali jok motornya.
Soal "uang kecil" ini sudah menjadi pengalaman jamak bagi pelanggan pompa bensin. Belum lagi uang kecil seribuan rupiah yang harus disiapkan jika sewaktu-waktu kebelet buang air kecil dan harus menumpang di toilet SPBU-"sumbangan kebersihan" namanya-sekalipun ternyata toilet yang biasanya ada di bagian belakang pompa bensin itu sama sekali tak bisa dibilang bersih.
Besok-besok, kondisinya bisa berbeda. Bayangkan jika di jalan yang sama ada pompa bensin lain yang menawarkan fasilitas ekstra, minus urusan recehan. Awal bulan ini, misalnya, di kompleks Lippo Karawaci, Tangerang, Banten, telah beroperasi SPBU milik PT Krida Petra Graha, anak perusahaan raksasa minyak dunia Royal Dutch Shell Plc.
Baru satu, memang, tapi dengan investasi yang ditaksir sedikitnya US$ 50 juta atau hampir Rp 500 miliar, dalam delapan tahun ke depan perusahaan yang bermarkas di Den Haag, Belanda, ini berencana membangun 400 SPBU. "Kami yakin ini akan memberi nilai tambah bagi konsumen," kata Bob Moran, Direktur Utama Shell Indonesia, Selasa pekan lalu.
Investasi yang tak kalah besar dilakukan perusahaan ini untuk menyokong persiapan operasi SPBU mereka, antara lain dengan membangun tempat penyimpanan (storage) BBM di daerah Merak, Banten, untuk menjamin pasokan yang diambil dari kilang mereka di Singapura.
Dari segi tampilan, tak pelak lagi, SPBU baru ini memang jauh lebih fashionable ketimbang umumnya wajah kusam pompa bensin "pribumi". Pada lahan satu hektare, tersedia 13 pompa pengisian di SPBU yang dilayani 45 petugas laki-laki dan perempuan. Bandingkan dengan 4-7 pompa yang biasanya ada di SPBU lokal.
Tak sekadar berjualan bensin dan solar, minimarket dalam kompleks SPBU juga menyediakan bermacam merek pelumas serta aneka dagangan lain, seperti makanan kecil dan minuman. "Kalau malam, bagus sekali dengan formasi lampu sorotnya," Manajer Komunikasi Shell, Fathia Syarif, berpromosi. "Saya yakin konsumen akan merasakan perbedaan yang nyata," ujar manajer SPBU, Memed Madra, tak mau kalah.
Yang juga tak mau kalah adalah Petroliam Nasional Berhad (Petronas). Perusahaan minyak Malaysia ini pun aktif mengincar pasar eceran minyak kita dengan target hingga 2015 bakal membangun 200 SPBU atau rata-rata 20 buah per tahun. Pompa bensin perdana mereka akan dibangun di wilayah Cibubur, Jakarta Timur, tahun ini.
Sama halnya dengan Shell, Petronas menjanjikan kelebihan di SPBU mereka yang disebut memiliki konsep one stop service. "Kami sangat serius. Peluangnya di Indonesia masih bagus," kata Direktur Utama PT Petronas Niaga Indonesia, Kamaruzaman bin Mohammad Hasyim, kepada Tempo.
Dengan konsumsi bahan bakar minyak mencapai 60 juta kiloliter per tahun, negeri berpenduduk 220 juta jiwa ini memang pasar gemuk untuk diperebutkan. Sekitar 25 juta kiloliter minyak itu dipakai menjalankan mesin-mesin industri, dan lebih dari 11 juta kiloliter lagi digunakan buat memproduksi setrum oleh PT Perusahaan Listrik Negara. Selebihnya ditenggak kendaraan bermotor untuk wara-wiri.
Kendaraan bermotor beranak-pinak tak terbendung dari hari ke hari, dan haus bahan bakar tak habis-habisnya. Lebih dari empat juta sepeda motor diimpor saban tahun, pertumbuhannya 10-15 persen. Mobil pun sama saja. Tahun ini, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mematok target pertumbuhan 500 ribu unit. Target tiap tahun hampir tak pernah turun.
Di sinilah soalnya. Dengan konsumen begitu boros, hampir tiap tahun pula kita mengalami masa-masa langka BBM. Dengan penat kita terpaksa saksikan, atau bahkan kita sendiri ikut membuang waktu berjam-jam antre beli bensin atau solar. Mobil dan sepeda motor berbaris dengan tetap menghidupkan mesin, yang berarti terus-terusan membuang minyak yang tengah diburu itu.
Tak bisa disangkal, itulah wajah industri hilir dan distribusi BBM kita, yang selama puluhan tahun terakhir menjadi hak monopoli PT Pertamina. Monopoli itulah yang pada 23 November nanti akan diakhiri. Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas yang mengamanatkan liberalisasi bisnis hilir minyak dan gas kita agar "...diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan" (Pasal 7).
Perubahannya, jelas, tak mudah. Karena itu, ketika pada 23 November 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan undang-undang ini, dalam ketentuan peralihannya disebutkan, Pertamina masih diberi kelonggaran empat tahun. Selama perpanjangan waktu itu Pertamina masih ditugasi melaksanakan penyediaan dan pelayanan distribusi BBM untuk kebutuhan dalam negeri.
Kini tiba saatnya bagi jago kandang itu untuk membuktikan diri di ajang dunia nyata persaingan bebas. Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Tubagus Haryono, mengatakan, saat ini ada 141 perusahaan asing dan swasta lokal yang siap meramaikan bisnis hilir minyak dan gas yang meliputi kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.
Sejauh ini memang baru Shell dan Petronas yang terlihat gencar. Raksasa lain seperti Total, Beyond Petroleum, dan ExxonMobil tampaknya masih cukup anteng menunggu peluang matang. Itu bukan berarti mereka diam. Beyond, misalnya, malah sudah memasang perusahaan lokal yang disponsorinya, yakni PT Jasatama Petroindo untuk bermain di ladang ini.
Para pemain lokal antara lain PT Sigma Rancang Perdana, PT Petros, PT Raven Sejahtera, PT Elnusa Harapan, PT Jasa Angkasa Semesta, dan lain-lain (lihat boks Mereka yang Mengantongi Izin). Pertanyaannya, benarkah selepas 23 November nanti Pertamina benar-benar akan dibiarkan bertarung bebas?
Seorang petinggi di pemerintahan mengakui masih akan ada beberapa perlakuan khusus yang disebutnya sebagai tindakan "setengah menyuapi" Pertamina. Alasannya, minyak merupakan komoditas sangat strategis yang memerlukan pengamanan khusus untuk menjamin pasokannya. "Tak mungkin membiarkan ketergantungan kita begitu besar pada perusahaan asing," katanya.
Salah satu caranya adalah dengan memastikan pasokan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk tujuh kilang pemerintah yang dikelola Pertamina. Di sektor niaga, keistimewaan juga masih menjadi milik Pertamina, setidaknya sampai muncul peraturan yang lebih operasional tentang distribusi BBM bersubsidi yang selama ini masih dikuasai Pertamina. "Sekarang masih dibahas," kata anggota komite BPH Migas, Eri Purnomohadi.
BPH Migas, kata Eri, menginginkan mekanisme seperti di Malaysia. Subsidi dilakukan melalui pompa bensin, sehingga SPBU milik siapa pun di negeri itu menjual bensin atau solar dengan harga sama. Jika ada selisih antara harga jual kepada konsumen dengan harga pasar, pemerintah Malaysia bertugas menanggungnya.
Komponen harga meliputi biaya produksi ditambah ongkos pemasaran dan distribusi, plus komisi untuk penyalur, ditambah keuntungan perusahaan, dan ditambah lagi subsidi. "Jumlah itu jadi harga penjualan kepada konsumen," katanya.
Soal "setengah menyuapi" Pertamina, Eri juga membandingkannya dengan Petronas di Malaysia. Di negeri itu, Petronas tetap memimpin pasar. "Biasanya harganya lebih murah sedikit. Itu biasa," ujarnya.
Konsep lain yang juga dibahas adalah dengan melakukan tender atas penyaluran BBM bersubsidi. Tender bisa dilakukan saat pengadaannya di hulu atau saat penyalurannya kepada masyarakat.
Untuk tender hulu berupa impor minyak mentah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan, kemungkinan pemberlakuannya mulai awal tahun depan. Pelaksanaannya melalui BPH Migas. "Semua boleh ikut," katanya.
Selama soal ini belum jelas, Pertamina masih boleh tenang-tenang, sebab toilet bersih dan senyum ramah petugas saja, jelas, tak akan mencukupi sebagai daya tarik jika harga bensin dan solar di SPBU milik para pemain baru itu jauh lebih mahal dibanding SPBU yang menjual minyak Pertamina yang disubsidi pemerintah.
Jangan harap akan menemukan bensin seharga Rp 4.500 atau solar Rp 4.300 per liter di SPBU milik Shell atau Petronas. Di SPBU perdananya di Karawaci pun saat ini Shell baru menyediakan dua produknya, yakni Shell Super seharga Rp 5.700 seliter dan Shell Super Extra yang dibanderol Rp 5.900 seliter.
Bensin berkadar oktan atau research octane number (RON) masing-masing 92 dan 95 itu setara dengan Pertamax dan Pertamax Plus milik Pertamina yang dijual dengan harga sama di kota-kota besar seantero negeri. Agaknya inilah yang membuat Pertamina masih belum khawatir. "Silakan saja buka SPBU. Tak gampang jualan bensin di sini kalau tak berpengalaman," kata juru bicara Pertamina, Abadi Poernomo.
Dengan jaringan 2.856 SPBU, Pertamina jelas bisa jumawa di kandang sendiri. Bahkan kalaupun akhirnya tender distribusi harus dijalankan, hampir bisa dipastikan Pertamina belum akan punya pesaing berarti dalam beberapa tahun ke depan. "Peluang menang Pertamina masih terbesar," Eri mengakui.
Sadar akan keunggulan ini, Pertamina bergerak cepat mengamankan jaringannya. Konsolidasi dilakukan jauh-jauh hari sejak posisi direktur utama masih dipegang Ariffi Nawawi. Salah satunya dengan memperpanjang kontrak dengan SPBU dari rata-rata 10 tahun menjadi 30 tahun. "Selama itu pasokan mereka kami jamin," kata Abadi Poernomo. Dengan begitu, mereka akan berpikir ulang untuk pindah ke pemasok baru yang belum jelas pengalamannya.
Kenyataan yang dihadapi Shell dan Petronas menunjukkan, ternyata banyak hambatan teknis lain yang tak kalah merepotkan. Bahkan urusan mencari lahan SPBU pun rupanya tak bisa dianggap gampang. Yang jelas paling susah adalah berjualan bensin dan solar di samping SPBU yang menjualnya sepertiga lebih murah, kendati dengan kualitas sedikit lebih rendah.
Perilaku pasar yang "pelit", terutama konsumen pemilik kendaraan bermotor, rupanya jadi faktor lain yang makin mempertebal rasa percaya diri Pertamina agar tak tumbang saat berlaga. Kendaraan bermesin dengan rasio kompresi tinggi di dapur pembakarannya mestinya memang tak cocok lagi mengkonsumsi bensin bersubsidi yang kadar oktannya RON 88. Tapi apa yang mereka lakukan di tengah harga minyak yang melambung?
Para pemilik kendaraan ramai-ramai menyiasatinya dengan menurunkan rasio kompresi mesin. Tujuannya agar tetap bisa minum premium RON 88. "Konsumen kelas itu masih didominasi orang kaya baru," kata Muhammad Harun, Manajer Hubungan Masyarakat Pertamina. Harun menunjukkan angka penjualan Pertamax dan Pertamax Plus yang langsung anjlok ketika terjadi lonjakan harga minyak dunia, dari 2.000 kiloliter per hari menjadi hanya tinggal 600 kiloliter.
Angka itulah yang kini jadi rebutan para pemain baru jika distribusi BBM bersubsidi tetap di tangan Pertamina. Bandingkan dengan konsumsi premium bersubsidi, yang meski ikut terjun bebas sejak kenaikan harga 1 Oktober lalu, masih mencapai 36 ribu kiloliter lebih per hari. Atau solar yang masih terjual 52 ribu kiloliter saban hari (setelah turun 32 persen).
Petronas mafhum belaka dengan kue yang sementara ini jadi rebutan. Karena itu, mereka tak muluk-muluk menggantungkan cita-cita. "Memang hanya lima persen, tapi tidak apa-apalah," kata Kamaruzaman. "Kami buat saja dulu SPBU-nya. Yang penting kami telah berkomitmen di sini."
Mungkin inilah jawabnya, mengapa banyak raksasa yang memilih menahan dulu rasa laparnya sambil menunggu kue yang lebih besar benar-benar siap.
Y. Tomi Aryanto, Yura Syahrul, Rinny Srihartini, Amal Ihsan, Fasabeni
Mereka yang Mengantongi Izin
Pemegang Izin Niaga Umum (SPBU)
PT Sigma Rancang Perdana (Jakarta)Penanggungjawab: Nurhadi Produk:
PT Petroleum Sukses (Petros) (Jakarta)Penanggungjawab: Made SuryadanaProduk:
PT Elnusa Petrofin (Jakarta)Penanggungjawab: Ratoyan AbdurahmanProduk: Elnusa XG:
PT Duta Karya Industri (Jakarta)Penanggungjawab: Steaven HalimProduk:
PT Jasa Angkasa Semesta Tbk. (Jakarta)Penanggungjawab: Nurhadijono NurjadinProduk:
PT Petronas Niaga (Jakarta)Penanggungjawab: Petronas Bhd, MalaysiaProduk:
PT Raven Sejahtera (Jakarta)Penanggungjawab: Beinhard ManalaksakProduk:
PT Petro Andalan Nusantara (Medan)Penanggungjawab: Daulay/RobbyProduk:
PT Petroleum Lima (Jakarta)Penanggungjawab: SuharyonoProduk:
PT Jasatama Petroindo (Jakarta)Penanggungjawab: WitraMarta/Nico Kanter (BP)Produk:
PT Petro Sakti Persada (Jakarta)Penanggungjawab: Soeroso SoemopawiroProduk:
PT Tranaco Utama (Jakarta)Penanggungjawab: Joseph DharmabaktiProduk:
PT Krida Petra Graha (Jakarta)Penanggungjawab: Carol Seymour/SHELLProduk: Shell
PT Aneka Kimia Raya Corporindo (Jakarta)Penanggungjawab: Haryanto AdikoesoemoProduk:
PT Cosmic Indonesia (Batam)Penanggungjawab: Suwarti/Siok HuaProduk:
PT Premindo Mitra Kencana (Jakarta)Produk:
Pemegang Izin Niaga Terbatas (Trading)
PT Elnusa HarapanPenanggungjawab: Foster SiahaanProduk/jasa:
PT Kawasan Marga NusantaraIdem
PT Raven SejahteraPenanggungjawab: Beinhard ManalaksakProduk/jasa:
PT Prima VoltanusaPenanggungjawab: M. Nur AdibProduk/jasa:
PT Mahakam Nusa EnergiPenanggungjawab: Arief WinoroProduk/jasa:
PT Muji Inti UtamaProduk/jasa:
PT Raven SejahteraPenanggungjawab: J. Pyijadi JPProduk/jasa:
PT Jasatama PetroindoPenanggungjawab: BPProduk/jasa:
PT Inowo Gasindo Penanggungjawab: AriantoProduk/jasa:
PT Kopatria DewataPenanggungjawab: Abdul Muis LatiefProduk/jasa:
PT Wali Nusa EnergiPenanggungjawab: Emil AbengProduk/jasa:
Usaha Penyimpanan Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Khusus
PT Tranako UtamaPenanggungjawab: Joseph DharmabrataProduk:
PT Nicor Lubrindo PratamaPenanggungjawab: Arief Indro Susilo
PT Petro Andalan NusantaraPenanggungjawab: Hendri SkastiProduk:
PT Petro Bakti PersadaPenanggungjawab: Soeroso SoemopawiroProduk:
PT Redeco Petrolin UtamaPenanggungjawab: (Berkantor di Menara Kebon Sirih, kantor pusat Bimantara Grup)Produk:
PT Wali Nusa EnergiPenanggungjawab: Emil AbengProduk:
Usaha Pengolahan BBM
PT Intanjaya Agromegah AbadiPenanggungjawab: Mappasulle H.S.Produk:
PT Berkah Refinerindo UtamaPenanggungjawab: Karnata ArdjaniProduk:
PT Kilang MubaPenanggungjawab: Pemda Sumatera SelatanProduk:
Usaha Pengangkutan BBM
PT Patra NiagaPenanggungjawab: (Berkantor di Graha Elnusa, Jakarta Selatan)Produk:
PT Cendrawasih Budi MulyaPenanggungjawab: (Berkantor di Fortune Building, Mampang Prapatan, Jakarta)Produk:
PT Giga IntraxPenanggungjawab: Satu kantor dengan PT Petroleum Lima dan PT Raven Sejahtera, di Gedung Victoria, Jakarta SelatanProduk:
* Semua Data Per September 2005
Sumber: BPH Migas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo