Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Catatan (yang Tak Jelas) dari Digul

Sebuah buku dengan latar belakang tanah pembuangan Digul diterbitkan. Beberapa kejanggalan menunjukkan kekurangan riset dan pengetahuan sejarah penciptanya.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boeron dari Digoel
Penulis :Wiranta
Penerbit :Tamboer Pers, Magelang, Juli, 2000
MUDAH-MUDAHAN tak ada lagi nama tempat pembuangan bernama Digul dan Buru. Hingga kini, dua tempat pembuangan para buronan politik yang ganas bernama Digul di Papua dan Pulau Buru menyarankan alam yang menakutkan, binatang yang buas, dan lebih-lebih lagi para sipir yang bodoh dan kejam. Banyak putra terbaik Indonesia ditahan di Digul, seperti M. Hatta, Sutan Syahrir, seorang Salim, anggota keluarga dari klan Salim yang terkenal, antara lain Haji Agus Salim dan Emil Salim, serta para cendekiawan dan akademisi Indonesia. Mereka adalah orang-orang Indonesia. Pada zaman itu, orang Indonesia yang pertama lulus pendidikan universitas di Belanda biasanya bernasib dibuang ke Digul.

Buku ini tidak jelas kedudukannya karena seakan-akan ia berupa naskah kuno atau kisah asli pengalaman orang buangan Digul, dilihat dari pemakaian ejaan "oe" untuk "u" dalam kata Digoel. Hal lain yang autentik atau memberi kesan dokumenter adalah tercantumnya sederet kalimat dan kata bahasa Belanda.

Buku ini tidak mungkin dianggap sebagai suatu otobiografi atau kenang-kenangan, karena lazimnya buku semacam itu mencantumkan biografi singkat penulisnya pada sampul buku agar kita tahu siapa yang menulis biografi buku tersebut, atau paling sedikit ada penjelasan lainnya. Sebaliknya, kita harus ingat, jika saja ada buronan Digul yang masih hidup dan membuat buku tersebut di atas, mungkin mereka sudah berusia hampir 80 tahun atau dalam usia 80 tahunan atau bahkan 90-an, dan mungkin ia tidak tahu banyak tentang cara menerbitkan buku biografi. Ada kemungkinan lain, yakni bahwa buku ini ditulis berdasarkan kenang-kenangan atau naskah asli yang diterbitkan oleh keturunan bekas buronan Digul. Secara singkat, bila buku ini dimaksudkan untuk memuat catatan autentik atau menjadi sumber sejarah, kita membutuhkan keterangan tentang pribadi penulis yang lebih lanjut.

Bila keterangan pribadi sebagaimana persyaratan tersebut tidak tercantum pada buku tersebut, buku ini akan tenggelam dalam sejarah sebagai novel biasa, bahkan bisa dikategorikan lebih sebagai novel petualangan. Sebagai novel politik, buku ini tetap memiliki kekurangan keterangan tentang Digul sendiri. Misalnya, mengapa mereka sampai ditahan di Digul, mengapa mereka dan teman-temannya berhasil melarikan diri, atau bagaimana persoalan dengan tak adanya wanita di Digul. Soedjito, peran utama dalam buku ini, berpisah dengan istrinya, yang pulang kembali ke Semarang karena akan menyekolahkan anaknya ke HIS (sekolah Belanda). Keterangan ini berlalu tanpa komentar.

Soedjito mengirim anaknya untuk mendapat pendidikan Belanda dan karena itu mungkin ia dibuang ke Digul. Lalu, untuk apa Soedjito mengirim anaknya ke sekolah Belanda? Apakah hal ini tidak menimbulkan pertanyaan? Apakah menyekolahkan anaknya ke HIS tidak akan menjadikannya orang yang dibuang karena politik? Haji Agus Salim tidak mengirim anak-anaknya ke sekolah, tetapi ia memberi mereka pendidikan sendiri di rumah mungkin dengan pemikiran ini: untuk apa mendidik anak-anak calon tahanan makar.

Tempat buangan "Tanah Merah di Digoel" (dalam bahasa Belanda disebut "Boven Digoel") didirikan setelah pemberontakan komunis 1926 dan tentu saja kebanyakan tawanan politik di sana adalah mereka yang diduga dari partai komunis atau kaum nasionalis, seperti Hatta, Syahrir, dan lain-lain (Sukarno tidak pernah dibuang ke sana, melainkan ke Flores dan kemudian ke Bengkulu). Digul sebagai tempat tahanan politik tidak pernah mempunyai tahanan berjumlah lebih dari 2.000 orang. Dalam persentase, orang-orang yang pernah mendapat pendidikan HIS (Hollandsch inlandsche school atau sekolah rendah Belanda) ke atas dibuang ke Digul.

Hanya ada satu indikasi dalam buku ini bahwa kemungkinan para tahanan berasal dari partai komunis dan terlibat dalam pemberontakan 1926. Indikasi itu adalah pemakaian suatu istilah bahasa Rusia—hanya satu kali— yang tidak mengandung bahasa politik apa pun. Ada satu kejanggalan dalam kisah buku ini, yakni bahwa sebelum dibuang ke Digul, Soedjito, yang terlibat dalam pemberontakan 1926 atau entah peristiwa politik apa, adalah seorang commies (komies) dengan gaji F 250 sebulan. Gaji F 250 tersebut sangat besar, apalagi untuk seorang pribumi. Dengan penghasilan demikian cukup atau banyak, lazimnya orang tak akan terlibat makar.

Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah ada orang yang melarikan diri dari Digul, karena alamnya terlalu buas dan jauh dari mana-mana. Jika benar—cerita ini terjadi—usaha pelarian dalam buku ini memang agak jarang, atau merupakan peristiwa yang istimewa. Tradisi melarikan diri karena politik rupanya memang bukan tradisi Indonesia. Jika kita bandingkan manusia perahu (boat people) dari Vietnam dan Kamboja dengan peristiwa 1965-1966, terbukti tidak ada boat people dari Indonesia. Karena posisi buku ini tak jelas latar belakangnya, penggarapan buku ini kurang memuaskan.

Onghokham, (sejarawan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus